Pekerja pabrik pulang dari lokasi bekerja. Foto: Bisnis.com
|
PEKANBARU (CAKAPLAH)-Badan Pusat Statistik (BPS) Riau menyebut perekonomian Riau pada triwulan II 2021 mengalami kenaikan hingga 5,13 persen.
"Perekonomian Riau pada triwulan II 2021 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp205,03 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp123,58 triliun," ujar Kepala BPS Riau Misfaruddin, Jumat (6/8/2021) kemarin.
Ia mengatakan ekonomi Riau triwulan II 2021 ini lebih baik dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya yang terkontraksi 3,32 persen.
Menyikapi data ini, Wakil Sekertaris Jenderal (Wasekjend) FKPMR, Muhammad Herwan menyebut angka pertumbuhan itu bisa dibilang fantastis. Namun dia menilai, kenaikan angka indikator pertumbuhan ekonomi tersebut cenderung membuat masyarakat terbodohi. Terlebih bila melihat kondisi nyata di lapangan
"Dengan angka sebesar ini, ekonomi Riau dapat dikatakan tumbuh meroket. Padahal tahun 2020 pertumbuhan ekonomi Riau minus 1,12%, sedangkan pada rancangan perubahan RPJMD Provinsi Riau 2019 - 2024, angka pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau hanya dipatok sebesar 3,5% - 4%," jelas Muhammad Herwan, Sabtu (7/8/2021).
Dia juga menyoroti realisasi APBD Riau dan Kabupaten/Kota yang masih sangat rendah. Katanya, Riau saja masih di bawah 35%. "Padahal saat ini sudah berada di Bulan Agustus 2021, dan APBD yg sudah direalisasikan itupun hanya belanja rutin, bukan belanja program/kegiatan yang men-trigger pertumbuhan ekonomi," tambahnya.
Dengan data ini, dia menilai ada motif tertentu dari pemerintah terkait rilis pertumbuhan ekonomi yang sangat luar biasa tersebut.
"Sebenarnya ada motif apa pemerintah saat ini? Apakah ini semacam pembodohan rakyat? Apakah rakyat akan naik imunnya dengan iming-iming angka indikator ekonomi makro yang mencengangkan ini"? tanyanya.
Sementara katanya lagi, masyakarat awam tentunya tak begitu paham dengan angka-angka indikator ekonomi makro.
"Awam tentu tak memahami, bahkan bisa saja tak peduli dengan angka-angka tersebut, karena bagi rakyat, yang perlu dan terpenting saat ini adalah kondisi nyata dan aksi konkrit pemerintah untuk mengatasi permasalahan perekonomian yang menghimpit rakyat sebagai dampak dari hantaman pandemi Covid-19," katanya.
Masih kata dia, menurut ekonom, ada 3 faktor yang dijadikan indikator dalam menentukan apakah pertumbuhan ekonomi bergerak tumbuh positif atau tidak. Yakni pendapatan per-kapita dan peningkatan pendapatan nasional, jumlah pengangguran lebih kecil ketimbang jumlah tenaga kerjanya, dan menurunnya tingkat kemiskinan.
"Jika 3 indikator ini menunjukan angka yg baik, maka bisa dikatakan pertumbuhan ekonomi negara tersebut sedang bergerak ke arah yang positif, ada pertumbuhan ekonomi," jelasnya.
Dia lalu mengajak melihat kondisi riil di lapangan saat ini. Terutama di tengah penerapan PPKM yang sangat berdampak kepada pergerakan ekonomi.
"Melihat kondisi ril perekonomian Riau saat ini, yang mana aktivitas industri dan perdagangan menurun bahkan ada yang terhenti, pengangguran bertambah akibat adanya PHK atau perusahaan merumahkan karyawan, selain itu UMKM tidak dapat beroperasi sebagai konsekwensi dari penerapan PSBB ataupun PPKM, sehingga secara langsung menurunkan dan bahkan menghilangkan pendapatan/penghasilan rakyat. Lantas bagaimana BPS mendapatkan data dan angka-angka yang berimplikasi pada ekonomi yang tumbuh sebesar 5,13% tersebut," tanyanya.
Katanya lagi, perlu penjelasan dan analisis dari para pakar yang kompeten soal angka-angka pertumbuhan ekonomi tersebut. Perlu diberikan penjelasan gamblang yang komprehensif kepada masyarakat.
"Jangan sampai kenaikan angka indikator pertumbuhan ekonomi yang semu ini (pseudo-growth) dijadikan propaganda pemerintah telah berhasil mengatasi krisis/resesi ekonomi akibat dari dampak pandemi Covid-19. Jangan sampai masyarakat dibohongi atau lebih parah lagi jika pemerintah menjadikan data yang salah sebagai dasar perencanaan pembangunan," tambahnya.
Hal ini agar pemerintah dan BPS benar-benar menyajikan data yang benar kepada rakyatnya. Bukan informasi yang justru berpotensi menyesatkan.
"Agar pemerintah dan BPS tidak semena-mena melakukan pembodohan dan pembohongan. Jika pemerintah/BPS tidak mengklarifikasi informasi yang dirilis, maka ekspose BPS ini dapat dikategorikan pembohongan publik yang menimbulkan keresahan dan memicu kegaduhan sehingga memenuhi unsur pidana UU ITE," tukasnya.
Karena secara faktual, katanya lagi, rakyat saat ini sangat susah, banyak yang tidak bekerja, usaha tidak jalan bahkan tutup. Pemerintah harus dan wajib hadir untuk rakyat. Jangan hanya membuat kebijakan sepihak yang semakin menyengsarakan rakyat tanpa diiringi dengan solusi konkrit untuk membantu rakyat dari kesulitan dan himpitan ekonomi.
"Penerapan PPKM agaknya di satu sisi baik, tetapi perlu juga dikaji efektivitas dan strategi penerapan yanh lebih tepat, jangan justru semakin membingungkan dan menyengsarakan rakyat," tutupnya.