TANGGAL 9 Agustus 2021 kita memperingati Hari Jadi ke-64 Provinsi Riau. Lazimnya, setiap tahun ada tema, yakni sesuatu yang menjadi pokok perhatian atau pokok bahasan. Dan tahun ini temanya: “Bangkit Bersama Menuju Riau Berdaya Saing".
Pemerintah Provinsi Riau kelihatannya ingin mengajak masyarakat untuk bangkit bersama menuju Riau yang berdaya saing. Dengan kata lain, hipotesisnya, Riau belum memiliki daya saing. Indikasinya mudah terbaca, Riau selalu kalah dalam berbagai front (medan pertempuran). Daftar kekalahan itu bisa panjang bila hendak diurai satu-persatu.
Perubahan eksternal dan internal yang terjadi sangat cepat membuat kita harus memiliki daya saing (competitiveness). Kalau tidak, kita akan tertinggal.
Dalam persaingan secara eksternal, kita berhadapan dengan kompetitor atau pesaing. Secara internal kita berhadapan dengan masyarakat dan birokrasi pemerintahan itu sendiri. Gejalan umumnya, enggan berubah dan terperangkap dalam zona nyaman.
Padahal, sehebat apa pun dinamika perubahan dan seberat apapun tantangan, bisa dihadapi bila secara internal organisasi dan masyarakat kita memiliki modal sosial yang handal. Pakar manajemen dunia Peter Drucker (2003) bahkan menyebut, “the enemy is not out there”. Musuh tidak berada di luar sana. Dengan kata lain musuh terberat sesungguhnya berada dalam diri kita sendiri, bagaimana mengubah perilaku agar move-on.
Maka bila tema Hari Jadi Ke-64 Provinsi Riau dikaitkan dengan postulat Drucker, sesungguhnya tema tersebut memiliki makna yang dalam, lebih dari sekedar formalitas struktural sekedar basa-basi mengaitkannya dengan visi RPJMD Riau. Makna pertama, dalam perspektif modal sosial; kedua dalam perspektif memperkuat resiliensi masyarakat.
Pertama, dalam perspektif modal sosial. “Bangkit Bersama” memiliki dimensi kearifan tunjuk ajar budaya kita, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, ke bukit sama mendaki ke lurah sama menurun, hati gajah sama dilapah hati tungau sama dicecah.
Relasi-relasi sosial tersebut pada dasarnya adalah modal sosial yang melembagakan hubungan yang saling menguntungkan (reciprocal relationship), yang diselimuti nilai-nilai saling percaya (social trust).
Karakteristik modal sosial tersebut berbeda dengan modal finansial (financial capital), modal fisik (physical capital) dan modal manusia (human capital). Ketiga modal ini kasat mata (tangible), dapat dihitung dan diprediksi. Namun ketiga modal yang kasat mata ini tak berarti bila kita tak memiliki modal sosial. Oleh karena itulah Francis Fukuyama (2002) mengatakan, modal sosial lebih penting dari modal kekayaan sumber daya alam yang kita miliki.
Contoh sederhana. Tanpa modal sosial yang memadai, kita kehilangan lahan, kehilangan hutan, bahkan kehilangan Blok Rokan yang selama setahun terakhir ini heboh kita bicarakan, tapi lupa memperkuat modal sosial yang kita miliki.
Kedua, dalam perspektif memperkuar resiliensi masyarakat. Susah untuk dibantah, dewasa ini kita sedang gundah. Semua serba salah. Kita sedang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Kita sedang berada dalam kesulitan dan tekanan kehidupan. Pandemi Covid-19 telah menyebabkan perekonomian kita nyaris runtuh. Rasa kesetiakawanan sosial, rasa saling percaya, meramaikan masjid sebagai bentuk masyarakat yang agamis, kesemuanya nyaris berada pada titik terendah.
Ajakan “Bangkit Bersama” seperti dalam tema itu memiliki makna sosial. Kita tidak mau menyerah angkat bendera putih. Kita adalah makhluk sosial yang diberi kemampuan berpikir berbeda dengan satwa. Manusia diberi kebutuhan dasar untuk berprestasi dan membangun relasi-relasi sosial.
Kemampuan seseorang untuk bangkit dari keterpurukan, beradaptasi dengan perubahan dan terus maju dengan kesulitan-kesulitan yang menimpanya, inilah yang disebut resiliensi.
Grotberg (2003), mengatakan resiliensi adalah kemampuan seseorang dalam mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat, dan mentransformasikan pengalaman-pengalaman yang sulit menuju pencapaian adaptasi yang positif. Seseorang yang memiliki resiliensi yang baik dapat menjalani kehidupannya lebih bermakna, dapat melewati masa keterpurukan dengan cepat, percaya diri, tidak mudah putus asa, pandangan hidupnya akan lebih positif, dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain.
So, mari perkuat modal sosial kita, perkuat resiliensi, ayo bangkit bersama. Badai pasti berlalu.
Penulis | : | Dr Chaidi, MM, Ketua Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR). |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Pemerintahan, Cakap Rakyat, Riau |