PEKANBARU (CAKAPLAH) - Rencana Pemerintah Provinsi Riau untuk membangun Fly over (jembatan layang) di Persimpangan Tugu Selamat Datang Kota Pekanbaru, dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau tahun 2018, dianggap akan membebani keuangan daerah. Apalagi saat ini pemerintah daerah harus melakukan penghematan dan rasionalisasi anggaran imbas dari Dana Bagi Hasil (DBH) yang berkurang.

Pembangunan fly over di persimpangan SKA jalan Tuanku Tambusai-Soekarno Hatta Pekanbaru memang sudah selayaknya diwujudkan guna mengantisipasi kemacetan lalu lintas yang kian sulit dibendung. Akan tetapi, untuk merealisasikan pembangunan fly over Pemerintah Provinsi Riau semestinya mencari sumber pembiayaan lain. Salah satunya adalah dengan melibatkan pihak swasta melalui dana corporate social responsibility (CSR) yang mereka miliki.

Tanggung jawab korporasi terhadap terjadinya kemacetan di lokasi tersebut tidak semestinya dibebankan kepada pemerintah semata namun harus ada tanggung jawab sosial dari pemilik tempat usaha yang mencari keuntungan ekonomi di wilayah tersebut.

Diperlukan ketegasan Pemerintah untuk menekan korporasi pemilik usaha yang memiliki dampak terhadap timbulnya kemacetan di wilayah tersebut untuk turut serta memberikan kontribusi dalam bentuk dana CSR dalam mewujudkan Pembangunan fly over tersebut.

Saat ini ada beberapa perusahan besar yang berdiri di wilayah tersebut seperti Mall SKA dan Hotel Swiss Bell Inn plus SKA Co Ex di lokasi yang sama, TransMart Carrefour yang baru saja beroperasi di Pekanbaru, dan Lotte Mart.

Dalam waktu dekat juga akan dibuka pula mal baru Living World yang saat ini dalam tahap pembangunan, Eka Hospital, Prima Hospital, Perumahan Ciputra Seraya, Hotel Gran Suka (Ex Ibis), showroom Mobil Toyota, Honda, Mitsubishi. Korporasi-korporasi ini harus dilibatkan dalam pembangunan di daerah terutama dalam pembangunan fasilitas publik.

Bukan 'barang baru' pemerintah daerah melibatkan perusahaan-perusahaan dalam pembangunan sarana dan prasarana publik. Di DKI Jakarta misalnya yang berhasil membangun Ruang Terbuka Hijau Ruang Publik Terpadu Ramah Anak atau RTH RPTRA Kalijodo dengan menggandeng Sinarmas dan yang terbaru adalah simpang susun Semanggi yang dibangun dari dana CSR perusahaan pengembang. Hal yang sama juga diterapkan Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat yang memanfaatkan dana CSR untuk membangun Bandung Skywalk, Bandung Monorel dan fasilitas lainnya.

Jika pemerintah daerah berhasil meyakinkan korporasi untuk turut serta membangun fasilitas publik melalui dana CSR yang mereka miliki, maka dana APBD bisa dialihkan untuk pembangunan dan pembiayaan yang lebih penting seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, hingga ide-ide yang membutuhkan pembiayaan besar.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mau dan mampukan pemerintah daerah mendapatkan dana CSR dari perusahaan-perusahaan tersebut?