PEKANBARU (CAKAPLAH) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan banding atas vonis dua terdakwa dugaan korupsi proyek pembangunan ruang pertemuan Hotel Kuansing. Jaksa menilai, hukuman terhadap terdakwa tidak sesuai tuntutan.
Kedua terdakwa adalah Mantan Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (CKTR) Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Fahruddin, dan Alfion Hendra selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) proyek pembangunan Hotel Kuansing.
Pada Jumat (27/8/2021), Majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru yang diketuai Irwan Irawan SH MH memvonis Fahruddin 7 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan badan. Alfion Hendra divonis 3 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Fahruddin dan Alfion Hendra tidak dibebankan membayar uang pengganti kerugian negara. Kerugian negara dibebankan kepada Direktur PT Betania Prima, Robert Tambunan, rekanan proyek pembangunan ruang pertemuan Hotel Kuansing.
Kedua terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Jaksa mengajukan upaya hukum banding atas putusan hakim tersebut," ujar Kepala Kejaksaan Negeri Kuansing, Hadiman SH MH, Jumat (3/9/2021) malam.
Hadiman menyatakan putusan terhadap Fahruddin dan Alfion Hendra belum memenuhi tuntutan JPU. Sebelumnya, JPU menuntut Fahruddin dengan pidana penjara selama 8 tahun dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sementara terdakwa Alfion Hendra dituntut pidana penjara selama 6 tahun 6 bulan, denda sebesar Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan. Kerugian negara dibebankan kepada Robert Tambunan sebesar Rp5.050.257.046,21.
Hadiman menjelaskan hal yang menjadi pertimbangan dalam pengajuan banding, yakni penerapan pasal serta perhitungan nilai kerugian negara dalam putusan hakim. "Dua hal itu jadi pertimbangan jaksa," ucap Hadiman.
Jaksa tidak menerima penetapan besaran kerugian negara dalam putusan hakim sebesar Rp3,6 miliar. Pasalnya, kerugian negara berdasarkan penghitungan Ahli Penghitung Kerugian Keuangan Negara Universitas Tadulako tahun 2020 sebesar Rp5.050.257.046,21.
JPU menyatakan, Fahruddin dan Alfion Hendra bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
JPU mendakwa Fahruddin melakukan korupsi bersama Alfion Hendra, mantan Kepala Bidang Tata Bangunan dan Perumahan di Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kuansing 2015 selaku Pejabat Pelaksanaan Teknis Kegiatan (PPTK) dan Direktur PT Betania Prima, almarhum Robert Tambunan.
JPU menjelaskan korupsi terjadi pada 2015. Ketika itu terdakwa Fahruddin selaku Kepala Dinas CKTR Kabupaten Kuansing dan juga Pengguna Anggaran (PA) pada Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kuansing dan juga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam Kegiatan Pembangunan Ruang Pertemuan Hotel Kuansing
Pembangunan Hotel Kuansing dilakukan berdasarkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Pemkab Kuansing di Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Nomor DPA Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) 1.03.1.03.07.29.02.5.2. Pada pos mata belanja diketahui terdapat kegiatan Pembangunan Ruang Pertemuan Hotel Kuansing.
Perkara itu bermula pada tahun 2014 lalu, yakni adanya pembangunan fisik Hotel Kuansing oleh Dinas CKTR kabupaten setempat. Kemudian di tahun 2015, dilakukan pembangunan ruang pertemuan hotel yang dikerjakan PT Betania Prima dengan pagu anggaran sebesar Rp13,1 miliar yang bersumber dari APBD Kabupaten Kuansing.
Dalam pekerjaannya, rekanan menyerahkan jaminan pelaksanaan Rp629 juta lebih. Selain itu, pada kegiatan ini terjadi keterlambatan pembayaran uang muka oleh PPTK, sehingga berdampak pada keterlambatan progres pekerjaan.
PT Betania Prima selaku rekanan juga tidak pernah berada di lokasi selama proses pengerjaan proyek tersebut. Mereka hanya datang saat pencairan pembayaran pekerjaan setiap terminnya, dalam hal ini dihadiri Direktur PT Betania Prima.
Hingga masa kontrak berakhir, pekerjaan tidak mampu diselesaikan rekanan. Rekanan hanya mampu menyelesaikan bobot pekerjaan sebesar 44,5 persen, dan total yang telah dibayarkan Rp5,263 miliar.
Atas hal itu, PT Betania Prima dikenakan denda atas keterlambatan pekerjaan sebesar Rp352 juta. Namun, PPTK tidak pernah menagih denda tersebut.
Tidak hanya itu, PPTK juga tidak melakukan klaim terhadap uang jaminan pelaksanaan kegiatan yang dititipkan PT Betania Prima di Bank Riau Kepri sebesar Rp629 juta. Semestinya, uang tersebut disetorkan ke kas daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuansing.
Sejak awal kegiatan, Kepala Dinas CKTR Kuansing selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) tidak pernah membentuk tim Penilai Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP). Sehingga, tidak pernah melakukan serah terima terhadap hasil pekerjaan, dan saat ini hasil pekerjaan tersebut tidak jelas keberadaannya.
Penulis | : | CK2 |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Hukum, Kabupaten Kuantan Singingi |