Suardi
|
Ini merupakan kisah nyata tentang sekelompok suku primitif yang hidup di kepulauan Solomon Fasifik selatan. Dimana, suku ini masih menganut tradisi hidup dengan cara berpindah-pindah. Mereka pun masih memanfaatkan hutan, termasuk menebang kayu-kayu demi kelangsungan hidup kelompok mereka.
Anehnya, suku ini memiliki tradisi unik dalam membunuh pohon besar yang sulit untuk ditebang menggunakan alat-alat tradisional yang mereka miliki. Caranya pohon tersebut akan diteriaki sambil dihina beramai-ramai, dengan kata-kata buruk. Teriakan yang dilakukan oleh masyarakat Solomon ke pohon besar ini adalah agar pohon besar tadi cepat mati dan mudah diolah untuk diambil kayunya.
Satu orang yang memiliki keberanian tinggi akan menaiki pohon tersebut hingga sampai puncaknya. Orang yang berada di puncak inilah yang akan memimpin kelompoknya yang sudah berkumpul di bawah pohon itu untuk ikut meneriaki dan memaki-maki dan menghina pohon besar itu. Dengan kata-kata buruk dan segala macam hinaan. Diikuti kelompoknya yang berkumpul di bawahnya.
Dengan berbagai kata-kata buruk, mereka akan terus menghina dan meneriaki pohon besar ini selama 40 hari secara berturut-turut. Hasilnya setelah 40 hari pohon besar dan kokoh ini akan mulai layu dan akhirnya mati. Setelah mati maka masyarakat akan mudah menumbangkan pohon besar tadi.
Para suku Solomon percaya dengan nada makian, kata-kata kasar serta hinaan yang diucapkan dengan keras, maka perlahan-lahan akan membunuh roh yang ada di dalam makhluk hidup. Termasuk roh yang ada di dalam pohon besar sekalipun”. ( Theread Forum Kompas ; 925)
Sebenarnya hal ini bukanlanlah tahayul belaka. Karena ini jadi masukan jika dilihat dalam persfektif ilmiah. Terutama terkait temuan seorang peneliti dari Hado Institute di Tokyo, Jepang, Dr. Masaru Emoto.
Masaru Emoto, pada tahun 2003 silam, berhasil mengungkap temuan yang cukup menggemparkan. Melalui pengamatannya terhadap lebih dari dua ribu foto kristal air, yang dikumpulkan dari berbagai penjuru dunia. Melalui alat foto berkecepatan tinggi temuannya, Emoto dan seorang temannya Kazuya Ishibashi (seorang ahli sains yang mahir menggunakan mikroskop) menemukan bahwa partikel molekul air ternyata bisa merespon bahasa dan kata-kata.
Dimana kalimat yang diucapkan manusia berpengaruh terhadap klasterisasi molekul air yang terbentuk oleh adanya ikatan hidrogen. Artinya, lewat penemuan Emoto, ternyata air bisa merespon pesan lewat kata-kata. (the True Power Of Water, edisi terjemahan, publising 2006). Bahkan dalam bukunya yang lain, The Hidden Message in Water”, Massaru Emoto mengatakan, air seperti pita magnetik atau compact disk.
Gambar pola air saat diungkapkan kata-kata baik dan buruk.
Dari penelitian ini ternyata terungkap, air dapat mengenali kata tidak hanya sebagai sebuah desain kalimat apa adanya, tetapi dapat memahami makna kata tersebut. Saat air diucapkan sebuah kata dalam kalimat, air akan meresponnya dengan membentuk kristal melalui partikel-partikel di dalam air. Jika kata positif yang diucapkan, maka kristal di air akan membentuk laksana bunga merekah yang sedang mekar luar biasa. Seakan menggambarkan ekspresi kenikmatan dan kegembiraan yang menawan. Sebaliknya, jika kata-kata negative yang diucapkan, akan direspon seperti pecahan kristal yang tak beraturan.
Disisi lain, penemuan diatas menggiring kita pada sebuah kesimpulan bahwa pengaruh bicara begitu dahsyat. Karena hampir sebagian besar makhluk hidup di muka bumi ini didominasi unsur air, yang tentu saja sangat reaktif terhadap kata-kata. Kata-kata bisa membawa dampak positif, sekaligus dampak negatif. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, 70 persen bagian tubuhnya terdiri dari unsur air. Konsekuensi logisnya tentu saja manusia sangat sensitif dan reaktif terhadap kata-kata atau bicara.
Untuk itu selalulah berkata dan berbahasa yang baik demi alam semesta. Karena dari perspektif agama didapati setidaknya enam jenis anjuran terkait kaidah berbicara atau yang disebut “Qaulan”. qaulan sadidan (QS.An-Nisaa: 9, Al-Ahzab:70), tegas benar. Qaulan balighah (QS. An –Nisaa:63), efektif tepat sasaran. Qaulan ma’rufan (QS. An-Nisaa: 5), baik dan diterima norma dimasyarakat. Qaulan kariman (QS. Al-Israa’:23), mulia, hormat beretika. Qaulan layyinan (QS. Thaahaa:44), lunak lemah lembut dan Qaulan masyuran (QS. Al-Israa’ 28). Mudah dipahami.
Penulis | : | Suardi (Dosen Tetap Prodi Komunikasi FDK UIN Suska Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |