Dalam 7 tahun ke belakang banyak catatan-catatan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang terjadi di beberapa negara di ASEAN. Beberapa catatan-catatan yang penulis coba uraikan yaitu di Vietnam, Kamboja dan Myanmar.
Vietnam dan Kamboja negara yang dikenal dengan sebutan Indo-Cina masih terdapat pelanggaran HAM khususnya dalam kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritikan kepada pemerintah setempat.
Masih di Vietnam, seorang tokoh perjuangan HAM yang sekaligus sebagai aktivis dan pengacara, Cu Huy Ha Vu dinyatakan bersalah karena menyebarkan propaganda melawan negara, yaitu menyerukan pembubaran sistem satu partai komunis di negara tersebut. Akibat tulisannya tersebut, Cu Huy Ha Vu, dijatuhi hukuman penjara 7 tahun penjara dan 3 tahun tahanan rumah.
Sebagai mana diketahui bahwa Cu Huy Ha Vu adalah putra pemimpin revolusioner komunis Vietnam. Cu Huy Ha Vu dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara dan tahanan rumah. Ha Vu dituduh melakukan kegiatan propaganda anti pemerintah dan salah satu kritiknya adalah diakhirinya pemerintahan satu partai komunis di Vietnam. Aktivitas Ha Vu sudah dilakukannya semenjak tahun 2009. Utusan Uni Eropa di Hanoi, Vietnam menyebutkan bahwa keputusan memenjarakan Cu Huy Ha Vu bertentangan dengan hak dasar manusia yaitu hak dasar semua orang untuk menyampaikan pendapat tidak dilarang dan bebas tanpa adanya tekanan dari negara.
Uni Eropa juga mengungkapkan keprihatinan atas ditahannya beberapa orang yang berusaha dengan damai menghadiri persidangan Cu Huy Ha Vu. Ini sebagai tantangan bagi Vietnam di mata Internasional dalam penghargaan HAM dan kebebesan berpendapat di negara tersebut. Cu Huy Ha Vu adalah seorang cendekiawan hukum yang menganjurkan diakhirinya pemerintahan satu partai komunias di negara tersebut.
Ayah Ha Vu adalah anggota yang dihormati dari kabinet Presiden Ho Chi Minh dari tahun 1945. Oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat, hal tersebut telah melanggar kebebasan berpendapat di muka umum. Akibat penahanan tokoh aktivis di Vietnam tersebut, catatan dan reputasi internasional. Vietnam menjadi sorotan dan catatan dari dunia internasional dan begitu juga melanggar piagam ASEAN yang intinya negara-negara anggota ASEAN menghormati hak asasi manusia.
Dari Phnom Penh, Kamboja pula, beritakan bahwa organisasi-organisasi HAM di negara tersebut, mendesak pemerintah Kamboja untuk mencabut sebuah draf undang-undang yang kontroversial yaitu Undang-undang yang bertujuan membatasi kegiatan perjuangan HAM dan para pekerja kemanusiaan di negara tersebut. Human Rights Watch, Amnesty International, dan enam kelompok lain menyatakan draf Undang-undang tersebut mengizinkan pemerintah menolak pendaftaran atau menutup LSM.
Kamboja dan Vietnam memperburuk citra ASEAN dengan pelanggaran HAM tersebut. Oleh sebab itu, catatan-cacatan HAM di ke-2 negara tersebut harus menjadi keprihatinan bersama dalam lingkup regional ASEAN, agar ke depannya dapat diselesaikan. Tentu saja ini akan memposisikan bahwa ASEAN dapat menyelesaikan persoalannya sendiri, tanpa adanya intervensi dari luar ASEAN.
Penindasan dan genosida yang terjadi di Rakhine State, Myanmar telah menjadi catatan dalam pelanggaran HAM yang dilakukan rezim Myanmar yang dikuasai militer hingga saat ini. Pelanggaran terhadap etnis Rohingga telah menimbulkan keprihatinan negara-negara ASEAN terhadap HAM di negara tersebut. Oleh Amnesty Internasional, Rezim militer Myanmar telah melakukan pelanggaran HAM di wilayah tersebut (baca : Rakhine State).
Apa yang diketahui tentang Rakhine State? Negara bagian Rakhine adalah negara bagian yang terletak di pantai barat Myanmar. Negara bagian Rakhine berbatasan dengan Negara Bagian Chin di utara, Bagian Magway, Bagian Bago, dan Bagian Ayeyarwady di timur, Teluk Benggala di barat, dan Divisi Chittagong di barat laut, Bangladesh.
Sebagai negara yang memiliki pengaruh di Organisasi Konferensi Islam (OKI) Mesir dan Arab Saudi secara terbuka mengecam Myanmar terhadap pembersihan etnis muslim Rohingya. Tidak ada alasan Rezim Militer Myanmar untuk menindas dan membunuh etnis Rohingya. Mesir dan Arab Saudi meminta Myanmar melalui PBB untuk menghentikan pembersihan etnis terhadap etnis minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine. Berbicara tentang Rakhine State, sesungguhnya berbicara tentang penderitaan dan pelarian pengungsi Rohingya yang ditindas oleh rezim militer Myanmar. Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri ke negara Bangladesh untuk menghindari kejaran dan pembunuhan (genocide) oleh rezim militer Myanmar.
Dalam perkembangan sejarah modern Myanmar (Burma), etnis Rohingya bukanlah etnis yang baru mendiami wilayah Myanmar di bagian Barat negara tersebut (penduduk illegal seperti pengakuan dari pemerintah Myanmar). Etnis Rohingya menempati di negara bagian (Provinsi) Rakhine, Myanmar Barat yang berbatasan langsung dengan Teluk Benggala Bangladesh dan dipisahkan oleh sungai Naf yang memisahkan antara negara Myanmar dan Bangladesh. Etnis Rohingya yang telah lama mendiami wilayah di Myanmar Barat tersebut juga turut serta dan berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan Burma (sekarang Myanmar) dari penjajahan Inggris.
Negara-negara dalam Perhimpunan ASEAN, telah secara tegas dan konstruktif untuk mengingatkan Myanmar telah terjadi pelanggaran HAM berat di wilayah Rakhine State terhadap etnis Rohingya yang berpotensi terhadap kestabilan regional ASEAN khususnya dan Asia umumnya yang menyangkut dengan negara-negara yang bertetangga dengan Myanmar yaitu seperti Bangladesh dan India dalam hal pengungsi dari etnis Rohingya. Oleh sebab itu, apa yang terjadi di Myanmar tentu menjadi keprihatinan negara-negara di Asia Tenggara yang di dalamnya juga ada Myanmar sebagai anggota ASEAN. Persoalan HAM di negara-negara ASEAN mesti terus diselesaikan dalam rangka terwujudnya ASEAN Economic Community tahun 2025.
Penulis | : | Hasrul Sani Siregar, S.IP, MA, Alumni IKMAS, Malaysia/Widyaiswara di BPSDM Riau |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Cakap Rakyat |