Ilustrasi. RTRW Riau.
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Revisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2018-2038 Provinsi Riau sampai saat ini belum juga rampung.
Sebagaimana diketahui, RTRW Riau tahun 2018-2038 awalnya telah ditetapkan melalui peraturan daerah dengan nomor 10 tahun 2018. Namun, regulasi tersebut digugat oleh organisasi pegiat lingkungan hidup, Wali Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) pada tahun 2019.
RTRW Riau digugat dikarenakan tidak disusun berdasarkan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Alhasil Mahkamah Agung mengabulkan gugatan itu.
Dengan keluarnya putusan tersebut maka penyelenggara pemerintah daerah diminta mencabut sejumlah pasal di Perda Nomor 10 tahun 2018 tersebut, diantaranya: Pasal 1 angka 69, pasal 23 ayat (4), pasal 38 ayat (1) dan (2), Pasal 46 ayat (2) huruf c, d dan e, serta Pasal 71 ayat (1) dan (2).
Ketua DPRD Riau, Yulisman mengatakan bahwa kejelasan RTRW menjadi penting untuk mendukung pertumbuhan perekonomian Bumi Lancang Kuning.
"Itu jelas penting bagi ekonomi kita, sekarang ini banyak petani sawit yang memiliki sertifikat tapi lahannya sudah berada di hutan, sehingga tidak bisa melakukan replanting (peremajaan kebun). Padahal dana replanting itu turut dibagikan secara cuma-cuma oleh pemerintah," kata Yulisman.
Menurut Yulisman, Pemprov Riau awalnya telah mengusulkan Ranperda Revisi RTRW 2018-2038 pada DPRD Riau untuk masuk dalam prolegda prioritas 2021. Namun, sampai sekarang pihaknya belum menerima dokumen tersenut.
Politisi Partai Golkar itu mengatakan, nantinya revisi perda RTRW itu selain mengakomodir materi gugatan, juga akan menyesuaikan diri dengan Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020.
Sementara, Wakil Ketua DPRD Riau, Hardianto mengatakan, sampai saat ini, masih banyak kawasan pemukiman masyarakat yang masih masuk dalam kawasan hutan. Dalam revisi, negara hadir untuk rakyatnya.
"Kita paham, yang paling sulit itu ada ketidaksingkronan dua lembaga negara. Dimana BPN tahu persis, itu bisa dimanfaatkan masyarakat, artinya dalam kawasan HPL. Tiba - tiba Kemen LHK keluarkan SK nomor 903 tahun 2016, tentang penetapan kawasan hutan. Nah, kita tersandera dengan SK tersebut. Pemahaman kita dalam RTRW ini kan, selagi kepentingan masyarakat Riau, kita perjuangkan, tapi di satu sisi, kita dihadapkan aturan yang memang tak memperbolehkan. Kita minta pusat tak memutuskan kebijakan di atas meja, harus turun dong," papar Hardianto.
Pusat seharusnya mendengar pendapat masyarakat Riau, minimal melalui Pemprov, pemerintah kabupaten kota, maupun legislatif kabupaten kota.
"Contoh di Bagan Benio, Bengkalis. Di situ ada perkampungan, ada makam pejuang ikut yang memerdekakan Indonesia. Tapi sangat ironis sekarang, Indonesia merdeka, Kementrian dibentuk, dan dibuat SK kementerian itu masuk dalam kawasan hutan. Hal begitu ya harus jeli, kita perjuangkan itu," cakapnya lagi.
Melihat kondisi waktu yang tersedia saat ini, kata Hardianto, dirasa revisi Perda RTRW tersebut tidak akan tunntas tahun ini. Karena sampai sekarang, pemprov belum menyerahkan dokumen ke DPRD.
"Ada daerah ironis lagi, hak masyarkaat legalitas tanah tak mereka dapatkan, tanah disebut masuk kawasan hutan, kebun mereka kawasan hutan, tapi mereka diwajibkan PPB, tak singkron jadinya," ujarnya.
"Kalau kita bicara tegakan hutan, berapa persen tegakan hutan di Rau, sesuai undang undang nomor 41 tahun 99 kehutanan, luasan hutan dari daratan yang ada 30 persen, kalau itu dikejar tak hanya rumah masyarakat, kantor pemerintahan pun kawasan hutan," cakapnya lagi.
Pemprov, kata Hardianto, mungkin saat ini tengah melakukan pembenahan usulan tersebut, mengakomodatifkan usulan yang ada.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Pemerintahan, Riau |