Ketua Umum Forum Komunikasi Masyarakat Riau (FKPMR) Dr drh Chaidir MM
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Ketua Umum Forum Komunikasi Masyarakat Riau (FKPMR) Dr drh Chaidir MM, meminta kepada Wakil Rakyat di Senayan dari daerah pemilihan Provinsi Riau, untuk memperjuangkan dan mengawal Rancangan Undang Undang Hubungan dan Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (RUU HKPD) yang masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2021.
Kepada CAKAPLAH.com, Sabtu (16/10/2021), Chaidir mengatakan bahwa pihaknya telah menyampaikan pokok pikiran dalam RUU tentang Provinsi Riau yang sedang dibahas.
Chaidir mengatakanFKPMR telah memberikan beberapa masukan. "Salah satu diantaranya adalah, FKPMR mendukung upaya yang dilakukan gubernur untuk meminta bagian dari pajak penjualan sawit. Tapi waktu itu terbentur dengan UU Perimbangan Pusat dan Daerah. Nah, kita minta undang-undang itu diubah. Karena jika diubah, potensi yang ada di daerah seyogyanya bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahtraan masyarakat daerah, tanpa mengurangi porsi sumbangan untuk keuangan negara. Jadi ketika minyak ada DBH, CPO juga demikian. Makanya, kita sangat mendukung revisi tersebut," kata Chaidir.
Namun demikian, kata mantan ketua DPRD Riau dua periode tersebut, bahwa tidak bisa hanya mendukung saja, namun diminta agar anggota DPR RI dapil Riau, dan anggota DPD harus ikut serta mengawal aspirasi dari Riau.
"Tidak hanya mendukung, harus ada upaya politik dari kawan-kawan kita di parlemen, baik DPR dan DPD. Itulah fungsi mereka. Mereka harus secara cermat dan teliti mengkaji pasal-pasalnya," cakapnya lagi.
Jangan sampai, kata Chaidir lagi, RUU tersebut nantinya lewat begitu saja, tahu-tahu sudah ketok palu atau disahkan tanpa memperhatikan aspirasi dari Riau.
"Jangan nanti sudah ketok palu, masukan kita tak ada lagi, nanti disalahkan lagi pemerintah pusat, padahal kita yang tak intens mengawal. Maka wakil kita harus serius itu mendukung kepentingan daerah. Karena potensi itu besar sekali. Selama ini kan tidak ada pajak ekspor sawit misalnya kan besar, Riau saja jadi pengekspor terbesar tapi uang yang balik ke Riau tidak. Maka harus dikawal," tukasnya.
Sebelumnya, Anggota DPRD Riau, Ade Hartati Rahmat menyoroti besarnya potensi pungutan dari CPO dari Riau untuk pusat dan kecilnya yang didapat untuk Riau.
Ade Hartati kepada CAKAPLAH.com, Jumat (15/10/2021), mengatakan, Provinsi Riau memiliki total luas 10,7 juta hektare dengan luas daratan 9,03 juta hektar dan 1,67 juta hektare perairan.
Hampir setengah dari luas daratan Provinsi Riau merupakan lahan perkebunan dan hutan tanaman industri. Dimana usaha yang berkembang adalah perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri, baik yang di kelola oleh swasta, BUMN, ataupun oleh rakyat.
Untuk luas lahan perkebunan kelapa sawit, sambung Ade, saat ini Provinsi Riau telah memiliki lahan yang berizin seluas 1,34 juta hektare dan terdapat 225 pabrik pengelohan kelapa sawit yang beroperasi di Cocunut Palm Oil (CPO) 9.283.200 ton pertahun yang merupakan Hasil Analisis Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan tahun 2015.
Dilihat dari besaran pungutan penjualan CPO (CPO fund) sebesar 50$ per matrik ton pada BPD PKS 2016/2017, maka ada potensi sumbangan pajak sebesar lebih kurang : 9.283.200 × 50$ = 450.000.000 $. Atau kalau menggunakan kurs rupiah di angka Rp14000 per Dolar. Maka terdapat potensi pajak yang disetor ke pusat sebesar Rp 6,3 triliun pertahun.
"Nah, akan tetapi, potensi pungutan dari penjualan CPO ini, yang dikembalikan ke daerah, hanya kurang lebih sekitar Rp300 miliar (2016/2017, BPD PKS), dengan peruntukan salah satunya adalah digunakan untuk replanting sebesar Rp 25 juta/hektare. Artinya, hanya ada 1.200 hektar lahan perkebunan yang bisa melakukan replanting dengan anggaran Rp300 miliar tersebut. Anggaran Rp300 miliar ini merupakan anggaran yang bersifat hibah yang diberikan kepada masyarakat untuk kebutuhan replanting," cakap Ade.
Dari total lahan di Provinsi Riau yang berjumlah kurang lebih 4 juta hektare, sambung Ade, dan Riau hanya mendapat kucuran dana sebesar Rp.300 miliar, hal tersebut tentunya sangat tidak berkeadilan.
"Untuk itu, sudah saatnya Riau menuntut, agar pengembalian hasil pajak penjualan CPO itu bersifat proposional bagi daerah penghasil. Hal itu belum termasuk kerugian para petani sawit kita dengan sistem plasma, yang diwajibkan menanggung cicilan hutang dari program replanting. Yang sesungguhnya dana replanting tersebut berasal dari hibah BPD PKS sebesar 40% dari kebutuhan replanting per hektarnya," ujarnya lagi.
Penulis | : | Satria Yonela Putra |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Pemerintahan, Riau |