Abdul Wahid
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Anggota DPR RI Dapil Riau, Abdul Wahid mengatakan bahwa saat ini
Rancangan Undang-Undang Hubungan dan Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, sudah selesai dibahas. Ia menyebut, saat ini, prosesnya tinggal harmonisasi, dan sudah dibentuk Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin), tinggal Raker, yang tidak akan merubah substansinya lagi.
"Sudah selesai dibahas di Komisi XI. Memang saya saat ini diamanahkan berpindah dari komisi VII ke Komisi XI. Tapi karena saya baru masuk, RUU tersebut sudah dibahas duluan," kata Abdul Wahid, Ahad (17/10/2021).
Politisi PKB tersebut mengatakan, dalam RUU tersebut, Dana Bagi Hasil dinaikkan 1 persen, baik Dana Bagi Hasil Pajak maupun Dana Bagi Hasil Migas.
"Nantinya Dana Bagi Hasil tersebut dikumpulkan di provinsi dan pemerintah provinsi yang akan mendistribusikan ke pemerintah kabupaten / kota," cakapnya.
Secara keseluruhan, sambung Wahid, RUU tersebut menguntungkan daerah. Terdapat wewenang provinsi untuk mengatur dana bagi hasil tersebut. "Kan ada kenaikan, karena 1 persen itu banyak," ujarnya.
Disinggung mengenai apakah dorongan dari para pihak di Riau terkait DBH sawit masuk dalam RUU tersebut, Wahid mengatakan belum.
"Belum. Karena belum ada pembicaraan daerah penghasil bersama Panja ataupun pemerintah. Skemanya bagaimana-bagaimana kan belum ada," tukasnya.
Sebelumnya, Anggota DPRD Riau, Ade Hartati Rahmat menyoroti besarnya potensi pungutan dari CPO dari Riau untuk pusat dan kecilnya yang didapat untuk Riau.
Ade Hartati kepada CAKAPLAH.com, Jumat (15/10/2021), mengatakan, Provinsi Riau memiliki total luas 10,7 juta hektar dengan luas daratan 9,03 juta hektar dan 1,67 juta hektare perairan.
Hampir setengah dari luas daratan Provinsi Riau merupakan lahan perkebunan dan hutan tanaman industri. Dimana usaha yang berkembang adalah perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri, baik yang di kelola oleh swasta, BUMN, ataupun oleh rakyat.
Untuk luas lahan perkebunan kelapa sawit, sambung Ade, saat ini Provinsi Riau telah memiliki lahan yg ber izin seluas 1,34 juta hektar dan terdapat 225 pabrik pengelolaan kelapa sawit yang beroperasi di Cocunut Palm Oil (CPO) 9.283.200 ton pertahun yang merupakan Hasil Analisis Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan tahun 2015.
Dilihat dari besaran pungutan penjualan CPO (CPO fund) sebesar 50$ per matrik ton pada BPD PKS 2016/2017, maka ada potensi sumbangan pajak sebesar lebih kurang : 9.283.200 × 50$ = 450.000.000 $. Atau kalau menggunakan kurs rupiah di angka Rp14000 per $. Maka terdapat potensi pajak yang disetor ke pusat sebesar Rp 6,3 triliun pertahun.
"Nah, akan tetapi, potensi pungutan dari penjualan CPO ini, yang dikembalikan ke daerah, hanya kurang lebih sekitar Rp300 miliar (2016/2017, BPD PKS), dengan peruntukan salah satunya adalah digunakan untuk replanting sebesar Rp 25 juta/hektar. Artinya, hanya ada 1200 hektare lahan perkebunan yang bisa melakukan replanting dengan anggaran Rp300 miliar tersebut. Anggaran Rp300 miliar ini merupakan anggaran yang bersifat hibah yang diberikan kepada masyarakat untuk kebutuhan replanting," cakap Ade.
Dari total lahan di Provinsi Riau yang berjumlah kurang lebih 4 juta hektare, sambung Ade, dan Riau hanya mendapat kucuran dana sebesar Rp.300 miliar, hal tersebut tentunya sangat tidak berkeadilan.
"Untuk itu, sudah saatnya Riau menuntut, agar pengembalian hasil pajak penjualan CPO itu bersifat proposional bagi daerah penghasil. Hal itu belum termasuk kerugian para petani sawit kita dengan sistem plasma, yang diwajibkan menanggung cicilan hutang dari program replanting. Yang sesungguhnya dana replanting tersebut berasal dari hibah BPD PKS sebesar 40% dari kebutuhan replanting per hektarnya," ujarnya lagi.
Penulis | : | Satria Yonela Putra |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Ekonomi, Pemerintahan, Riau |