Mantan Ketua DPRD Riau Suparman
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil mantan Ketua DPRD Riau, Suparman, Rabu (27/10/2021). Politisi Partai Golkar yang juga mantan Bupati Rokan Hulu itu sedianya memberikan keterangan terkait suap pengesahaan RAPBDP Riau 2014 dan RAPBD Riau 2015.
Pemeriksaan dilakukan di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau. Namun, berdasarkan pantauan di Polda Riau hingga sore hari, tidak terlihat Suparman keluar dari ruang pemeriksaan.
Kuasa hukum Suparman, Eva Nora, mengatakan, kliennya memang tidak hadir. "Pemeriksaan ditunda," kata Eva Nora, Rabu malam.
Eva Nora menjelaskan jauhnya lokasi pemeriksaan jadi alasan Suparman belum diperiksa. Diketahui, saat ini Suparman mendekam di Lapas Kelas 1 Sukamiskin, Jawa Barat.
"Karena panggilannya ke Polda Riau untuk riksa (diperiksa, red), tapi beliau (Suparman) kan masih di Sukamiskin," tutur Eva Nora.
Eva Nora menyebutkan, pihaknya meminta dilakukan jadwal ulang pemeriksaan saksi terhadap Suparman. "Iya, makanya direschedule lagi," kata Eva Nora.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ali Fikri, menyebut ada enam saksi dipanggil pada Rabu ini untuk dimintai keterangan di Kantor Ditreskrimsus Polda Riau, Jalan Pattimura nomor 13.
Saksi itu adalah mantan anggota DPRD Riau periode 2009-2014, Suparman dan Rusli Effendi. Suparman pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Riau pada 2014-2015, sempai akhirnya mencalonkan diri sebagai Bupati Rokan Hulu dan memenangkan Pilkada.
Selain dua mantan legislator itu, penyidik juga memanggil pejabat, dan PNS di Pemprov Riau untuk dimintai keterangan. Mereka adalah M Jonli, Fuadilazi, RM Eka Putra, dan Said Saqlul Amri.
"Fuadilazi, PNS pada Sekretariat Daerah Provinsi Riau, Jonli SSos MSi selaku PNS (Sekretariat DPRD Provinsi Riau), RM Eka Putra PNS pada BPBD Provinsi Riau dan Said Saqlul Amri selaku PNS Pemprov Riau/Plt Kepala Pelaksana BPBD Riau," jelas Ali.
Saat ini, Jonli menjabat sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau sedangkan Fuadilazi menjabat Kepala UPT UPT Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Riau di Kabupaten Indragiri Hilir.
Para saksi dimintai keterangan untuk tersangka Annas Maamun. Mantan Gubernur Riau itu sudah lama ditetapkan sebagai tersangka suap pembahasan RAPBD, dan kasusnya kembali dilanjutkan setelah dia bebas dari hukuman korupsi lain.
Diketahui, Annas Maamun baru satu tahun bebas dari penjara terkait perkara suap alih fungsi hutan Riau. Pada Oktober 2019, Dia mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo dengan pengurangan hukuman selama 1 tahun.
Setelah bebas pada 21 September 2020, Annas Maamun kembali ke Riau. Pada 13 Oktober 2021 lalu, Annas Maamun yang besar di Partai Golongan Karya (Golkar) bergabung jadi kader Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Annas Maamun diduga memberikan suap ke anggota DPRD Riau terkait pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (RAPBD-P) Riau 2014 dan RAPBD Riau Tahun 2015.
Dalam kasus ini, sejumlah anggota DPRD Riau kala itu, terseret dan sudah divonis. Di antaranya dua mantan Ketua DPRD Riau, Johar Firdaus dan Suparman. Keduanya sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan menjalani masa penahanan.
Selain Annas Maamun, Johar Firdaus dan Suparman, suap juga menjerat mantan anggota DPRD Riau, Ahmad Kirjauhari. Mereka dinyatakan turut secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.
Suparman dan Johar Firdaus didakwa menerima uang suap dan janji atas pembahasan APBD. Johar menerima uang Rp155 juta dan janji pinjam pakai mobil dinas sedangkan Suparman menerima janji pinjam pakai mobil dinas.
Di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Suparman dinyatakan bebas oleh majelis hakim yang diketuai Rinaldi Triandiko. Suparman dikatakan tidak terbukti menerima suap.
Tak puas, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mengajukan kasasi ke MA dan dikabulkan. Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 2233 K/Pid.Sus/2017 menetapkan vonis 6 tahun penjara untuk Suparman.
Berbeda dengan Suparman, justru Pengadikan Tipikor pada PN Pekanbaru menyatakan Johar Firdaus bersalah. Ia divonis penjara selama 5,5 tahun dan denda Rp200 juta subsider kurungan 3 bulan. Oleh MA, ia juga divonis 6 tahun penjara.