PEKANBARU (CAKAPLAH) - Diskusi Rumpi Politik yang digelar Bapilu Golkar Riau dengan menghadirkan narasumber-narasumber berkualitas, dengan tema Golkar dan tantangan Demokrasi kedepan, digelar Sabtu (13/11/2021).
Pantauan CAKAPLAH.com, para narasumber menuangkan serta menceritakan pemikirannya untuk Golkar kedepan di tengah tantangan zaman.
Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Riau, Yuherman Yusuf banyak menceritakan tentang tantangan dari perbedaan militansi para kader Golkar dahulu dan saat ini. Ia menilai militansi hari ini lebih rendah jika dibandingkan pada masa dahulu.
Salah satu contoh yang ia sampaikan adalah dimana militansi kader-kader dahulu, membawa kebanggaan Golkar di dada dan hati mereka, berbeda dengan saat ini.
"Dulu kader sangat militan, jika ditugaskan pasang bendera langsung tancap gas. Kita main dari jam 11 malam, kuning satu Pekanbaru. Setelah itu, makan kami di Cikapundung. Nah, itu ada perasaan senang dan bahagia, kekerabatan yang erat. Jika ada turun satu bendera, patah kaki, itulah militansinya dahulu," papar mantan anggota DPRD Riau itu.
"Namun hal itu yang berkurang sekarang. Kalau sekarang tidak lagi, disuruh pasang bendera harus pakai uang minyak, uang pulsa, itu yang berbeda. Maka dari itu, memang dari militansi serta kebanggaan terhadap Golkar inilah yang harus kita jaga dan tingkatkan saat ini. Di momen ulang tahun Golkar ke 57 inilah kader Golkar harus bersama, sama-sama menjaga nama baik Golkar," cakapnya lagi.
Selanjutnya, Ketua Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR) Dr drh Chaidir yang sangat kental dengan Golkar, dan pernah menjabat dua kali sebagai Ketua DPRD Riau dari Partai Golkar mengemukakan beberapa pemikiran terkait tantangan Golkar kedepannya.
Dalam pertemuan tersebut, Chaidir mengatakan bahwa Golkarlah yang membesarkan namanya, sampai ia selama 35 tahun berseragam Golkar dengan dua kali menjabat Ketua DPRD Riau.
Ia mengaku, bahwa saat beberapa orang aktifis kampus kala itu berhasil dirangkulnya untuk masuk Golkar. Mulai dari Zulfan Heri, Gumpita sampai Repol.
"Golkar ini partai yang membesarkan saya, 35 tahun saya aktif di Golkar, dari 70-an saya di Golkar, dan akhirnya saya mundur dari Golkar tahun 2008 karena maju calon gubernur. Saya junjung tinggi etika demokrasi, saya ketua DPRD Riau kala itu, dan Rusli Zainal ketua saya. Maka, saya mundur dari Golkar. Lawan RZ, saya kalah. RZ dilawan," kata Chaidir membuka cerita.
Demokrasi, kata Chaidir dalam ungkapan lain, mengatakan bahwa Demokrasi bukan sistem terbaik, tapi belum ditemukan sistem lain yang lebih baik dari demokrasi. Dalam artian, Tak ada demokrasi tanpa pemilu, tak ada pemilu tanpa partai politik.
"Golkar bagian dari paradigma itu. Golkar aset produktif dalam sistem demokrasi Indonesia. Tak boleh jadi aset kontraproduktif," kata Chaidir lagi.
Chaidir menjelaskan, Demokrasi saat ini sedang sakit, perlu tantangan, hal tersebut juga tak terlepas sebagai tantangan Golkar ke depannya.
"Demokrasi saat ini, cenderung disfungsional, bergerak dinamis, bukan struktur tapi budaya demikrasi belum menjunjung nilai demokrasi itu sendiri. Demokrasi mengidap banyak penyakit, antada lain pemilu yang belum jurdil, belum lagi masalah kedewasaan politisi dan parpol. Demokrasi kita demokrasi prosedural, miskin nilai," cakapnya.
Ada beberapa hal di demokrasi, antara lain kemerdekaan, kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Nah, persaudaraan inilah kata Chaidir yang tidak tercapai di politik, demokrasi minus rasa persaudaraan. Banyak ungkapan bahwa sebagai lawan politik, jika bisa diinjak, diinjak walaupun sampai kubur. Rasa persaudaraan inilah kata Chaidir yang sulit tercipta dalam sistem demokrasi.
Lebih jauh, dalam isu kekinian, kata Chaidir, masyarakat kita mengutip dari sosiolog Prancis, adalah masyarakat yang aneh. Keanehan ini karena, masyarakat kehilangan keteladanan, kehilangan norma yang seharusnya diberikan contoh oleh pemimpin.
"Jadinya, masyarakat suka iri hati, dengki, berdebat tidak terbatas dan suka suka hati.
Muncul social distrust, yang saling tak percaya, Low trust society, tingkat kepercayaan yang rendah. Padahal kedua hal tersebut adalah modal sosial, yang paling penting bahkan lebih penting dari sumber daya alam. Dan akhirnya, masyarakat yang tak bisa dipercaya adalah masyarakat yang tak bisa diajak nerunding. Ini yang terjadi saat ini," cakapnya lagi.
Dalam era kekinian juga, perubahan dan kecanggihan teknologi membuat masyarakat cepat berubah. Hal tersebut harus betul-betul bisa dibaca oleh Golkar. Chaidir mencontohkan soal beberapa surat kabar poluler pada masanya, yang akhirnya gulung tikar karena kalah dengan teknologi, dimana saat ini masyarakat bisa membaca berita dari gadget yang digenggam.
"Kemudian kartu ucapan lebaran dari pos, saya dulu sebagai ketua DPRD, seribu saya pesan. Akhirnya, pelan-pelan kalah dengan teknologi, mulai dari hadirnya Nokia dengan SMS nya, Blackberry dengan pin-nya, dan sekarang gadget smartphone yang semakin canggih. Perubahan ini preferensinta milenial," cakapnya
"Saat ini, era ini, cara komunikasi berubah, kalau Golkar masih menggunakan cara-cara lama, Golkar akan hanyut. Dalam selimut isu kekinian inilah Golkar berada. Golkar saat ini dalam rimba belantara demokrasi. Ada harimau biawak, ular, singa, semua. Dengan milenial yang jadi penentu pemilih kedepan," ujarnya lagi.
Lebih jauh, Chaidir menyarankan, kedepan, bagaimana Golkar jadi partai moderen, dengan fungsi rekrutmen dan kaderisasi yang baik, menjadikan parpol jadi sebuah sekolah serta kader dididik untuk jadi seorang pemimpin dengan cara mengikuti perkembangan zaman dengan teknologinya.
Sementara itu, Kepala Bapilu Golkar Riau, Zulfan Heri, mengungkapkan program diskusi semacam ini direncanakan setiap bulannya.
"Kita mau lihat pandangan aktivis soal partai politik, terutama Partai Golkar. Kemudian tentang kondisi demokrasi hari ini, harapan kepada Parpol dan lain-lainnya yang berkaitan dengan demokrasi. Kita tampung pandangan-pandangan ini untuk Golkar yang lebih baik depannya," terangnya.