(CAKAPLAH) - HARI Antikorupsi Sedunia (International Anti-Corruption Day) 9 Desember 2021 diapresiasi oleh banyak pihak. Kita berpikir positif. Ini sebuah kesadaran, bukan sebuah kelatahan sosial. Sebab, semua menyadari, korupsi itu buruk, korupsi itu terlarang, korupsi itu dosa. Maka sekali setahun ada momentum untuk mengingatkan dunia.
Tapi korupsi itu tak hilang-hilang, tak ada mati-matinya. Korupsi itu bukan serigala yang melolong di tengah malam mencari mangsa. Serigala seperti ini ada bangkainya, ada kuburnya. Sementara makhluk yang bernama korupsi adalah serigala yang tak berwujud dalam diri manusia, tak ada kuburnya. Maka bila korupsi itu dimaknai sebagai penyalahgunaan kekuasaan, selama kekuasaan ada (betapa kecilpun), selama itu pula cenderung disalahgunakan.
Apatah lagi narasi besar kekuasaan yang bernama cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif yang beranakpinak dari pusat sampai ke daerah. Sepanjang alam terkembang cabang kekuasaan ini sering dicurigai. Bahkan lembaga sekelas KPK dan MK yang diisi oleh “para malaikat”, juga idem dito tak steril dari kerugiaan. Kenapa? Karena lembaga-lembaga tersebut memiliki kekuasaan. Aroma tak sedap kongkalikong oknum-oknum di lembaga-lembaga cabang kekuasaan negara tersebut sudah menjadi rahasia umum.
Tingkat kepercayaan sosial masyarakat kita terhadap lembaga yang memiliki kekuasaan, dewasa ini memang sedang bermasalah. Tersebab, ada janji, janji diingkari; ada sumpah, sumpah dilanggar; ada kewenangan, kewenangan dilampaui. Bukan sekali dua bangsa ini terjerat jebakan batman. Maka ada perumpamaan “pagar makan tanaman” atau “tongkat membawa rebah”. Akibatnya, satu sama lain tak lagi saling percaya. Padahal budaya saling percaya (trust culture) menjadi modal sosial penting dalam kehidupan masyarakat maju. Sebab masyarakat yang tak bisa dipercaya, tak layak diajak berunding.
Galau. Mereka yang kehilangan hati dan jiwa ini – yang entah dicuri atau dirampok oleh siapa – tak lagi memiliki kemampuan nalar, tak lagi sanggup (dalam bentuk yang sederhana sekalipun) melakukan olah pikir sehingga kehilangan logika akal sehat untuk membedakan salah-benar, baik-buruk.
Susahnya, setiap kali kasus megakorupsi mulai tersingkap, setiap kali pula bangsa ini gagal menangkap momentum untuk melakukan ikhtiar bersih-bersih. Saling sandera menyandera sudah bukan rahasia. Banyak yang tertawan. Secara fisik ia tak terpenjara, tetapi secara moril ia tak lagi bebas karena tersandera catatan kelam, bisa menyangkut individu, bisa demi nama baik institusi, bisa pula demi kelompok oligarki.
Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau populer dengan UU KPK, dituding oleh banyak pihak sebagai biang keladi menurunnya kinerja pemberantasan korupsi di negeri ini. Perubahan UU KPK tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Nundang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tak lagi menempatkan KPK sebagai lembaga superbody. Ape nak cakap?
Pengesahan secepat kilat perubahan UU KPK tersebut oleh DPR pada September 2019 tentu saja menyiratkan pertanyaan dan memancarkan aroma bau sangit menyengat hidung. Seperti banyak diberitakan media massa, dicurigai ada agenda tersembunyi. Ada apa? Aspirasi rakyat mana yang diagregasi dan diartikulasikan oleh DPR? Konstitusi mana yang dipakai sebagai landasan? Gerangan kebutuhan mendesak seperti apakah sehingga perlu “penguatan KPK”? Sebab, UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan beberapa kewenangan KPK yang melekat terkait penyidikan, penuntutan dan juga penyadapan, sudah membuat lembaga superbody itu kuat. Sebenarnya tak perlu diubah.
Tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia akan tinggal menjadi seremonial belaka bila tak diikuti dengan perubahan sikap mental. Momentum bersih-bersih pun tak akan pernah kesampaian, karena semua saling sandera-menyandera. Tabik.***
Penulis | : | Dr drh H Chaidir MM, Tokoh Masyarakat Riau |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Hukum, Cakap Rakyat |