PEKANBARU (CAKAPLAH) - Sidang dugaan penggelapan uang nasabah senilai Rp84,9 miliar kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Senin (20/12/2021).
Sidang dugaan penggelapan uang tersebut dengan lima terdakwa dan empat diantaranya merupakan anggota Keluarga Konglomerat Salim, yakni petinggi PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (PT TGP) company profil Fikasa Grup.
Kali ini sidang yang dipimpin majelis hakim Dahlan dengan dibantu dua hakim anggota Estiono dan Tomy Manik, mendengarkan keterangan lima saksi (korban) yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kelima saksi yakni, A N, P S, MN, DJ M SS, dan AY M PP.
Para saksi memberikan keterangan untuk terdakwa BS selaku Direktur Utama (Dirut) PT WBN dan PT TGP, AS selaku Komisaris Utama (Komut) PT WBN, ES, selaku Direktur PT WBN dan Komisaris PT TGP dan CS selaku Direktur PT TGP.
Kemudian, terdakwa M selaku Marketing Freelance PT WBN dan PT TGP (berkas tuntutan terpisah).
Napitupulu dalam kesaksiannya menceritakan, ia menjadi nasabah setelah ditawarkan oleh terdakwa M. Saat itu, terdakwa langsung mendatangi rumahnya.
"Dia datang ke rumah untuk membujuk saya masuk menjadi nasabah. Dia bilang bunganya 10% dan tanpa ada resiko," ungkap saksi di persidangan.
Tawaran tersebut membuat saksi terguyur, apalagi terdakwa menyebutkan bunga yang melebihi di bank tersebut akan dibayarkan tiap bulannya, kemudian modal pokok akan dikembalikan.
Terdakwa M juga mengatakan kepada saksi, bahwa perusahaan PT Fikasa milik keluarga konglomerat Salim yang memiliki banyak usaha seperti hotel serta properti besar.
"Karena yakin, akhirnya tahun 2016 lalu, saya masuk dan menanamkan investasi sebesar Rp5 miliar. Kami juga pernah diajak oleh Agung ke Bali melihat hotelnya, untuk meyakinkan kami. Walau akhirnya kami mengetahui kalau Hotel Renaissance itu dijadikan agunan oleh Agung ke bank," cakapnya.
Namun setelah total investasi yang ditanam saksi Napitupulu mencapai Rp18,3 miliar, mulailah perusahaan tersebut macet membayarkan bunganya. Ia mengungkapkan sejak bulan Maret tahun 2020 sudah mulai macet.
Setiap didesak melalui terdakwa M selaku Branch Manager (BM) PT Fikasa di Pekanbaru, dia mengaku semua tergantung dari kebijakan pusat. Hingga akhirnya, saksi menemui terdakwa Agung Salim di Jakarta, selaku owner.
Saat itu Agung berjanji akan membayarnya, bahkan ia juga berjanji akan mengembalilan uang modal pokok saksi.
Bahkan, saat saksi Napitupulu ingin menarik uangnya sebagai nasabah di PT Fikasa, Agung sempat menahannya. Agung merayu saksi untuk tidak memutuskan kontrak investasi di PT Fikasa.
"Agung merayu saya untuk terus memperpanjangnya. Dia berjanji akan membayarnya, namun kenyataannya sampai saat ini belum dibayarkan," pungkasnya.
Kepada majelis hakim, saksi juga menjelaskan pernah mempertanyakan izin PT Fikasa yang dipimpin oleh keluarga Salim itu. Saat itu, Agung mengatakan, perusahaan yang dipimpinnya memiliki izin dari Bank Indonesia (BI) dan Otoriras Jasa Keuangan (OJK).
"Namun saat saya minta dilihat izin itu, Agung tidak bisa menunjukkannya. Dia berjanji akan mengirimkan dan sampai saat ini tidak pernah ada," tukasnya.
Parahnya lanjut Napitupulu, sejak terjadinya kemacetan pembayaran bunga tiap bulannya itu, semua terdakwa tidak bisa lagi dihubungi. Hingga akhirnya, kasus penipuan ini dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri pada Juli tahun 2020.
Saksi lainnya yakni P Simanungkalit juga mengatakan hal yang sama. Dia tergiur setelah dibujuk oleh terdakwa.
"Namun sejak awal 2020, mereka tidak ada membayarkan lagi bunganya. Macetlah pembayarannya," kata P Simanungkalit.
Dia juga mengatakan, jika terdakwa M pembohong. Apalagi, hingga kini bunga dan uang modal pokok belum dikembalikan para terdakwa.
Ia meminta kepada majelis hakim untuk menghukum berat para terdakwa. Apalagi, para terdakwa dinilainya telah membuat rugi orang lain.
"Saya sedih Yang Mulia, sampai sakit saya. Tolonglah Yang Mulia, uang saya dikembalikan seutuhnya," pinta saksi.
Menanggapi permintaan saksi itu, hakim Dahlan kemudian memintanya untuk bersabar. Pihaknya berjanji akan menyidangkan perkara ini seadil-adilnya.
JPU dalam dakwaan menerangkan, dugaan penggelapan uang nasabah yang dilakukan para terdakwa ini terjadi pada tanggal 14 Oktober 2016 sampai dengan 25 Maret 2020.
Setidaknya ada 10 orang nasabah yang menjadi korban para terdakwa dengan total dana Rp84.916.000.000.
Akibat perbuatannya para terdakwa JPU menjerat para terdakwa dengan Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, Pasal 378 Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, Pasal 372 Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana dan Pasal 372 Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.