Sidang kasus dugaan suap pengurusan izin HGU PT Adimulia Agrolestari di PN Pekanbaru.
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami adanya dugaan aliran dana Rp1,2 miliar dari PT Adimulia Agrolestari kepada Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau, M Syahrir. Dana itu terkait pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing).
Adanya pemberian uang itu terungkap pada persidangan dengan terdakwa General Manager PT Adimulia Agrolestari, Sudarso, dua pekan lalu di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru. Sudarso merupakan pemberi suap pada Bupati Kuansing nonaktf, Andi Putra.
Sudarso menyebut uang diserahkan kepada Syahrir pada Agustus 2021 silam, beberapa pekan sebelum digelarnya rapat antara BPN Riau dan Panitia B untuk membahas perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari di Prime Park Hotel, Pekanbaru.
Namun Syahrir membantah kalau dirinya telah menerima uang itu. "Tidak benar saya menerima uang itu, fitnah," kata Syahrir ketika hadir di pengadilan sebagai sebagai saksi untuk Sudarso.
Ketika majelis hakim yang diketuai Dahlan kembali mempertanyakan jawaban Syahrir, Sudarso tetap pada keterangannya. "Benar Yang Mulia. Saudara Kepala Kanwil BPN Riau, Syahrir menerima uang sebesar Rp1,2 miliar," ungkap Sudarso.
Aliran dana itu kembali mencuat di persidangan lanjutan, Kamis (17/2/2022). Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mempertanyakan tentang adanya pemberian uang ke Syahrir kepada Komisaris PT Adimulia Agrolestari, Frank Wijaya.
Frank Wijaya mengaku kalau Sudarso pernah meminta pencairan dana pada awal Agustus 2021. "Disebutkan uang itu akan diberikan kepada Kepala BPN Riau," kata Frank Wijaya dalam kesaksiannya yang disampaikan secara virtual.
Berdasarkan permintaan itu, Frank Wijaya memerintahkan Kepala Kantor PT Adimulia Agrolestari, Syahlevi, untuk memberikan uang yang ada di brankas perusahaan.
Selanjutnya, uang dalam bentuk Dollar Singapura itu diberikan Syahlevi kepada Sudarso. Lalu, Sudarso datang ke rumah Kepala BPN Riau dan menyerahkan uang.
"Kebetulan saat itu ada di brankas, maka diserahkan (Syahlevi) kepada terdakwa Sudarso, kemudian (diberikan) ke Kepala BPN Riau," kata Frank Widjaya.
JPU KPK, Meyer Volmar Simanjuntak ketika diwawancarai usai sidang, Kamis sore, mengatakan pihaknya sudah berupaya membuka fakta seluas mungkin dalam persidangan terkait penerima uang tersebut. "Kemarin waktu (kepala) BPN datang kami tanyakan, ini tadi juga kami tanyakan," ucap Meyer.
Meyer menegaskan setiap yang ada hubungannya dengan pemberian uang terungkap di persidangan akan ditanyakan kepada pihak-pihak terkait. Tidak terkecuali terkait pemberian uang kepada Kepala Kanwil BPN Riau, M Syahrir.
"(Soal) BPN kami tanyakan, ternyata (saksi Frank Wijaya) mengaku beri Dollar Singapura. Melalui Syahlevi kasih ke Sudarso, lalu Sudarso kasih ke rumah," ucapnya.
Terkait hal itu, Meyer menyebut pihaknya akan berkoordinasi dengan penyidik KPK. Nantinya penyidik yang berwenang menindaklanjuti fakta-fakta di persidangan dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan.
"Itu pasti, semua fakta yang terungkap di sini (di persidangan) kalau memang alat bukti cukup, pasti diminta pertanggungjawabannya," kata Meyer.
Diketahui suap berawal karena PT Adimulia Agrolestari ingin melanjutkan keberlangsungan usahanya dengan mengajukan perpanjangan HGU yang dimulai pada 2019. Izin HGU itu akan berakhir di tahun 2024.
Salah satu persyaratan untuk kembali memperpanjang HGU itu adalah dengan membangun kebun kemitraan minimal 20 persen dari HGU yang diajukan. Lokasi kebun kemitraan 20 persen milik PT Adimulia Agrolestari yang dipersyaratkan terletak di Kabupaten Kampar, dan seharusnya berada di Kuansing.
Agar persyaratan ini dapat terpenuhi, Sudarso kemudian mengajukan surat permohonan ke Andi Putra selaku Bupati Kuansing dan meminta supaya kebun kemitraan PT Adimulia Agrolestari di Kampar disetujui menjadi kebun kemitraan.
Selanjutnya, dilakukan pertemuan antara Sudarso dan Andi Putra. Dalam pertemuan tersebut, Andi Putra menyampaikan bahwa kebiasaan dalam mengurus surat persetujuan dan pernyataan tidak keberatan atas 20 persen Kredit Koperasi Prima Anggota (KKPA) untuk perpanjangan HGU yang seharusnya dibangun di Kuansing dibutuhkan minimal uang Rp2 miliar.
Sebagai tanda kesepakatan, sekitar September 2021, diduga telah dilakukan pemberian pertama oleh Sudarso kepada Andi Putra uang sebesar Rp500 juta. Berikutnya, pada 18 Oktober 2021, Sudarso diduga kembali menyerahkan uang ke Andi Putra sebanyak Rp200 juta.
Andi Putra dan Sudarso terjaring operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada, Senin (18/10/2021). Dalam kegiatan itu, KPK menemukan bukti petunjuk penyerahan uang Rp500 juta, uang tunai dalam bentuk rupiah dengan jumlah total Rp80,9 juta, mata uang asing sekitar SGD1.680 dan serta HP Iphone XR.
Atas perbuatannya tersebut, Andi Putra selaku penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara Sudarso selaku pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penulis | : | Ck2 |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Hukum, Kabupaten Kuantan Singingi |