Ketua Umum DPP Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Dr Gulat ME Manurung, MP.,CIMA.
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Pemerintah menaikkan porsi domestic market obligation (DMO) minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dari 20% menjadi 30%. Regulasi ini ditetapkan pada Rabu (9/3/2022) dan berlaku mulai Kamis ini (10/3/2022).
Kebijakan ini dilakukan guna mempercepat kestabilan harga minyak goreng di dalam negeri yang saat ini belum menyentuh harga eceran tertinggi (HET).
Kebijakan Kemendag sesungguhnya ingin menyelamatkan ketersediaan minyak goreng terjangkau di tengah masyarakat. Maka dinaikkan DMO dari 20% ke 30%. Sehingga bahan baku (CPO) minyak goreng (migor) akan berlimpah.
Ketua Umum DPP Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Dr Gulat ME Manurung, MP.,CIMA mengatakan, sebenarnya jika dibandingkan produksi CPO Indonesia tahun 2021 yaitu 46,88 juta ton dan ekspor Indonesia katakan 30 juta ton, maka yang dikenakan argo DMO 20% kan hanya yang tujuan ekspor.
"Jadi ketersediaan CPO dengan DMO (20%) sudah mencapai 6 juta ton (6 M kg) dan dibagi 12 bulan (1 tahun) menjadi 500.000 ton CPO, yang artinya tersedia 500.000 ton (500 juta kg) CPO perbulannya DMO untuk bahan baku minyak goreng seharga DPO. Jika ketersediaan ini diolah jadi minyak goreng berarti sudah menghasilkan paling tidak 425 juta kilogram minyak goreng atau 365 juta kg minyak goreng dengan menggunakan rumus lain. Dimana diketahui kebutuhan minyak goreng nasional perbulan adalah sebesar 280 juta liter untuk 3 kelas minyak goreng (curah, kemasan sederhana dan kemasan premium), Tentu angka hasil minyak goreng DMO ini sudah jauh melebihi kebutuhan minyak goreng per bulannya untuk masyarakat Indonesia (domestik)," kata Gulat kepada CAKAPLAH.com, Jumat (11/3/2022).
Lantas mengapa minyak goreng masih langka?
Menurut Gulat, ada 2 hal yang berbeda tentang minyak goreng ini, yaitu antara DMO dan Distribusi. Secara angka DMO (20%), diasumsikan saja sudah clear karena semua korporasi patuh, tapi di sisi distribusinya yang menjadi masalah.
Pola Distribusi CPO DMO ke 34 Pabrik Migor seharga DPO (Rp9.300/L) dan pola distribusi minyak goreng hasil kombinasi DMO dan DPO tersebut ke pasar dan ke masyarakat seharga HET harus menjadi fokus serius Kemendag.
"Saya melihat kedua distribusi ini yang bermasalah secara serius. Seharusnya Kemendag fokus saja ke kedua masalah distribusi ini, tidak perlu terburu-buru menaikkan DMO menjadi 30%," ujar Gulat.
Dan faktanya, kata Gulat dari diskusi Apkasindo, dengan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), Kementan, GAPKI dan beberapa stakeholder sawit lainnya secara virtual zoom, diketahui pabrik minyak goreng yang tidak memiliki rantai pasok (tidak terintegrasi dengan sektor hulu) sangat kesusahan mendapatkan CPO dari DMO dengan harga DPO. Tentu beda halnya jika pabrik minyak goreng yang terintegrasi dengan kebun sawit dan PKS sendiri.
"Ya benar, yang tipologi terintegrasi ini akan sangat mudah melalui "rintangan" ini, karena dengan memenuhi kewajibannya (DMO, DPO dan menyalurkan seharga HET) maka perusahaannya akan segera mendapatkan izin ekspor. Keuntungan akan didapatkan oleh perusahaan yang terintegrasi ini, karena harga CPO dan turunannya seperti minyak goreng (olein) mencapai berkali lipat di luar negeri," cakap Gulat.
Bagaimana dengan pabrik minyak goreng yang tidak terintegrasi, yang hanya memproduksi minyak goreng? Katanya, satu persatu akan berguguran.
"Dan bagaimana dampaknya ke UMKM? Seperti industri rumah tangga (keripik dan kue-kue-an) dan jajanan masyarakat (pisang goreng, ubi goreng dan sejenis), semuanya sudah terdampak, ini semua karena kelangkaan minyak goreng," ujarnya lagi.
"Semua harus ditolong, baik perusahaan minyak goreng yang terintegrasi dan tidak terintegrasi. Demikian juga ketersediaan minyak goreng HET dalam negeri, jangan malah mematikan industri minyak goreng yang tidak terintegrasi buktinya sudah 6 pabrik minyak goreng tipologi ini yang kolaps karena tidak kebagian CPO yang DMO dan harga DPO," kata Gulat lagi.
Perlu dicatat, sambung Gulat, bahwa industri sawit tidak sama dengan industri batubara. Industri sawit 42% dikelola oleh pekebun dan yang mengkonsumsi produk turunan sawit ini seluruh masyarakat Indonesia. Beda dengan industri batubara yang hanya dikelola oleh beberapa korporasi dan yang mengkonsumsi batubara hanya PLN.
Jadi menerapkan DMO dan DPO di Batubara jauh lebih mudah dan terukur.
"Sedari awal Apkasindo sudah mengusulkan, yang perlu di DMO dan DPO kan cukup minyak goreng kelas curah dan kemasan sederhana, sebab inilah kebutuhan masyarakat secara umum. Tidak usah ikut kelas minyak goreng premium (kelas khusus) di DMO dan DPO kan, lepas saja sesuai harga pasar, semua ada kelas konsumennya, seperti misalnya bensin, pertalite, premium dan pertamax. Sehingga Kemendag tidak sepusing saat ini dan masyarakat terdampak," ujarnya.
"Bulan puasa sudah di depan mata tentu akan semakin besar dampak kelangkaan dan harga minyak goreng ini," tukasnya.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Ekonomi |