(CAKAPLAH) - Beberapa waktu yang lalu publik dikejutkan dengan pernyataan Jokowi soal impor pada saat memberikan pengarahan tentang Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia (25/03). Kegiatan yang berlangsung di Nusa Dua, Provinsi Bali tersebut diikuti oleh setidaknya jajaran menteri kabinet Indonesia Maju, para gubernur, bupati dan walikota, serta tidak ketinggalan para direktur utama BUMN. Kegiatan berkelas nasional tersebut sebenarnya bertujuan untuk penegasan atau peneguhan terhadap perlunya kita bangga menggunakan produk buatan bangsa sendiri. Namun, Pidato Jokowi pada kegiatan aksi afirmasi yang seharusnya persuasif tersebut, beralih menjadi sarana kritik dengan gaya komunikasi yang sedikit cenderung ofensif.
Menyimak pidato Presiden RI ketujuh tersebut, memang ada kesan yang agak berbeda, terutama bagaimana Jokowi memberikan penekanan dan pemilihan diksi ketika ia menyampaikan pidatonya. Gaya khas Jokowi yang biasanya tampil kalem dan sesekali diiringi dengan guyonan tidak nampak kali ini. Jokowi lebih banyak serius dan terlihat jengkel ketika memberikan pengarahannya. Bahkan beberapa kali Jokowi terlihat dengan mimik tegas melarang hadirin bertepuk tangan di sela-sela pidatonya. Bila kita menangkap situasi yang terjadi, jelas ini ada persoalan yang dinilai sangat serius oleh Jokowi yang seharusnya perlu menjadi perhatian yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang hadir.
Sebenarnya apa yang dikeluhkan oleh Jokowi?
Agar tidak terjadi kesalahan pengutipan, saya sengaja mengambil rilis pidato Jokowi yang resmi diterbitkan oleh Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, melalui website https://setkab.go.id. Berdasarkan isi pidato tersebut, Jokowi menyatakan kekecewaannya soal pembelian barang-barang impor oleh beberapa kementerian dan lembaga negara. Menurut Jokowi barang-barang tersebut tidak perlu diimpor, tetapi justru membeli barang-barang dari produksi dalam negeri sendiri. Jokowi menyebutkan “…tidak usah cari investor. Kita diam saja. Tapi kita konsisten membeli barang yang diproduksi oleh pabrik-pabrik kita, industri-industri kita, UKM-UKM kita. Kok enggak kita lakukan? Bodoh sekali kita kalau enggak melakukan ini, malah beli barang-barang impor.”
Jokowi mencontohkan pembelian barang-barang impor seperti CCTV, seragam dan sepatu tentara dan polisi, alkes seperti tempat tidur untuk rumah sakit, alsintan seperti traktor yang dinilainya bukan hi-tech sehingga tidak seharusnya dibeli melalui impor. Lebih lanjut Jokowi juga menyinggung pembelian pensil, kertas, bolpoin, buku tulis, bangku, hingga laptop yang tidak semestinya dibeli dari luar, karena semuanya sudah bisa diproduksi sendiri.
Kekecewaan Jokowi ini tentu membuat kita semua kaget. Bagaimana mungkin barang-barang dengan kualifikasi sederhana itu, dan yang selama ini familiar kita gunakan ternyata masih diperoleh melalui impor. Selepas penyataan Jokowi tersebut beberapa pihak yang terkait kemudian memberikan klarifikasinya. Ada yang memberikan penyangkalan dan ada pula yang menindaklanjuti arahan presiden tersebut dengan melaksanakan pembatasan terhadap pembelian barang-barang impor.
Terlepas dari semua itu, tentunya ini menjadi catatan tersendiri buat kita. Sebagai negara yang besar dengan kekayaan alam yang melimpah, wajar jika kita merasa turut kecewa. Jika benar barang-barang impor yang disebutkan Jokowi tersebut, jelas bukan karena ketidakmampuan untuk memproduksi alasannya, tetapi pasti ada motif lain yang menyertainya. Hal inilah semestinya yang perlu ditindaklanjuti.
Selain soal impor yang disebutkan Jokowi, kita juga saat ini mengalami fase kehidupan ekonomi yang aneh menurut saya. Sebut saja seperti adanya kelangkaan dan harga minyak goreng yang tiba-tiba meroket di pasaran. Sampai saat ini tidak ada penjelasan yang rasional yang bisa kita pahami mengapa itu bisa terjadi. Padahal kondisi ini sudah berlangsung lama dan jelas akan memicu peningkatan angka inflasi. Keheranan kita semakin membuncah ketika kita tahu bahwa bangsa ini adalah salah satu penghasil CPO terbesar di dunia.
Belum lagi bila kita membahas soal kelangkaan solar yang menyebabkan antrian panjang dimana-mana. Menurut pihak Pertamina sebagai pihak yang berwenang, kelangkaan solar disebabkan penggunaannya yang melebihi kuota, dan meminta masyarakat beralih menggunakan solar non subsidi seperti Dexlite dan Pertamina Dex. Lagi-lagi alasan ini membuat masyarakat bingung dan terkesan memang sengaja untuk “memaksa” masyarakat menggunakan solar non subsidi.
Kemandirian bangsa
Berbagai fenomena tersebut sudah cukup menjadi warning bagi kita, dimana posisi bangsa kita saat ini sebenarnya. Soal impor dan kelangkaan produk yang nota bene bersumber dari potensi kekayaan alam kita sendiri, tidak seharusnya terjadi. Sebagai negara yang berdaulat mestinya kita memiliki kemandirian, terlebih soal yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat dan kaitannya dengan potensi bangsa yang kita miliki.
Kemandirian disini bukan berarti kita mencukupi semua kebutuhan sendiri, dan tidak membutuhkan negara lain. Karena memang tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak membutuhkan negara lainnya. Kemandirian bangsa yang dimaksudkan adalah kemampuan dalam bertindak dan mengambil keputusan terhadap nasib bangsa sendiri, termasuk di dalamnya kebebasan memilih dengan siapa kita melakukan kerjasama. Kemandirian bangsa sebagai salah satu nilai kebangsaan, harus menjadi perhatian kita bersama. Seiring dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta persaingan global, mengharuskan setiap bangsa di dunia untuk memiliki daya saing yang tinggi sebagai syarat utama kemandirian sebuah bangsa.
Kunci kemandirian bangsa kita terletak dari semangat nasionalisme dan penguatan kerjasama antardaerah yang saling melengkapi. Sebagai bangsa yang besar, kita memiliki beragam potensi kekayaan alam dan keunggulan dari masing-masing daerah. Semua itu bila dikelola dengan baik, tentu akan menghasilkan kekuatan yang dapat menopang kemandirian bangsa. Hal lainnya yang tidak dapat ditinggalkan adalah perlunya inovasi dalam mewujudkan kemandirian bangsa. Melalui penguatan riset-riset terapan yang berkualitas dan pengembangan sumber daya manusia, diharapkan dapat melahirkan inovasi yang unggul. Upaya ini tentu memerlukan keseriusan dan keberpihakan pemerintah yang diwujudkan dengan mengeluarkan kebijakan yang tepat sasaran, dan alokasi dana riset yang mencukupi.
Berikutnya adalah pengembangan kualitas generasi muda sebagai pemegang tongkat estafet pembangunan bangsa. Di tangan merekalah nanti bangsa ini dititipkan. Kemandirian bangsa kelak akan menjadi kemunduran bila generasi muda tidak kita persiapkan sedini mungkin dan dengan sebaik mungkin. Terakhir, kemandirian bangsa dapat dimulai dari kita sendiri. Pilih dan gunakanlah produk dalam negeri dan banggalah menjadi bagian dari kemandirian bangsa.***
Penulis | : | Dr. Biryanto, ASN Pemerintah Provinsi Riau |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |