(CAKAPLAH) - Mengacu pada regulasi aturan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) 1 tahun 2018 pada pasal 5, menunjukan bahwa penujukan Penjabat kepala daerah telah diatur secara teknis, bagaimana cara penujukan serta penetapan Pj tersebut.
Dilihat dari subtansi pasal 5 Permendagri nomor 1 tahun 2018 telah jelas, untuk setiap calon pjs kepala daerah provinsi ditunjuk oleh menteri sedangkan untuk bupati dan walikota ada dua alternatif yang pertama: diajukan atas usulan gubernur kepada Mendagri (ayat 2 pasal 5) dan kedua ditunjuk langsung oleh Menteri Dalam Negeri karena kepentingan strategi nasional (ayat 3 pasal 5).
Dalam subtansi aturan tersebut, sesungguhnya ini menjadi dilematis daerah terutama pimpinan setingkat gubernur dalam mengajukan calon pjs untuk bupati dan walikota.
Pasalnya asumsi dan argumentasi publik terhadap penujukan tersebut menjadi penilaian tindakan kesewenang-wenangan pusat dalam penentuan pjs tersebut dengan dalih subjektif pasal 5 ayat 3 dan berakibat perkembangannya persepktif bahwa hal ini telah menggangu dan membatasi kewenangan otonomi daerah yang diberikan oleh pusat.
Dalam sudut pandang regulasi tidak ada hal yang salah dalam penujukan pjs tersebut karena regulasinya ada sebagai payung dalam menjalankan sebuah kebijakan publik. Akan tetapi yang menjadi bumerang bagi publik adalah karena ketidaktahuan publik dalam memaknai aturan tersebut terutama ketidakjelasan yang diutarakan pemerintah pusat dalam penentuan kepentingan strategi nasional.
Bentuknya seperti apa dan apa kepentingan itu. Pemerintah pusat tidak jelas dan transparan dalam mengutarakan hal itu kepada publik, apalagi sosialisasi akan aturan itu juga tidak terlihat, wajar saja publik mempunyai pandangan sisi yang berbeda.
Tercontoh dalam studi kasus di Provinsi Riau, gubernur telah mengajukan masing-masing 3 nama untuk menjadi calon penjabat bupati Kampar dan Walikota Pekanbaru ke Menteri Dalam Negeri, tetapi dalam kabar yang beredar ada nama lain yang masuk diluar usulan gubenur, tersebut nama Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau dan Sekretaris DPRD Provinsi yang notabene adalah anak buah gubernur Syamsuar.
Dalam pandangan saya, pertama, masuknya dua nama di luar usulan gubenur menandakan gubenur tidak mempunyai power yang kuat dalam memimpin birokrasi di daerah dan ini menandakan dugaan di internal pemerintah, selama ini juga tidak terjalin komunikasi yang baik antara pimpinan dan anak buah, serta tidak terlihat bagaimana pemberian disposisi antara pemberian mandate dan tugas oleh pimpinan selevel gubernur kepada kepala dinas dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan.
Kasus ini memunculkan penilaian bahwa gubernur tidak disiplin dalam melakukan pengawasan kinerja kepada anak buahnya serta gubernur tidak memiliki tim yang kuat. Terlihat banyak kebijakan kebijakan gubernur yang bagus tetapi ketika dijalankan anak buahnya selalu 'mis' di lapangan dan salah tafsir dalam mengartikan kehendak gubernur.
Selain itu pula, jika mengacu pada teori pemerintahan masalah yang berkembang dan terjadi saat ini seharusnya pola komunikasi antara gubernur dan bawahan harus diperbaiki sehingga solid kedepannya karena hal ini menjadi dasar kuat publik untuk melihat bagaimana kekompakan penyelenggara pemerintah dalam menjalankan fungsi dan tugas yang diberikan.
Jika hal ini terus saja dipertontonkan ke publik bisa saja masyarakat menilai bahwa Gubenur Syamsuar tidak mempunyai komunikasi yang baik serta disposisi yang kuat terhadap sebuah kebijakan, anak buah yang tidak menuruti perintah menjadi objek persoalan utama dan wajib untuk ditindak tegas dan ditegur.
Kedua, masalah lain tergambar juga Gubernur Syamsuar ternyata tidak mempunyai hubungan baik dengan pemerintah pusat dalam hal strategis.
Terlihat penujukan nama di luar usulan gubernur merupakan pilihan kepentingan strategi nasional maka Gubernur Riau juga tidak memiliki posisi bergaining yang kuat terhadap objek strategis tersebut, wajar masalah proyek-proyek nasional yang dilakukan di wilayah Kota Pekanbaru gubernur juga tidak memiliki peran yang cukup strategis salah satunya Kawasan Industri Tenayan dan juga proyek IPAL yang menggunakan sumber anggaran APBN.
Jika terjadi masalah akibat proyek kepentingan strategi nasional tersebut wajar gubernur tidak memiliki andil untuk menerima keluhan warga contoh masalah proyek IPAL yang terjadi belakangan ini yang berdampak terganggunya ekonomi warga dan kerusakan jalan di sudut kota.
Dua pandangan tersebut bisa menjadi simbolis bahwa ada yang salah dalam pola penyelenggaraan pemerintah selama ini.
Tetapi perlu ditelusuri juga bahwa hal ini tidak semerta-merta publik Riau menyalahkan kewenangan Mendagri mungkin bisa ditelusuri kembali 3 nama yang diusulkan Gubernur terkait latar belakang dan kedekatan hubungan personal kepada gubenur sebagai rekam jejaknya karena berdasarkan teknis usulan yang diajukan oleh gubernur kepada Mendagri tidak begitu saja harus diterima oleh Menteri Dalam Negeri. Akan tetapi Mendagri juga perlu menelusuri bagaimana rekam jejak pada masing-masing calon Pjs yang diusulkan oleh gubernur agar tidak terlihat potensi konflik kepentingan.
Pandangan lain saya perlu dipertanyakan kedekatan usulan calon pjs tersebut dengan Gubernur Riau Syamsuar yaitu calon usulan pjs Pekanbaru Masrul Kasmy, M Edy Afrizal, dan Boby Rahmat. Dan calon Pj Bupati Kampar, Imron Rosadi, Roni Rahmat dan Zulkifli Sukur. Sejauh mana kedekatan beliau dengan Syamsuar dan apakah kekhawatiran pontensi konflik tidak akan terjadi dari masing-masing nama tersebut. Sehingga kita tahu benang merahnya apakah Sekwan dan Kadis Pendidikan benar-benar layak dan sesuai dengan pilihan Mendagri.
Selain itu pula, jika aturan ini menjadi masalah bagi daerah silahkan gubernur Syamsuar untuk melakukan koordinasi dengan kepala daerah se Indonesia untuk melakukan gugatan review atau regulasi tersebut sehingga polemik dengan arti otonomi tersandra dengan kepentingan pusat tidak lagi ada kedepannya.
Penulis | : | Taufik, Manager Advokasi dan Jaringan Fitra Riau |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Pemerintahan, Cakap Rakyat, Riau |