JANUR belum melengkung, tapi beritanya sudah bendang ke langit. Mantennya, Muflihun untuk Penjabat Walikota Pekanbaru dan Kamsol untuk Penjabat Bupati Kampar. Lantas, apa masalahnya? Tak ada masalah. Tapi gaduh? Ya, karena ada perbedaan sudut pandang dan logika yang digunakan. Jadi, relatif.
Dari tinjuan sudut pandang misalnya, pakai kacamata kudakah atau sudut pandang helicopter view, atau sudat pandang elang (eagle view)? Bila sudut pandang kacamata kuda, cakrawala menjadi sempit dan terbatas. Dan inilah yang dikehendaki oleh sang kusir supaya kudanya fokus ke depan, tidak lirik kiri-kanan.
Bila menggunakan sudut pandang helicopter view, ini yang ideal, cakrawala luas. Ibarat helikopter yang terbang, sang pilot bisa melihat area di bawahnya. Dengan sudut pandang helikopter, ibaratnya, kita tidak hanya melihat pohon tapi melihat gunung dan hutan. Helicopter view adalah sebuah konsep yang biasa dipakai di ranah manajemen (siapapun bisa menggunakan konsep ini) untuk melihat keadaan atau permasalahan secara lebih luas, terukur dan sistematis.
Cara pandang burung elang? Cakrawalanya juga sangat luas, sekaligus sang elang bisa melihat secara tajam dan fokus ikan yang bergerak di permukaan laut. Sudut pandang elang, selain dapat melihat secara umum, juga dapat melihat secara detail permasalahan di bawah. Hal ini dapat memberikan pemikiran yang lebih tajam pada setiap bidang sehingga diharapkan dapat diperoleh solusi yang jauh lebih baik.
Sudut pandang logika berpikir, agak beda. Logika umum pemerintahankah yang digunakan, logika manajerial, logika asas manfaat, ataukah logika transcendental manusia beragama, bahwa nasib seseorang sudah tertulis dalam buku takdir? Tinggal pilih logika mana yang kita gunakan. Perspektif sudut pandang logika berpikir bisa dikombinasikan secara arif dan bijak.
Pada awalnya, sebenarnya, Penjabat yang diangkat di beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang berasal dari PNS diharapkan bisa lebih fokus mengurus daerah (pembangunan dan masyarakatnya), tak terlalu jauh terseret dalam politisasi berdasarkan irisan peta politik di DPRD. PNS sebagai Penjabat Kepala Daerah bisa menjaga jarak yang sama, demi kepentingan yang lebih luas. Namun harapan tinggal harapan. Tarik-ulur kepentingan politik kelihatannya tak terhindarkan. Keberpihakan sang Penjabat terhadap koalisi parpol di DPRD akan segera terlihat dalam hitungan hari setelah dilantik.
Oleh karena itu dipahami sajalah. Tak perlu terlalu dikotomis. Terma-terma, seperti “pusat seenak perutnya”, “kasihan gubernur”, “ini masalah marwah daerah”, “mana etika moral”, sebaiknya jadi ungkapan selayang pandang saja, penyedap kopi hangat di kedai kopi. Tak perlulah (lagi) terlalu baper, lebay atau alay, menggoreng isu nama-nama penjabat. Semakin digoreng semakin menghabiskan waktu dan energi. Semakin wacana diolah hiperbola semakin banyak yang kehilangan muka, bahkan bisa-bisa menggores luka yang tak ada gunanya, arang habis besi binasa.
Mari kita meriahkan ruang publik melalui forum-forum diskusi, perdebatan-perdebatan di kedai kopi, dan perdebatan-perdebatan virtual di media sosial untuk menghasilkan banyak inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat Pekanbaru dan Kampar khususnya dan Riau pada umumnya. Diskusi yang produktif melalui cara-cara diskursif, yang mengedepankan pemikiran akal budi, kecerdasan dan nalar, dijamin bermanfaat, dan dinanti oleh masyarakat, bukan diskusi debat kusir pantang tak hebat.
Ketertinggalan dan berbagai permasalahan pembangunan dan kemasyarakatan, sampai saat ini masih menghantui. Sementara peluang demi peluang sebagai buah ranum dari perubahan cepat lingkungan masyarakat, satu demi satu terbuang. Sudah terlalu banyak surga yang hilang di negeri kita Lancang Kuning ini. Peluang demi peluang itu, laksana waktu, terus mengepakkan sayap tak pernah menanti, bila tak kita tangkap siap-siaplah meratap.
Dan untuk menangkap peluang demi peluang tersebut, gunakan pendekatan manajemen kolaboratif. Seluruh kekuatan di daerah ini harus bahu-membahu berat sama dipikul ringan sama dijinjing, ke bukit sama mendaki ke lurah sama menurun. Semua harus berandengan tangan saling isi-mengisi. Hanyutkan ego kekuasaan, ego sektoral, ego kelompok, ego primordial, ego pusat-daerah, dan berbagai ego kontra-produktif lainnya.
Masa transisi dua tahun hanya sekelip mata. Bila sang Penjabat tak mampu unjuk kapabilitas, dan keberanian menciptakan inovasi (apalagi hanya sekadar mengolah APBD) mereka akan hilang ditelan masa dan dilupakan. Perumpamaan Deng Xiaoping agaknya tepat, tak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting bisa menangkap mencit.***
Penulis | : | DR Chaidir |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |