PEKANBARU (CAKAPLAH) - Wajah Raja tampak tak ceria seperti biasanya. Berulangkali dirinya menghembuskan nafas berat, ada hal tak enak yang dirasakannya.
Bukan tanpa sebab, sudah beberapa hari ini dirinya pusing karena harga tandan buah segar (TBS) sawit turun drastis. Padahal sebelumnya harga TBS sawit sempat melambung tinggi, namun belum terlalu lama dirinya bersama petani sawit lainnya harus menerima nasib jika harganya merosot.
"Hancur kalilah," ujar Raja saat memulai cerita dengan CAKAPLAH.COM, Rabu (18/5/2022).
Ia mengatakan sebelum ada larangan ekspor CPO oleh Presiden, harga kelapa sawit itu bahkan sampai tembus Rp3.600 perkilogramnya.
"Awal 2021 itu sebenarnya harga sudah mulai naik, tapi pelan-pelan. Kemudian di pertengahan 2021 mulai naik cukup signifikan lah. Itu mulai dari Agustus hingga April 2022 lah. Selama 8 bulan naik terus hingga akhirnya sampai ke angka Rp3.600 perkilogramnya," ungkapnya.
Setelah adanya larangan ekspor, harga kelapa sawit di Riau langsung turun ke Rp2.200. Itu hanya dalam waktu sehari langsung anjlok harganya.
"Penurunan tak hanya sekali itu saja, tapi bisa beberapa kali. Bahkan kemarin itu yang terendah, sejak ada larangan ekspor sampai Rp1.400 perkilogramnya. Apa nggak hancur kali," sebutnya.
Disampaikan pria berkacamata ini, dirinya kini memang masih bersyukur karena belum kesulitan untuk menjual sawit hasil panen.
"Saya jual ke peron atau toke. Kalau peron itu, selagi pabrik mau beli, dia mau beli. Dan Alhamdulillah sekarang ini belum susah kalau jualnya. Tapi yang jadi masalah adalah berapa harga beli mereka kan. Harga beli mereka ini mengikuti harga pabrik kan. Alhamdulillah sejauh ini masih maulah mereka belinya, cuma ya harganya itu jauh sekali turunnya," ucapnya.
Lanjut Raja, saat ini yang menjadi masalah di petani bukan hanya soal harga sawit, namun mahalnya harga pupuk menjadi momok baru bagi para petani.
"Sekarang ini pupuk menjadi salah satu persoalan yang paling berat. Bayangkan saja dari harga Rp300.000 persaknya, sekarang itu harganya mencapai Rp800 ribu hingga Rp1 juta bahkan. Itu apa nggak gila," sebutnya.
"Nah jadi saat harga sawit naik, pupuk itu sudah duluan naik. Saat harga sawit semakin naik, harga sawit semakin naik juga. Dan saat sekarang ini harga sawit turun, harga pupuknya tetap saja. Tidak ada turun-turun," imbuhnya.
Untuk mengakali hal tersebut, petani kini lebih memilih menggunakan pupuk organik seperti pupuk kandang, kompos yang harganya lebih murah.
"Namun tentu tak mungkin kita pakai pupuk kandang terus kan, tak mungkin kita mau suburkan daunnya terus. Pasti harus buahnya, kembangnya dan lainnya. Dan memang harus pakai pupuk Kimia lah sebenarnya. Cuma ya petani pandai-pandai menyiasatinya biar gak makin dalam nasib kami ini," pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Apkasindo, Gulat ME Manurung mengatakan pada tanggal 11 Mei 2022 telah menggelar rapat terbatas secara daring.
Rapat yang dipimpin langsung oleh Ketua Umum Apkasindo, Gulat ME Manurung, ini bertujuan untuk mengkoordinasikan lebih lanjut mengenai langkah konkret petani sawit Indonesia sebagai reaksi atas kisruh harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit yang tidak menemukan titik terang.
Dalam rapat tersebut, Gulat menjelaskan materi diskusi dengan Ketua Dewan Pembina DPP Apkasindo pada tanggal 11 Mei di kediaman Moeldoko. Materi diskusi tersebut tentang kondisi terkini petani sawit dari Aceh sampai ke Papua. Dimana Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pada 5 hari terakhir sudah mulai menolak TBS petani.
Berdasarkan perhitungan APKASINDO, dari 1.118 PKS se Indonesia, paling tidak 25 persen sudah menolak TBS petani. Sementara harga TBS petani sudah anjlok 40-70 persen secara merata sejak 21 hari terakhir.
Selain itu disampaikan juga tentang Permentan 01 tahun 2018 yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini petani sawit. Dimana 93 persen Petani sawit, didominasi oleh petani sawit swadaya yang melakukan usaha taninya secara mandiri (tidak bermitra), sementara permentan tersebut hanya fokus mengatur petani bermitra (hanya 7 persen).
"Kami juga saat pertemuan tersebut memberikan usulan kepada Ketua Dewan Pembina untuk disampaikan ke Pemerintah, tentang solusi percepatan distribusi minyak goreng sawit curah (subsidi) ke pelosok tanah air, karena memang Apkasindo itu hadir di 146 Kabupaten Kota se Indonesia dari 22 Provinsi," kata Gulat.
Dalam ratas yang hanya dihadiri oleh Ketua-Ketua Apkasindo, dari Aceh sampai Papua tersebut Gulat juga menegaskan bahwa Petani sawit harus bersatu dan kompak, masalah ekonomi rumah tangga petani sawit, tidak ada politik atau kepentingan lainnya kecuali hanya selamatkan rumah tangga Petani Sawit Indonesia.
Pada kondisi keprihatinan ini, semua sangat dirugikan, terkhusus petani sawit yang menggantungkan hidupnya ke hasil panen harian sawit jadi berpacu dengan waktu.
"Asumsi bahwa CPO hasil pembelian dari TBS Petani dengan harga murah, akan langsung dijual mahal jika kran eksport dibuka, nampaknya hanya impian belaka bagi para Pemilik PKS dan Eksportir CPO dan turunannya. Ia memang benar semula asumsi seperti itu diperkirakan akan terjadi, namun karena pasar CPO dan Produk turunannya pada 10 hari terakhir sudah berangsur dikuasai oleh runner up Malaysia, jadi pupuslah harapan tersebut, seperti itulah pasar (suply and demand) dan kepastian adalah kata kuncinya," katanya.
"Untuk itu saya mengimbau para Pemilik PKS segera melepas timbunan CPO nya dan Refinery segera mengeksport produk turunan CPO (yang tidak dilarang tentunya) supaya tangki-tangki CPO berangsur normal. Jika korporasi PKS dan refinery tetap bertahan menahan, ujung-ujungnya kerugian tersebut akan kembali dipikul oleh Petani dan korporasi berikutnya, sebagaimana yang terjadi saat ini," Cakap Gulat lagi.