(CAKAPLAH) - Perubahan itu sudah menjadi hukum alam. Kita sering mendengar ungkapan, “hanya satu yang tidak berubah di muka bumi ini yaitu perubahan itu sendiri.” Filsuf Yunani Kuno Herakleitos yang hidup pada masa 540-480 SM, menyebut sebuah ungkapan yang melintasi zaman, Panta rhei kai uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap).
Logikanya sederhana. Cobalah Anda berdiri di sebuah sungai yang mengalir, maka dipastikan, air sungai yang menerpa kaki Anda bukan air yang sama dengan air yang pertama menerpa. Air pertama yang menerpa sudah hanyut ke muara. Hari Senin yang kita nikmati hari ini, walaupun namanya sama, tak akan sama dengan Senin pekan lalu.
Dalam perspektif sosiologi, perubahan sosial dipahami sebagai proses. Artinya, perubahan sosial akan selalu terjadi sepanjang masa mengingat masyarakat pun terus bergerak, berkembang, dan berubah. Setiap individu atau kelompok dalam masyarakat pasti akan mengalami suatu perubahan. Hal ini terjadi karena setiap individu dan anggota kelompok masyarakat tersebut memiliki pemikiran dan kemampuan untuk terus berkembang dari waktu ke waktu. Apalagi dalam dinamika kehidupan bernegara.
Ketika kita berada di era demokrasi terpimpin, masyarakat mendambakan kehidupan demokrasi yang lebih baik. Perubahan tak bisa dibendung, lahirlah demokrasi Pancasila. Perubahan terus terjadi, masyarakat menghendaki sistem liberal, maka muncullah gelombang reformasi. Setelah dua dekade bermesraan dengan reformasi, sekarang kita menyebut reformasi kita cacat. Demokrasi kita cacat.
Penolakan Gubernur Sulawesi Tenggara untuk melantik beberapa Penjabat Bupati/Walikota, harus dipandang sebagai perubahan yang tengah terjadi, termasuklah sikap pusat untuk tidak memenuhi usulan gubernur. Riau sendiri adalah pionir dalam sikap berlawanan dengan pusat. Ketika Pemerintah Pusat sangat berkuasa, DPRD Riau menolak arahan pusat untuk memenangkan calon unggulan, DPRD justru memenangkan calon pendamping H Ismail Suko, yang terkenal dengan peristiwa 2 September 1985.
Fareed Zakaria, senior editor majalah Newsweek, pada awal 2005 menyebut, bahwa abad ke-21 akan menjadi abad perubahan. Akan ada lebih banyak perubahan yang terjadi di lebih banyak bidang dalam 10 tahun ke depan dibanding 100 tahun sebelumnya. Kebanyakan negara tidak siap menghadapi perubahan memusingkan ini – yang pasti, Amerika Serikat tidak siap (Nasibitt, 2007).
Pada hakikatnya semua akan bergerak dan berubah, karena memang begitulah kehidupan, begitulah dunia. Perubahan itu bisa saja membuat kehidupan kita menjadi lebih baik, namun bisa pula sebaliknya. Itulah mengapa, kita harus selalu bersiap dan bersikap bijak, karena perubahan bisa terjadi kapan saja. Kita tak bisa melawannya dengan menghindarinya, hanya bisa beradaptasi dengan perubahan tersebut.
Hari ini Muflihun sebagai Penjabat Walikota Pekanbaru dan Dr Kamsol sebagai Penjabat Bupati Kampar resmi dilantik. The show must go on. Urusan administrasi pemerintahan selesai. Tapi kegaduhan yang inheren di luar Gedung, agaknya belum akan selesai. Adat masyarakat yang menganut paham demokrasi, ya begitulah. Ruang publik (public sphere) memang harus dibuka selebar-lebarnya. Di sebuah negeri yang berdemokrasi, kebebasan berbicara dilindungi undang-undang.
Namun, menggunakan logika masa lalu (yesterday logic) terhadap perubahan sosial masyarakat yang terjadi pada hari ini, jelas kurang bijak. Demokrasi yang berkembang hari ini tidak bisa dilihat dari kacamata yang kita gunakan seperti di awal reformasi. Jadi kalau ada anggapan demokrasi hari ini cacat, mungkin tidak demikian dari sudut pandang milenial. Kita juga masih meraba-raba, bagaimana bentuk demokrasi kita pasa pemilu 2024 nanti. Satu hal pasti, kita memang harus beradaptasi dengan perubahan-perubahan cepat yang terjadi. Berdamai sajalah dengan perubahan.
Dalam konsep ruang publik (kedai kopi, cafe, rumah makan, pusat olah raga, bahkan di era sekarang ruang publik ini lebih seru dalam perdebatan virtual melalui medsos dan media online), rakyat boleh memperdebatkan apa saja, mendiskusikan apa saja, berceloteh tentang segala hal termasuk mengkritik bahkan menghujat Presiden, Gubernur, atau Menteri, tak masalah. Tak perlulah seperti cacing kepanasan. Mewah. Mewah.***
Penulis | : | DR Chaidir |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |