
![]() |
Nama dan lambang LAMR.
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) versi Mubeslub, menanggapi pernyataan Ketua Dewan Pimpinan Agung (DPA) LAM Riau versi Mubes Dumai, Syahril Abubakar terkait nama dan lambang LAMR yang telah didaftarkan ke Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (Haki) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Setelah terdaftar nantinya, pihak lain yang menggunakan merek atas nama LAMR akan berhadapan dengan hukum.
Terkait hal tersebut, pengurus LAMR kepemimpinan Raja Marjohan Yusuf, mengatakan, walau sudah didaftarkan ke Haki, tidak serta merta langsung berlaku.
Hal itu dikatakan Timbalan Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian Lembaga Adat Melayu Riau (Ketum DPH LAMR) Datuk Tarlaili, dalam keterangan pers kepada CAKAPLAH.com, Sabtu (28/5/2022).
Ia mengingatkan pihak yang mendaftarkan merek atau logo dan nama LAMR tidak bisa langsung mengklaimnya sebagai pemilik. Sebab masih ada proses dengan waktu yang tidak pendek. Ada masa sanggah dan berbagai proses yang harus dilalui, baru dilanjutkan dengan penetapan hak dalam bentuk sertifikat.
Baca : LAMR Versi Syahril Daftarkan Nama dan Lambang ke Dirjen Haki, yang Berani Pakai akan Dituntut
“Tentu saja kami menyanggahnya sebagaimana diatur dalam undang-undang,” kata Tarlaili.
Tarlaili mengaku telah mengetahui kalau kubu Syahril mendaftarkan nama dan lambang LAMR ke Dirjen Haki, sejak beberapa waktu lalu karena setiap yang didaftar memang ditayangkan oleh situs Haki untuk meminta tanggapan umum. Hal ini semakin jelas karena Syahril mengumumkan di media massa, bahkan dengan ancaman menuntut pihak yang menggunakan logo dan nama LAMR, padahal dia baru mendaftar.
Sebagaimana diketahui, UU No 20 tahun 2016 mengatur keberadaan merek dan indikasi geografis.
"Cuma kalau berkaitan dengan LAMR, secara etika harus dipikirkan bahwa logo dan namanya milik komunal sejak puluhan tahun lalu yang tercantum dalam lembaran negara maupun AD/ART LAMR. Apalagi penciptanya masih hidup," tegas Tarlaili.
Tarlaili optimis meski sudah didaftarkan ke Kemenkumham oleh kelompok Syahril tetapi tidak semua yang mendaftar, akan diterima.
“Penyebabnya antara lain disanggah dengan alasan tertentu, misalnya tidak berniat baik. Merek atau logo dan nama tetap bisa diakui, tetapi tidak mesti oleh pihak pendaftar, sebaliknya diserahkan kepada yang sah,” kata Tarlaili.
Penerimaan suatu pendaftaran sebagai milik, baru diakui yang ditandai dengan sertifikat Haki. Kalau sertifikat ini sudah di tangan, baru bisa mengaku sebagai pemilik suatu merek yang tidak bisa digunakan pihak lain. Sementara, katanya, apa yang dibuat oleh Syahril Abu Bakar, baru tahap mendaftar yang sebagaimana lazimnya memang ditayangkan ke khalayak ramai untuk ditanggapi sebagaimana mestinya.
Ia mengatakan, mengaku sebagai pemilik suatu merek padahal baru mendaftar, lanjut Tarlaili, patut diduga merupakan pembohongan publik. Hal ini setidak-tidaknya, dapat menunjukkan indikasi tidak berniat baik terhadap merek yang didaftarkan itu.
Menurut Tarlaili, indikasi tidak berniat baik lainnya yang dilakukan Syahril adalah mengaku sebagai pihak LAMR. Padahal, kepemimpinan Syahril sudah didemisioner sejak 16 April lalu melalui Musyawarah Besar Luar Biasa (Mubeslub) yang diminta delapan LAMR kabupaten dengan tanda tangan bermeterai lengkap. Sejak saat itu terbentuk pula pengurus baru di bawah pimpinan H. Raja Marjohan sebagai Ketum Majelis Kerapatan Adat dan H. Taufik Ikram Jamil sebagai Ketum DPH.
Syahril kemudian membuat Mubes di Dumai tanggal 22 April. Tetapi sebagaimana diatur dalam AD/ART LAMR, MKA dan DPH harus dikukuhkan oleh Datuk Setia Amanah yang telah melakukannya terhadap LAMR di bawah pimpinan Marjohan dan Taufik Ikram Jamil, akhir April.
“Jadi, tak ada ada dualisme LAMR, sebab LAMR yang sah itu di bawah kepemimpinan Datuk Marjohan dan Datuk Taufik, antara lain ditandai dengan pengukuhan oleh Setia Amanah,” kata Tarlaili.
Dalam kaitan itu, Datuk Tarlaili juga mengatakan, karena LAMR kini dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah No.1/ 2012 yang merupakan organisas kemasyarakatan kebudayaan, tidak perlu melakukan pendaftaran.
“Itu penjelasan yang kami terima dari Kesbangpol Riau yang sampai berkonsultasi dengan Kemendagri tanggal 10 Mei lalu secara tertulis,” kata Tarlaili.
Mengenai Balai Adat Melayu, Tarlaili mengatakan bahwa bangunan tersebut merupakan milik pemerintah. Sehingga kalau mereka mau mengambilnya kembali, tentu hak pemerintah pula, bukan hak Syahril yang masih bertahan walaupun sudah diminta untuk mengosongkannya.
Penulis | : | Amin |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Serba Serbi, Riau |






























Helmi













01
02
03
04
05



