ROHUL (CAKAPLAH) - Kapitalisasi pendidikan menjadi momok dalam upaya membangun pendidikan Islam di Indonesia. Praktik-praktik kapitalisasi pendidikan ini seakan menjadi hal lazim namun terus dibiarkan pada lembaga pendidikan Islam di Indonesia.

Salah satu contoh praktik kapitalisasi pendidikan Islam ini, kerap terjadi pada saat penerimaan santri baru. Banyak lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren yang mensyaratkan biaya masuk yang mahal. Tidak hanya itu, para orang tua juga dibebankan dengan pungutan lainnya seperti uang pembangunan dan iuran SPP yang mahal.

Kapitalisasi pendidikan ini tak ayal menyebabkan dikotomi, dimana pendidikan berkualitas hanya bisa didapatkan keluarga mampu. Sementara si miskin hanya bisa menghela nafas menerima kenyataan tak bisa mendapatkan pendidikan Islam yang berkualitas. Padahal landasan pendidikan Agama ini penting sehingga generasi muda tertuntun memiliki akhlakul karimah.

Pernyataan tersebut dikatakan Amir Majelis Dzikir Al-Hidayah Erizal ST. Ia mengatakan, kapitalisasi pendidikan menciptakan kemiskinan sistemik pada umat Islam. Hal ini disebabkan, si miskin tak bisa keluar dari kemiskinannya karena tak mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

"Bukankah salah satu cara memberantas kemiskinan itu adalah dengan memajukan pendidikan. Kalau pendidikannya dikapitalisasi, lalu bagaimana nasib saudara kita yang miskin, mereka akan terus terjebak dalam kemiskinan dan ingat kemiskinan mendekatkan manusia pada kekufuran. Makanya bagi kami ilmu itu tidak akan kami jual," cakap Amir Majelis Dzikir Al-Hidayah Erizal ST.

Menurut Erizal, Majlis Dzikir Al-Hidayah terus berupaya melawan kapitalisasi pendidikan ini. Salah satunya yaitu dengan mengembangkan konsep sekolah gratis berbasis Infaq dan sedekah.

Sekolah Islam yang dinaungi yayasan Pendidikan Islam Ar-Raudah tersebut tidak mengenal uang masuk dan juga SPP. Untuk pembiayaan operasional sekolah ini mengandalkan Infak dan sedekah yang besarannya tidak dipatok dari orang tua wali murid.

"Ternyata bisa, dengan mengandalkan Infak dan sedekah sekolah ini tetap eksis. Bahkan sampai sekarang sekolah ini tengah dalam tahap pembangunan 10 ruang kelas belajar baru untuk SLTP yang berasal dari infak dan sedekah jemaah," Cakap Erizal.

Tidak hanya itu, khusus bagi anak yatim dan anak fakir miskin, Sekolah Ar-Raudah memberikan uang jajan setiap bulan sehingga tidak ada kesan perbedaan antara siswa kaya dan miskin di sekolah ini.

Dikatakan Erizal dengan mengandalkan Infak dan sedekahmemotivasi umat untuk beramal soleh sekaligus memberikan anak-anak mereka ilmu agama dan ilmu formal lainnya. Dan yang terpenting, infak dan sedekah ini menjadi ladang amal bukan lagi kewajiban membayar uang SPP setiap bulannya.

Untuk terus mengembangkan keberadaan sekolah Islam gratis ini hingga ke Perguruan tinggi, majlis Dzikir Al-Hidayah kini juga telah membuka amal usaha dibawah bendera PT. Al-Hidayah Makmur Sentosa.

Perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran semua produk ini didirikan dengan modal yang berasal dari seluruh jemaah. Nantinya 40 persen keuntungan akan digunakan untuk perkembangan majelis, mengurus anak yatim dan fakir miskin, pembiayaan surau termasuk pembangunan dan pengembangan sekolah gratis.

"Saat ini kami membangun kerjasama dengan beberapa produsen pupuk dan juga kebutuhan pokok seperti minyak goreng dan beras. Kedepan perusaan ini juga dapat memasarkan produk dari jemaah melalui jaringan yang dimiliki MZA" ujarnya.

Erizal menegaskan, bahwa pendirian amal usaha ini tidak mencari keuntungan melainkan peningkatan kesejahteraan seluruh umat dan bagaimana akan banyak lagi anak yatim dan fakir miskin yang dapat diurusi.

"Konsep dasarnya bagaimana bisa mengurus yang banyak, tentuya dibutuhkan amal usaha yang banyak. Makanya kami punya tagline, seribu usaha sejuta produk, Seribu Surau Sejuta Sekolah, Sejutaan Anak Yatim," ujarnya.