PEKANBARU (CAKAPLAH) - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau mengatakan, Pemprov Riau menganggarkan Rp9,6 miliar dari dana APBD untuk membangun tiga lapangan tenis.
Yakni, lapangan Tenis Kejaksaan Tinggi (Kejati) Rp 4,4 miliar, Lapangan Tenis Pengadilan Agama Rp1,9 miliar, dan Lapangan Tenis Tertutup Rp3,1 miliar.
Menurut Koordinator Fitra Riau, Triono Hadi, kebijakan alokasi anggaran untuk membangun lapangan tenis ini adalah bentuk perilaku pemerintah yang tidak tahu malu, memboroskan anggaran untuk belanja yang sama sekali bukan prioritas dan kebutuhan masyarakat Riau.
"Kebijakan alokasi anggaran ini, juga jauh dari upaya pemerintah Riau untuk membawa Riau lebih baik kedepan. Apa hubungan membangun lapangan tenis dengan misi Riau Lebih Baik?," kata Triono.
Justru, tambahnya, anggaran-anggaran semacam inilah yang menyandera kebutuhan prioritas masyarakat yang semestinya mendapatkan perhatian dan dukungan anggaran secara memadai.
"Alokasi anggaran ini mencerminkan tingkat sensitifitas pemerintah daerah terhadap masalah yang dihadapi warga sangat rendah. Warga sedang berupaya untuk pemulihan ekonominya akibat Covid-19, warga sedang berperang dengan harga bahan pokok yang tinggi, yang seharusnya menjadi prioritas daerah untuk ditangani. Tapi justru pemerintah tidak sensitif bahkan lebih membelanjakan uangnya untuk kebutuhan yang pastinya bukan masyarakat kecil. Siapa yang akan olahraga itu? Tentu bukan warga kecil," kata Triono lagi.
Seberapa banyak fasilitas olahraga yang telah dibangun namun tidak difungsikan, kata Triono, bahkan sebagian telah rusak parah. Dan seberapa besar anggaran yang akan digunakan untuk pemeliharannya. Kenapa ini tidak menjadi dasar dalam merumuskan dan menetapkan anggaran.
"Anda tahu? Anggaran Rp9,6 miliar itu sama dengan membangun 160 unit Rumah Layak Huni (RLH). Artinya jika anggaran itu digunakan untuk membantu warga untuk membangun RLH maka sudah 160 rumah tangga miskin di Riau yang bisa menempati rumah layak. Kenapa lebih memilih untuk bangun sarana olahraga, yang sebenarnya sudah tidak kurang lagi di Riau?," cakapnya lagi.
Gubenur Riau, kata Triomo, punya misi mulia bagaimana masyarakat di kampung, sekitar hutan meningkat ekonominya, dengan skema Perhutanan Sosial sebagai bagian dari kebijakan Riau Hijau.
Namun, berapa alokasi anggaran yang diberikan untuk membantu masyarakat mengelola hutan yang telah mendapatkan izin, atau mengakses izin? Pemerintah hanya bisa mengalokasikan anggaran kurang dari Rp1 miliar.
"Alokasi anggaran justru tidak proporsional antara yang semestinya diprioritaskan untuk dibiayai, namun justru digunakan untuk belanja yang sama sekali tidak ada urgensinya," ujarnya.
Jika Rp9,6 miliar diberikan untuk mendukung perhutanan sosial Rp100 juta satu kelompok pengelola perhutanan sosial maka 96 Kelompok PS di Riau tidak lagi sibuk cari pinjaman uang untuk modal pengelolaan awal. Namun, sayangnya itu tidak menjadi pertimbangan dalam rencana anggaran ini. Masih banyak kebutuhan-kebutuhan lainnya yang seharusnya lebih diutamakan oleh pemerintah.
"Masih ada kesempatan, untuk itu Gubenur Riau harus mempertimbangkan ulang dan harus membatalkan alokasi anggaran tersebut. Dan meralokasikan untuk kebutuhan-kebutuhan yang mendesak yang diharapkan oleh masyarakat. Belanja daerah harus diprioritaskan untuk membiayai kebutuhan yang sejalan dengan misi Gubenur Riau untuk mencapai mimpi Riau lebih Baik," ujarnya.
"Begitu juga dengan Kejaksaan Tinggi Riau, Pengadilan Agama Pekanbaru sebagai penerima hibah pembangunan sarana olahraga ini, atau apalah skemanya. Perlu sama-sama kita ingatkan Gubenur Riau agar membelanjakan ABPD-nya untuk kepentingan masyarakat yang lebih penting dan mendesak. Tolak anggaran pembangunan lapangan tenis itu, dan minta alihkan untuk kebutuhan masyarakat yang lebih penting," tukas Triono.***
Penulis | : | Satria Yonela Putra |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Pemerintahan, Riau |