Gedung DPRD Riau.
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Sampai kini kegiatan secara administrasi di Sekretariat DPRD Riau terganggu akibat persoalan status pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Dewan (Sekwan). Aktivitas terganggu sejak Gubernur Riau Syamsuar menunjuk Plt Sekwan pasca pejabat sebelumnya, Muflihun, dilantik sebagai Penjabat (Pj) Walikota.
Persoalan itu menarik perhatian akademisi Khairul Amri. Khairul yang juga Pengamat Kebijakan Publik ini menyayangkan persoalan ini sampai heboh ke masyarakat luas.
Sebab, lembaga legislatif atau DPRD yang notabenenya adalah para politisi, seharusnya bisa menyelesaikan dengan kompromi dengan gubernur. Kebijakan yang akan diambil selanjutnya tentu harus sesuai dengan regulasi.
"Lembaga legislatif isinya politisi semua, idealnya masalah ini tuntas dengan kompromi saja antara pimpinan DPRD dengan Gubernur, tentunya dengan memperhatikan regulasi yang ada, jika perlu didampingi BPK dan KPK. Tidak perlu rasanya harus ribut di media massa, apalagi sampai mengeluh uang tinggal Rp33 ribu," kata Khairul, Kamis (23/6/2022).
Lanjut dia, kalau demi kepentingan masyarakat banyak, baik gubernur maupun Pimpinan Dewan yang merupakan representasi lembaga legislatif duduk bersama, berkompromi mencari solusi. Jika masalahnya memang ada keraguan soal regulasi administrasi keuangan, undang instansi terkait seperti BPK, KPK untuk memberikan pencerahan.
"Jangan ribut lagi di media, malu sama masyarakat kita yang rekeningnya minus Rp33 ribu," kata dia.
Persoalan administrasi di lingkungan Setwan juga ditanggapi Wakil Ketua DPRD Riau Hardianto. Pimpinan DPRD Riau itu buka suara atas ketidakjelasan ujung persoalan itu yang berdampak terhadap biaya operasional terhenti.
Sejak penunjukan Pelaksana tugas (Plt) Sekwan pada Mei lalu, belum ada kejelasan administrasi di gedung rakyat itu. Wakil Ketua DPRD Riau Hardianto mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau menyelesaikan persoalan ini. Sebab, hingga saat ini tanpa regulasi yang jelas, Pemprov Riau menghentikan semua pembayaran yang berkaitan dengan DPRD Riau, mulai dari gaji dan tunjangan Anggota DPRD Riau, cleaning service, sekuriti, honorer, tenaga ahli dan lainnya.
"Sudahi penyanderaan ini, Pemprov tak punya alasan kuat menahan-nahan uang, sejak 23 Mei semua tagihan dari DPRD Riau tak diakomodir, bahkan ditolak," kata Hardianto, Selasa (21/6/2022).
Jika kondisi ini terus dilanjutkan, maka yang terganggu bukan hanya keuangan anggota dewan saja, tapi dampaknya jauh lebih besar. Seperti tenaga kebersihan dan keamanan, keluarga para honorer itu menggantung hidup di gedung DPRD.
"Saya tak tahu juga di mana hati nurani Pemprov Riau, banyak yang menggantungkan hidup disini, apalagi tenaga kebersihan dan tenaga keamanan, mereka hidup dari gaji bulanan, tak terpikir sama Pemprov nasib anak istri mereka? Begitu juga dengan pembayaran pihak ketiga," paparnya.
"Ada Anggota DPRD Riau yang saldonya cuma tinggal Rp 33 ribu, dan beberapa Anggota DPRD yang berangkat menunaikan ibadah haji tapi belum menerima hak-hak keuangannya. Padahal itu bisa dimanfaatkan sebagai 'bekal' selama masa pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci," jelas Politisi Gerindra itu.
Selain itu, ada persoalan operasional yang akan berpotensi menimbulkan masalah besar, termasuk tagihan listrik. Sejauh ini, PLN belum memutuskan aliran listrik karena DPRD Riau sudah bersurat ke PLN untuk menangguhkan pembayaran.
"Mudah-mudahan penangguhan ini dikabulkan, kalau sempat mati, ini bakal makin ribut, yang malu siapa? Ya kita Riau. Uang ada tapi pencairan tak bisa karena regulasi yang di ada-adakan," jelasnya.
Hardianto mengajak semua pihak untuk mengedepankan hati nurani dan mengenyampingkan emosi. Sebab, dalam menjalankan tata kelola pemerintahan, tidak boleh berdasarkan like or dislike (suka atau tidak suka).
"Semua tata kelola pemerintahan ada aturan dan regulasi, kenapa ini dikesampingkan? Ayo kita buka aturan main, apa alasan ini semua tidak bisa dicairkan hanya gara-gara ditandatangani oleh Muflihun?" kata dia.
Ia menyenangkan ada pernyataan bahwa, Pimpinan DPRD Riau seolah-olah menjadi pihak yang disalahkan. Padahal, proses ini semuanya ada di BPKAD Riau. Pengelolaan keuangan di Pemda, mengacu kepada PP Nomor 12 tahun 2019 tentang pengelolaan keuangan daerah, dan turunannya ada di Permendagri Nomor 77 tahun 2020 tentang pedoman teknisnya.
Apa yang diusulkan DPRD Riau melalui Surat Perintah Membayar (SPM) tidak menyalahi satupun poin dalam aturan itu. Sebab, dalam aturan itu disebutkan bahwa kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan pengelolaam keuangan daerah memberikan pelimpahan kuasa kepada Kepala SKPD, yang kemudian ditunjuk sebagai Pengguna Anggaran (PA) melalui Surat Keputusan (SK).
"PA inilah yang mencairkan uang melalui SPM. SPM ini yang ditolak. Ini saya tak habis pikir kenapa ditolak. Makanya saya bilang berhentilah menyandera uang DPRD Riau," jelasnya.
Pemprov Riau sendiri sampai hari ini masih mengakui Muflihun sebagai Sekretaris DPRD Riau defenitif, dan SK itu masih hidup. Dan belum ada SK yang menggugurkan keputusan itu. Begitu juga dengan SK terkait statusnya sebagai PA.
"Pertanyaannya, apa dasar BPKAD tak menerima SPM itu yang merupakan hak DPRD Riau. Jangan sampai nanti honorer, sekuriti, tenaga kebersihan, dan lainnya mendemo ke BPKAD. Kan malu kita," katanya.
Kalaupun ada dinamika politik yang melatarbelakangi hal ini, bukan alasan Pemprov Riau menahan-nahan uang. Karena BPKAD tidak bisa bekerja sekehendak hati, tapi harus berdasarkan aturan.
Lanjutnya, DPRD Riau, sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah, tak ingin ikut campur dalam urusan politik di Pemprov Riau. Yang terpenting, keuangan di DPRD Riau wajib dicairkan atas dasar regulasi dan hak DPRD Riau.
"Kalau menurut mereka ada aturan yang bisa mengalahkan regulasi itu, silahkan sebutkan. Tapi kalau tak bisa sebutkan, tolong segera cairkan. Karena kita mengelola pemerintahan daerah bukan seperti main alek-alek," tegasnya.
Penulis | : | Delvi Adri |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Pemerintahan, Riau |