Ilustrasi. BUMD.
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Beberapa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau menjadi sorotan DPRD Riau. Sebab, kontribusi perusahaan berplat merah itu dinilai minim untuk daerah.
Komisi III DPRD Riau bertahap manggil perusahaan-perusahaan itu. Pekan lalu, PT Penjaminan Kredit Daerah Riau (Jamkrida) hadir memenuhi panggilan. Pertemuan itu membahas target BUMD itu dalam mencapai dividen yang akan diberikan kepada Pemprov Riau.
"Rapat perdana dengan PT Jamkrida Riau. Kita mau tahu evaluasi sampai kuartal pertama, masuk kuartal kedua itu sudah sejauh mana capaian target yang sudah direncanakan. Setelah penambahan penyertaan modal Rp25 miliar. Sejauh mana perubahan kinerja PT Jamkrida untuk mencapai target yang diberikan," kata Ketua Komisi III Markarius Anwar, Senin (27/6/2022).
Penambahan modal memang masuk Bulan April. Artinya masih baru. Kondisi itu dimaklumi. Namun, Ia berharap ke depan PT Jamkrida ini menyusun Perencanaan strategis (Renstra) terbaru, baik satu tahunan lima tahunan dengan pernyataan modal yang sudah ditambahkan.
"Kalau dulu kan modal dasar mereka Rp25 miliar, sekarang sudah menjadi Rp50 miliar, itu harus kita hitung lagi targetnya. Karena dengan penambahan modal mereka sudah bertambah kapasitas penjaminannya. Kalau dengan modal Rp25 miliar kemarin mereka hanya bisa menjamin Rp1 triliun. Kalau hari ini mereka sudah bisa menjamin sampai Rp2 triliun," kata dia.
Artinya, tentu itu juga berdampak kepada dividen yang akan diberikan kepada Pemprov Riau. Komisi III berharap, dividen naik dua kali lipat. Meski penyertaan modal baru tahun berjalan, Komisi III berharap terjadi peningkatan.
"Tahun lalu dividen yang diserahkan ke pemerintah Rp4 miliar. Cuma kemarin diekspose penyertaan modal, tahun ini target mereka Rp6 miliar. Naik Rp2 miliar. Harapan kita tercapai Rp6 miliar itu," kata dia.
Selain PT Jamkrida, PT Sarana Pembangunan Riau (SPR) juga menjadi perhatian Komisi III DPRD Riau. Wakil Ketua Komisi III DPRD Riau Zulkifli Indra menyebut, ada laporan dugaan penyelewengan kekuasaan di internal SPR, terutama di dalam pengelolaan anak perusahaan SPR, yakni SPR Langgak.
SPR Langgak sendiri merupakan anak perusahaan SPR yang berkantor di Jakarta. Mereka merupakan operator dalam operasional eksplorasi minyak di Blok Langgak. Namun, karena statusnya sebagai anak perusahaan, SPR Langgak tak pernah berkomunikasi dengan DPRD Riau.
Menurut Zulkifli, setiap rencana kegiatan mereka hanya melaporkan kepada induknya, yakni PT SPR. PT SPR belum memiliki bisnis yang memberikan profit. Sehingga mereka bergantung kepada SPR Langgak. Hal inilah yang dia nilai membuat dividen dari kegiatan bisnis SPR Langgak tak maksimal.
"Kita mau lihat, bagaimana bisnis mereka (SPR Langgak (ini), mereka kan perusahaan Migas, mestinya dividen dari mereka besar, tapi kok yang sampai ke Provinsi belum maksimal," ujar Zulkifli.
Apalagi, Zulkifli pernah menerima laporan, bahwa banyak pengadaan-pengadaan yang mubazir, sehingga ini menjadi beban biaya operasional.
"Barang-barang yang dibeli SPR Langgak ini banyak pemborosan, pengadaan banyak tapi banyak pula yang tak terpakai, sampai tenaga kerja di lapangan kebingungan memakai alat ini. Artinya, pengadaan itu bukan kebutuhan operasional," jelasnya.
Selain itu, tenaga kerja yang direkrut oleh SPR Langgak juga diduga tidak mengutamakan tenaga lokal. Bahkan, putra asal Riau yang memiliki sertifikat Blok Cepu mereka buang, dan diganti dengan tenaga kerja non-Riau yang tak punya sertifikasi cukup.
"Diterimanya yang tak ada sertifikat. Ada apa ini? Permainan apa ini? Informasi-informasi seperti itu akan kita telusuri," tegasnya.
Penulis | : | Delvi Adri |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Ekonomi, Pemerintahan, Riau |