Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia, Pery Warjiyo. Foto: Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu. Kemenkeu.go.id
|
(CAKAPLAH) - Pandemi Covid-19 telah mempersempit ruang fiskal bagi negara-negara berkembang dan meningkatkan urgensi aturan pajak internasional yang dapat menghasilkan pendapatan pajak yang berkelanjutan untuk membiayai pembangunan.
Dengan kepercayaan yang diberikan kepada Indonesia dalam memimpin (presidency) kelompok kerja sama multilateral G20, sedikit demi sedikit sejarah baru menuju recovery usai pandemi, mulai terpahat.
G20 yang merupakan kelompok 20 negara dan kawasan ekonomi terbesar dunia, sangat strategis untuk membahas isu-isu global seperti kesehatan, perubahan iklim, dan stabilitas keuangan.
Rangkaian kegiatan G-20 sudah berjalan sejak Desember 2021 lalu yang akan usai pada KTT G20 di Bulan November 2022 mendatang.
G20 juga berupaya meningkatkan kemampuan kolektif dalam menjamin kesejahteraan masing-masing negara anggota melalui beragam upaya reformasi di bidang perpajakan global (various reform efforts in global taxation).
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pun mendorong peran G20 yang lebih besar untuk mencetak sejarah perekonomian dunia, yakni dengan mendukung negara-negara berkembang dalam mengimplementasikan standar perpajakan internasional dan upaya mobilisasi sumber daya domestik.
Menkeu juga menyerukan kolaborasi dan kerja sama yang lebih kuat di antara negara-negara anggota G20/OECD untuk pemulihan yang inklusif dan berkelanjutan.
Menkeu juga menyampaikan ucapan terima kasih selaku Presidensi G20 kepada para anggota G20 atas komitmen yang tengah berjalan untuk mengimplementasikan kesepakatan bersejarah mengenai dua pilar paket pajak internasional G20/OECD.
“Pada pilar satu, kemajuan signifikan telah dicapai dalam mengelaborasi aturan teknis yang komprehensif dari perpajakan baru yang matang untuk yurisdiksi pasar," ujar Menkeu dalam konferensi pers The 3rd Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) pada Sabtu (16/7/2022).
"Pada pilar dua, kemajuan terjadi termasuk finalisasi komentar terhadap aturan modern untuk membantu negara-negara membawa pajak minimum global ke dalam undang-undang domestik,” kata Menkeu lagi.
Para anggota G20 mendukung pekerjaan yang tengah berjalan terkait pilar satu dan menerima penyelesaian pilar dua Global Anti-Base Erosion (GloBE) Model Rules. Hal tersebut akan membuka jalan untuk implementasi yang konsisten pada tingkat global sebagai pendekatan umum dan menantikan penyelesaian Kerangka Implementasi GloBe.
Lebih lanjut, para anggota juga mendorong OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) untuk merampungkan pilar satu, termasuk menandatangani Konvensi Multilateral pada paruh pertama 2023, dan mendorong Kerangka Inklusif untuk menyelesaikan negosiasi yang akan mengizinkan pengembangan Instrumen Multilateral untuk implementasi Subject to Tax Rules (STTR) di bawah pilar dua.
“Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) ini, kami juga membahas dua topik lainnya, yaitu perpajakan dan pembangunan, serta transparansi pajak.
Para anggota G20 menggarisbawahi urgensi bantuan teknis dan peningkatan kapasitas melaksanakan kesepakatan dua pilar tersebut,” ungkap Menkeu.
Adapun para anggota juga menekankan kembali tujuan untuk memperkuat agenda pajak dan pembangunan sesuai pembahasan dalam G20 Ministerial Symposium on Tax and Development dan mengetahui Peta Jalan G20/OECD baru untuk Negara Berkembang dan Pajak Internasional.
“Anggota juga mendukung kemajuan yang dicapai dalam penerapan standar transparansi pajak yang disepakati secara internasional, termasuk upaya regional serta penandatanganan penyambutan penandatanganan Asia Initiative Bali Declaration. Sebanyak 11 yurisdiksi yang menandatangani,” kata Menkeu.
Untuk Indonesia sendiri, pajak sudah layaknya seperti nadi penggerak ekonomi bangsa. Terlebih setelah pandemi melanda yang memperlambat gerak ekonomi. Percepatan penghimpunan pajak dengan cara yang efisien sangat berarti bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Indonesia, bersama negara berkembang lainnya dapat mengeksplorasi cara-cara untuk meningkatkan sumber daya domestik dengan memastikan beban pajak yang lebih adil untuk perusahaan global, termasuk dengan mengatasi penghindaran pajak, dan mereformasi insentif pajak yang tidak efektif. Peningkatan administrasi perpajakan untuk mendorong kepastian pajak serta mengatasi penghindaran pajak pun turut dibahas dalam acara.
Dalam catatan CAKAPLAH.com, di tahun 2021 kemarin, data dari situs Kemenkeu, realisasi pendapatan negara mencapai Rp2.003,1 triliun. Perpajakan menyumbang Rp1.546,5 triliun. Dari jumlah itu, dialokasikan Rp 688,33 triliun untuk membiayai Program Pemulihan Ekonomi Naisonal (PEN).
Hingga tahun 2022, pemerintah semakin terlihat telah berbuat ekstra, guna mewujudkan pulihnya ekonomi RI. Pagu PEN dialokasikan Rp414 triliun.
Menkeu mematok, pendapatan negara pada tahun 2022 akan sebesar Rp 2.266,2 triliun atau naik Rp 420,1 triliun dari outlook sebelumnya yang sebesar Rp 1.846,1 triliun.
Menkeu memerinci, penerimaan negara ini bersumber dari penerimaan perpajakan yang diperkirakan mencapai Rp 1.784,0 triliun atau naik Rp 274,0 triliun dari target sebelumnya.
Terkait pertemuan ketiga FMCBG yang sudah terlaksana selama dua di Bali kemarin, Menkeu menegaskan komitmen semua perangkat-perangkat kebijakan untuk mempertahankan fiskal jangka panjang.
Di antaranya menyepakati untuk membentuk Dana Perantara Keuangan atau Financial Intermediary Fund (FIF) sebesar US$ 1,28 miliar atau naik sekira US$ 0,18 miliar dibandingkan pertemuan FMCBG sebelumnya.
"Ini juga termasuk kontribusi Amerika Serikat, Uni Eropa, Jerman, Singapura, Indonesia, Inggris, Wellcome Trust, Bill Gates Foundation. Serta pada pertemuan ketiga ini ada Italia, Tiongkok, Uni Emirat Arab, Jepang, dan Korea Selatan," jelas Menkeu.
Kemudian pada sustainable finance, negara G20 juga menggarisbawahi inklusi keuangan untuk ekonomi hijau untuk 2030 dan Perjanjian Paris terkait peta jalan keuangan berkelanjutan untuk transisi ekonomi hijau, dari institusi-institusi keuangan untuk menuju net zero emission atau karbon netral.
Dari sektor infrastruktur, juga disepakati terciptanya indikator kualitas dari investasi infrastruktur, untuk bisa meningkatkan pendanaan dan pengembangan kerangka kerja untuk kerjasama pihak swasta untuk investasi.
Kemudian pada terdapat kesepakatan adanya paket perpajakan yang terdiri dari dua pilar.
"Pajak pengembangan dan transparansi pajak. Anggota G20 menegaskan pentingnya teknis dan pengembangan kapasitas dua pilar tersebut untuk mengimplementasikan standar perpajakan untuk ekspor, yang tertuang di dalam Asia Initiative Bali Declaration, dari 11 yurisdiksi," jelas Menkeu lagi.
Pada kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan, Bank Sentral Negara G20 tetap diperkuat dengan konsistensi dan bank sentral secara dekat, dengan memonitor dampak tekanan harga dan terus mengkalibrasi laju moneter di tengah pengetatan kebijakan moneter.
Kemudian, dari stabilisasi makroekonomi, kata Perry komitmen G20 untuk menetapkan ketahanan jangka panjang dan Bank Sentral G20 akan memonitor semua risiko-risiko yang berdampak negatif dari rambatan kondisi ekonomi global.
"Terus berusaha untuk melihat bagaimana kerangka kerja IMF, di mana ini semua berkaitan dengan moneter dan sektor keuangan," jelas Perry.
"Sektor-sektor keuangan pada G20 melanjutkan komitmen untuk memperkuat dan menjaga sistem stabilitas keuangan yang ada, walaupun terdapat tantangan di dalam kondisi keuangan global," kata Perry melanjutkan.
Presidensi G20 Indonesia menegaskan kembali bahwa G20 perlu mengirimkan pesan yang jelas kepada masyarakat dunia bahwa G20 memegang komitmen kuat untuk bertindak nyata.
Dengan kata lain, semua anggota perlu memastikan implementasi kebijakan yang dihasilkan dari G20 untuk menjawab tantangan global saat. Melalui inisiatif konkret, dunia akan segera pulih dan bangkit lebih kuat. Recover Together, Recover Stronger.