Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman
|
JAKARTA (CAKAPLAH) - Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman mengapresiasi kinerja Kejaksaan Agung dalam menangani kasus dugaan korupsi penguasaan lahan sawit seluas 37.095 hektare dengan tersangka pendiri PT Duta Palma Group Surya Darmadi (SD).
"Pengungkapan kasus Duta Palma itu luar biasa, tidak terbayang tipikor seperti itu bisa ditindak lalu dikembangkan kasusnya," kata Habiburokhman dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (23/8/2022).
Dia mengatakan, modus dugaan korupsi yang dilakukan Duta Palma terhadap kekayaan negara banyak terjadi di beberapa tempat di Indonesia.
Habiburokhman mencontohkan di daerah Lampung, ada perusahaan besar menggarap lahan namun kenyataan di lapangan tidak sesuai.
"Kasus Duta Palma ini jadi 'banch mark' dalam pemberantasan korupsi, kita bisa kembalikan banyak kerugian negara yang harus dimaksimalkan," ujarnya.
Anggota Komisi III DPR RI Supriansa meminta Kejaksaan menjelaskan secara rinci terkait kasus Duta Palma, misalnya bagaimana menghitung kerugian negara dalam kasus tersebut sebesar Rp78 triliun. Menurut dia hal itu bisa menjadi pembelajaran bagi Komisi III DPR dalam melakukan pengawasan di daerah-daerah khususnya terkait alih fungsi hutan di Indonesia.
"Siapa tahu ada perusahaan lain yang belum tersentuh Kejaksaan, harapan kami bisa diungkap dalam pengawasannya," katanya.
Dalam RDP tersebut, Jaksa Agung ST Burhanudin menjelaskan perkembangan kasus dugaan korupsi yang menjerat pendiri PT. Duta Palma Group Surya Darmadi yang diduga merugikan negara senilai Rp78 triliun.
Menurut dia, modus operansi yang dilakukan adalah penyerobotan hutan lindung seluas 37.095 hektare di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, bersama dengan Raja Thamsir Rachman selaku Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2008.
"Penerbitan izin itu melawan hukum karena tidak membentuk tim terpadu," ujarnya.
Jaksa Agung menjelaskan, kerugian negara sekitar Rp78 triliun tersebut dengan rincian, nilai produksi buah sawit senilai Rp9 triliun, kerugian kawasan hutan secara melawan hukum dan tidak membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp421 miliar, dan kerugian kerusakan lingkungan karena hutan berubah menjadi kawasan kepala sawit Rp69,1 triliun.**