PEKANBARU (CAKAPLAH) - Tepat 2 September 1985 lalu, terjadi peristiwa sejarah di Provinsi Riau. Kejadian 37 tahun silam itu menjadi tonggak sejarah bagi Riau.
Untuk diketahui, hari itu dikenang sebagai tonggak demokrasi di Negeri Lancang Kuning Provinsi Riau. Para wakil rakyat di DPRD Riau berusaha menentukan sendiri gubernurnya dengan memilih Ismail Suko. Tentu ini bertentangan dengan rezim Soeharto yang menginginkan Imam Munandar dari TNI untuk memimpin Riau.
Akhirnya saat pemungutan suara oleh voting anggota legislatif Ismail Suko meraih 19 suara mengungguli dua saingannya, Mayjen Imam Munandar 17, dan Abdul Rachman Hamid 1 suara.
Meski terpilih secara politik, ternyata Ismail Suko tidak mendapat pengakuan dari Presiden Soeharto sebagai gubernur terpilih. Ismail Suko dan pendukungnya sempat menolak mundur namun karena adanya tekanan, dengan kebesaran hati ia akhirnya mengalah.
Peristiwa tersebut menggegerkan Indonesia dan dinilai sebagai bentuk perlawanan daerah terhadap rezim Soeharto.
Mengenang peristiwa tersebut, anak kandung Ismail Suko, Joni Irwan kepada CAKAPLAH.com, mengatakan, bahwa sampai saat ini selaku anak almarhum, peristiwa itu masih sangat membekas. Karena peristiwa itu sejarah yang juga cikal bakal reformasi pada masanya.
"Pada masanya kan dulu anggota dewan itu selalu mengikuti petunjuk pusat. Tapi pada masanya tahun 1985, sudah mulai tak sepaham dengan keinginan pusat. Kegiatan tentu mempunyai proses dimana perlawanan itu terjadi," kata Joni, Jumat (2/9/2022).
Pria yang menjabat Asisten III Setdaprov Riau dan juga Plt Sekwan DPRD Riau ini mengenang, bahwa ayahnya Ismail Suko pada saat itu menjabat sebagai Sekwan DPRD Riau, yang hanya mendapatkan perintah sebagai calon gunernur pendamping pada masanya.
Sehingga saat itu, ada calon yang diunggulkan dan hanya sebagai pelengkap. Namun, dengan kondisi yang runyam, saat itu para anggota dewan melakukan semacam siasat untuk melakukan proses pergantian gubernur ketika itu.
"Kalau saya selaku anak tidak tahu secara langsung karena bukan pelaku sejarah. Yang jelas bagi keluarga, kegiatan 2 September itu begitu membekas, dan kegiatan proses politik pada masanya yang harus digaungkan. Proses demokrasi yang saat ini berjalan, pada saat itu sangat-sangat langka," kata Joni.
Ia mengatakan, pada saat itu, perintah dari pusat memang harus diikuti oleh anggota DPRD kala itu. Seperti ibunya saat itu yang merupakan anggota DPRD Riau, diminta pusat untuk tidak memilih suaminya Ismail Suko dan harus memilih salah satu calon yang dipersiapkan pusat.
"Kami anak - anaknya, mendengar kegiatan itu tentu tak secara langsung. Saya waktu itu sedang kuliah di Jogja. Kita hanya membaca di koran, ketika terjadi pemilihan, dan proses yang bisa dikatakan ada ancaman dan sebagainya. Sehingga kita sangat perihatin dengan kondisi orang tua," kenang Joni.
"Karena waktu itu komunikasi sempat terputus. Telepon di rumah tidak bisa lagi, dan kita minta informasi dari tetangga sebelah rumah pada waktu itu. Kondisinya memang sangat ruyem karena kondisinya beda dengan reformasi saat ini," cakapnya lagi.
Maka, peristiwa 37 tahun lalu itu sekarang menjadi refleksi, dimana Ismail Suko meninggal pada tahun 2011, tepat sudah 11 tahun Ismail Suko meninggal dunia.
"Ayah saya sebagai abdi negara waktu itu diminta untuk mengundurkan diri, dengan demikian ayah mendapatkan suatu kehormatan menjadi anggota DPR RI satu periode. Itu adalah satu hasil pendekatan politik yang mungkin ayah diminta mengundurkan diri dalam rangka untuk meloloskan jabatan yang lama sebagai gubernur. Akhirnya ayah menjadi anggora DPR RI dan kami anak-anaknya memaklumi karena situasi politik," cakapnya lagi.
Lebih jauh, ia mengatakan bahwa peristiwa sejarah tersebut menjadi proses pembelajaran politik, dimana para anggota dewan berjuang penuh dengam perjuangan. Dan cikal bakal reformasi Riau.
Untuk diketahui, Ismail Suko lahir pada 15 Juni 1932 di Rokan Hulu dan meninggal dunia di RS Mahkota Malaka, Malaysia, Senin 16 Mei 2011 lalu.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Pemerintahan, Riau |