![]() |
H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM
|
Seperti diketahui, Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM sudah mulai berjalan. Menurut informasi, BLT yang diberikan kepada warga sejumlah Rp 600 ribu dan hanya diberikan selama 4 bulan, mulai September hingga Desember 2022. Untuk pencairan dilakukan bertahap. Pemerintah Pusat berdalih BLT BBM diberi kepada masyarakat sebagai bentuk perlindungan sosial akibat tekanan kenaikan BBM, dan diharapkan dapat meringankan beban masyarakat memenuhi kebutuhan harian. Namun banyak yang mencibir alasan itu, dengan memandang bantuan yang diberikan tak sepadan dengan beban hidup ditanggung rakyat paska kenaikan BBM.
Pemikiran sederhana saja, kenaikan BBM akan diikuti lonjakan harga lain secara bersamaan dan langsung dirasakan masyarakat luas. Sementara BLT dan Bansos cairnya bertahap. Kemudian dari segi jangka waktu, BLT BBM dampaknya cuma beberapa bulan tapi implikasi kenaikan BBM satu sampai dua tahun ke depan. BLT yang dikucurkan juga diyakini tak akan efektif meredam efek negatif yang bakal dirasakan banyak sektor, terutama UMKM dan pekerja sektor informal. Terkhusus disebut terakhir merupakan kelompok yang sebenarnya paling rentan terdampak kenaikan. Kekhawatiran saat ini, kebanyakan pekerja sektor informal tak masuk di BPJS Ketenagakerjaan. Padahal untuk menerima bantuan harus sudah terdaftar di jaminan sosial.
Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar secara simbolis juga telah menyalurkan BLT disertai bantuan dana sembako untuk sejumlah warga. Warga penerima adalah yang sudah terdaftar dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Total tercatat sebanyak 268.363 KPM di Provinsi Riau akan menerima bantuan sebesar Rp500 ribu, dengan rincian Rp 300 ribu untuk dua bulan BLT BBM dan Rp 200 ribu bantuan sembako (cakaplah.com, 9/9/2022).
Bagi masyarakat terkendala dan tak bisa ambil langsung, bisa dihantar ke tempat tinggal yang sudah terdaftar di KPM. Seperti biasa, “ulah” kebijakan pusat pasti turut dirasakan daerah. Sudahlah atasi lonjakan harga dan inflasi, Pemerintah Daerah (Pemda) dituntut berbagi kewajiban dengan pusat. Bentuknya pengalokasian anggaran Bansos, sebagaimana diatur Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib Dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun 2022. Jadi Pemda wajib beri dukungan berupa penganggaran belanja wajib perlindungan sosial periode Oktober-Desember 2022 sebesar 2 % dari Dana Transfer Umum (DTU) di luar Dana Bagi Hasil (DBH) yang ditentukan penggunaannya.
Adapun belanja wajib perlindungan sosial diperuntukan bagi pekerja ojek, UMKM dan nelayan, penciptaan lapangan kerja dan/atau pemberian subsidi sektor transportasi angkutan umum di daerah. Penganggaran belanja wajib perlindungan sosial diakomodir di perubahan Peraturan Kepala Daerah mengenai penjabaran APBD Tahun Anggaran (TA) 2022 untuk selanjutnya dituangkan dalam Perda Perubahan APBD TA 2022. Atau berupa Laporan Realisasi Anggaran bagi Daerah yang tidak melakukan atau yang telah melakukan Perubahan APBD.
Biang Masalah
Wajar kenapa BLT dibilang bete (istilah gaulnya bermakna sesuatu yang menimbulkan suasana hati cenderung negatif). Banyak merasakan pengalaman pahit. Warga terdampak makan hati asbab banyak yang tak terdata. Secara sosiologis di lapisan bawah juga memicu gesekan antara perangkat pemerintah dengan warga. Secara tujuan, BLT dan Bansos sifatnya bukan mengarah ke hal produktif. Malah terkesan membodohi, seperti dikatakan pak Jokowi saat menjabat walikota Solo bahwa BLT tak mendidik.
Secara agenda nasional, BLT bertolakbelakang dengan narasi yang digaungkan Pemerintah selama ini yakni menciptakan kemandirian ekonomi. Teruntuk Pemda, BLT dan Bansos adalah mimpi buruk. Urusan jaring pengaman sosial kala pandemi sudah sarat masalah. Penyebabnya bukan warga. Pangkal perkara justru Pemerintah sendiri yang lemah dari segi manajemen baik itu database dan seterusnya. Sudah berpuluh tahun dan berkali-kali BBM dinaikkan tetap pakai alasan sama: tidak tepat sasaran. Lantas sekarang bagaimana mungkin mengompensasi subsidi BBM ke BLT dan Bansos yang keakuratan datanya sebelas dua belas? Belum lagi ditambah kasus penyelewenangan.
Termasuk untuk skala Riau alami hal serupa. Diantaranya pernah menjadi catatan BPK Provinsi Riau, dimana realisasi tak sesuai dengan jumlah anggaran. Catatan tersebut tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI untuk Anggaran penanganan dana bantuan Covid-19 di Riau atau Jaring Pengaman Sosial (JPS) tahun 2020, dimana terdapat anggaran sebesar Rp 116.960.779.800 yang belum jelas pelaporannya. Walikota Pekanbaru kala itu sempat mengeluh tak ada anggaran penanganan dampak Covid-19, padahal Pekanbaru telah menerima anggaran dari Pemprov.
BPKAD Provinsi Riau menyatakan hal tadi terjadi karena lambatnya serapan anggaran Covid di Riau, plus belum lengkapnya kabupaten/kota melampirkan data konkret penerima. Catatan BPK pun kemudian ditindaklanjuti Pemprov Riau. Tidak berhenti di sana, berbagai kabar juga mewarnai pembagian JPS. Mulai warga protes adanya pemotongan atau tidak sesuainya bantuan yang diterima dan lain-lain. Sampai-sampai bank penyalur turut terseret lantaran dana bantuan yang ditransfer terpotong saldo minimal rekening.
Berangkat dari pengalaman tadi, semestinya pengalaman penyaluran Bansos selama pandemi dan BLT berujung makin sempurna sistem dan pengelolaan di Pemerintahan, bukan sebaliknya malah tambah amburadul. Kami meminta kiranya Pemprov Riau membenahi kekurangan agar pembagian BLT disertai Bansos dapat lebih tepat sasaran dan berkeadilan. Harus diakui banyak kelompok dan lapisan masyarakat berhak menerima dan terdampak kenaikan BBM tetapi belum sepenuhnya terakomodir. Mereka berhak memperoleh perlakuan sama.
Berbagai ikhtiar dan pendekatan mesti ditempuh. Program mesti dioptimalkan supaya dapat menjangkau lebih luas. Terutama membuka jalur informasi dua arah supaya diperoleh data akurat salah satunya dengan memaksimalkan penggunaan berbagai sarana komunikasi. Terkait ini, di pusat sudah ada Program Usul Sanggah Kementerian Sosial (Kemensos) yang berguna mencegah penyaluran bantuan sosial tidak tepat sasaran. Sehingga mereka yang berhak menerima tapi tidak dapat (exclusion error) atau yang tak berhak tapi dapat (inclusion error) dapat melapor.
Di tingkat daerah kita patut mengapresiasi Pemprov Riau yang punya program serupa bernama Mata Bansos. Fitur diakses melalui perangkat teknologi tersebut merupakan hasil pengembangan Pemprov Riau dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) masa pandemi, dan infonya diadopsi secara nasional. Pemanfaatan teknologi semisal tentu sangat membantu memonitor berbagai kekurangan. Terobosan diharapkan dapat dipakai selama penyaluran BLT BBM dan Bansos hingga akhir tahun 2022. Disamping juga perlunya memaksimalkan layanan lapor offline atau konvensional. Keseriusan Pemerintah mulai pusat hingga daerah sangat menentukan. Karena ini menyoal keberlanjutan hidup warga. Jangan sampai warga sudah kehilangan hak subsidi BBM atas dalih tidak tepat sasaran, lalu mereka lagi-lagi kehilangan hak bantuan akibat kelalaian pendataan.
Penulis | : | H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. (Anggota DPRD Provinsi Riau). |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |










































01
02
03
04
05




