Syahril Abubakar.
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Ketua Umum DPH LAM Riau periode 2017 - 2022 yang juga merupakan Ketua Dewan Pimpinan Agung (DPA) versi Mubes Dumai, Tan Seri Syahril Abubakar mengatakan, bahwa terjadinya dualisme di tubuh LAM Riau, karena dirinya dikudeta.
Untuk diketahui, kubu Raja Marjohan menggelar Mubeslub dan dikukung langsung oleh Gubernur Riau, sementara dari hasil Mubes Dumai, Syahril Abubakar kembali memimpin LAM Riau periode 2022 - 2027.
Kubu Syahril lantas menggugat Mubeslub yang digelar Marjohan dan mengatakan bahwa Mubeslub tersebut mengangkangi aturan. Syahril kemudian menggugat Marjohan Cs termasuk Gubernur Riau ke Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Namun dalam perjalanannya, PN Pekanbaru memutuskan bahwa PN Pekanbaru tidak berwenang menyidangkan hal tersebut, karena dinilai persoalan tersebut diselesaikan di tingkat Dewan Kehormatan Adat LAM Riau.
"Untuk diketahui ya, saya ini dikudeta oleh oknum Ketua DPH dan timbalan ketua MKA, dan didukung oleh Gubernur Riau. Masak itu harus dibawa ke kode etik di DKA. Ini kan bukan organisasi profesi, ini organisasi masyarakat adat. Itu kan namanya pelanggaran peraturan organisasi," tegasnya.
Ia menjelaskan, bahwa dirinya yang dikudeta dan didukung oleh 5 LAM kabupaten kota, adalah hal yang menyalahi aturan, dan pelanggaran AD ART berat.
"Ingin menjadi ketua lembaga adat tapi melakukan hal yang tak beradat," cakapnya lagi.
Maka dari itu, kata Syahril pihaknya tetap akan menempuh banding ke Pengadilan Tinggi terhadap hal tersebut.
Diberitakan sebelumnya, Kuasa Hukum Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau versi Syahril Abubakar, Wismar angkat bicara terkait amar putusan Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru terhadap gugatan yang dilayangkan pihaknya kepada tergugat LAM versi Marjohan Cs yang menggelar Mubeslub.
Untuk diketahui, Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru mengeluarkan tiga amar putusan terkait gugatan Syahril Abu Bakar, bahwa PN Pekanbaru belum berwenang untuk mengadili. Amar ini dikeluarkan pada Kamis (15/9/2022) kemarin.
Isi amar putusan PN Pekanbaru tersebut adalah, pertama, menyatakan menerima eksepsi tergugat I, tergugat II, tergugat II, tergugat IV, tentang kewenangan mengadili.
Kedua, menyatakan Pengadilan Negeri Pekanbaru belum berwenang mengadili perkara 164/Pdt.G/2022/PN Pbr;. dan Ketiga, menghukum para penggugat membayar biaya perkara sejumlah Rp1.988.000.
Amar putusan PN Pekanbaru ini, menyusul eksepsi yang disampaikan oleh kuasa hukum tergugat I, II, III, dan IV.
Kepada CAKAPLAH.com, Wismar mengatakan, bahwa ada kejanggalan dalam putusan PN Pekanbaru tersebut. Dimana, hakim belum memeriksa pokok perkara, namun sudah memutuskan tidak bisa melanjutkan dan menyatakan tidak berwenang untuk menyidangkan perkara tersebut.
"Kita para pihak terkait itu belum ada mengajukan barang bukti, baik tertulis ataupun bukti saksi. Nah, sekarang timbul pertanyaan, apa dasar hakim menyatakan tidak kewenangannya, dan berdalih bahwa yang berwenang itu adalah Dewan Kehormatan Adat untuk menyelesaikan persoalan tersebut," kata Wismar, Jumat (16/9/2022).
"Kita saja para pihak, baik penggugat dan tergugat, secara patut belum pernah memberikan AD/ART ke majelis hakim, nah dari mana datangnya hakim bisa memutuskan perkara, sementara dasar hukumnya tak ada di tangan dia. Apa pegangan hakim? Apa benar dalam persoalan di AD/ART yang berhak menyelesaikannya adalah DKA, kan belum ada dibaca dan dipelajari sama hakim," kata Wismar lagi.
Apalagi, menurut Wismar, Dewan Kehormatan Adat, di dalam AD ART tidak sama dengan Dewan Kehormatan profesi yang berwenang untuk mengadili suatu perkara yang dilakukan oleh anggotanya seperti profesi militer dan advokat.
Namun, dalam AD/ART LAM, kata Wismar, tidak ada dicantumkan bahwa DKA berhak untuk melakukan hal tersebut. Melainkan, DKA berfungsi untuk memberika petuah adat, bukan menyelesaikan internal LAM.
"Jadi kita heran melihat pengadilan. Memutus perkara itu dasar hukumnya apa. Kami aja para pihak belum memberikan AD ART, kok hakim menyatakan hal tersebut. Walaupun ada eksepsi dari tergugat, tapi hakim itu harus melihat dasar hukumnya, dan itu adalah AD ART yang sama sekali belum diberikan ke hakim," herannya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) kubu Raja Marjohan Yusuf, Aziun Asyaari membantah pernyataan dari kuasa hukum Lembaga Adat Melayu Riau versi Syahril Abubakar, yang menilai banyak kejanggalan dalam putusan sela Pengadilan Negeri Pekanbaru terhadap tuntutan penggugat.
Aziun mengatakan, pernyataan Wismar bahwa pihak terkait belum menyerahkan alat bukti memang benar, karena prosesnya belum sampai pada mengajukan alat bukti.
Namun, untuk anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ADT), kata Aziun sudah diserahkan pihak penggugat pada proses sidang pertama. Karena penggungat menggugat atas nama lembaga, maka majelis hakim memeriksa kelembagaannya.
"Itu (AD/ART) sudah diserahkan pada sidang pertama. Maka dari itulah hakim melihat kelengkapan administrasinya. Jadi dia lupa atau pura-pura lupa, bahwa dia pernah menyerahkan AD/ART waktu sidang perdana. Itu di depan kita diserahkan langsung oleh Wismar Harianto, diperiksa kelengkapan administrasinya, beserta surat kuasa. Jadi kalau dia mengatakan belum pernah menyerahkan AD/ART, mungkin dia lupa atau pura-pura lupa," kata Aziun, Sabtu (17/9/2022).
Selain itu, kata Aziun lagi, penafsiran kuasa hukum Syahril Abubakar terhadap Dewan Kehormatan Adat (DKA) adalah penafsiran yang salah. Karena menurutnya, DKA telah jelas diatur dalam bab 4 pasal 4 ayat 1 dalam AD/ART, yang berfungsi sebagai persebatian ketua adat, alim ulama tokoh masyarakat, yang memberikan tunjuk ajar dalam menjalankan lembaga adat.
"Itulah tujuannya apabila terjadi persoalan internal, diselesaikan lebih dulu di Dewan Kehormatan Adat. Kalau nantinya merasa tidak adil baru dibawa ke pengadilan," cakapnya lagi.
Selain itu, kata Aziun, dimana pihak penggugat merasa janggal karena hakim sudah memutuskan sebelum pokok perkara, apa yang dilakukan hakim sudah benar.
"Katanya hakim memutuskan sebelum perkara diperiksa, padahal sebelum pokok perkara diperiksa itu sudah bisa hakim memutuskan. Kalau menyangkut kewenangan pengadilan, itu walaupun belum masuk pokok perkara, hakim sudah bisa memutuskan, itu namanya putusan sela," cakapnya lagi.
Dimana, menurut Pasal 185 ayat HIR atau Pasal 48 RV, putusan sela adalah putusan yang diambil atau dijatuhkan hakim dan bukan putusan akhir atau eind vonnis, yang dijatuhkan pada saat proses pemeriksaan berlangsung.
"Jadi intinya, pada sidang pertama sudah ada pemeriksaan kelengkapan adminstrasi dari penggugat dan tergugat. Juga pada sidang pertama, penggugat telah menyerahkan AD dan ART kepada majelis hakim karena penggugat menggugat atas nama Lembaga Adat Melayu Riau hasil Mubes. Kemudian, sudah ada proses sidang - agenda sidang pembacaan gugatan dari penggugat, dan agenda sidang jawaban tergugat, agenda sidang replik, dan agenda sidang duplik," urainya.
"Dalam proses agenda tersebut membahas salah satunya eksepsi kewenangan pengadilan, jadi dasar hakim jelas ada, yakni pemeriksaan administrasi, dan aenda sidang yang membahas masalah kewenangan Pengadilan Negeri," tukas Aziun
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Pemerintahan, Serba Serbi, Riau |