Sebuah kendaraan militer melaju di sepanjang jalan dengan papan iklan bertuliskan: Dengan Rusia selamanya, 27 September. Foto: AP Photo
|
(CAKAPLAH) - Setelah tujuh bulan perang yang melelahkan, banyak orang Ukraina takut akan mengalami lebih banyak penderitaan dan represi politik ketika terjadi referendum oleh Kremlin. Banyaknya polisi yang berjaga sambil membawa senjata di wilayah Luhansk, Kherson, Donetsk, dan Zaporizhzhia menandakan aneksasi Rusia akan segera terjadi atas empat wilayah yang diduduki tersebut.
Banyak penduduk meninggalkan empat wilayah tersebut sebelum referendum berlangsung. Mereka takut dipaksa untuk memilih atau berpotensi mengikuti wajib militer menjadi tentara Rusia.
Salah satu warga, Petro Kobernik meninggalkan Kota Kherson yang dikuasai Rusia tepat sebelum pemungutan suara dimulai pada Jumat (23/9/2022). Dia mengatakan, prospek hidup di bawah hukum Rusia dan perang yang meningkat membuatnya sangat gelisah tentang masa depannya.
“Situasi berubah dengan cepat, dan orang-orang takut bahwa mereka akan dilukai oleh militer Rusia, atau gerilyawan Ukraina dan pasukan Ukraina yang menyerang,” Kobernik dalam sebuah wawancara melalui telepon.
Beberapa pejabat Rusia membawa surat suara ke lingkungan tempat tinggal Kobernik ditemani oleh polisi bersenjata. Kobernik mengatakan, ketika pejabat Rusia datang, ayahnya yang berusia 70 tahun menutup pintu rumahnya di Desa Novotroitske, Kota Kherson. Ayah Kobernik bersumpah untuk tidak membiarkan siapa pun masuk ke dalam rumahhya.
Kiev dan Barat mengecam referendum tersebut. Mereka secara luas menilai referendum sebagai dalih untuk aneksasi. Pihak berwenang Rusia diperkirakan akan mengumumkan kepemilikan empat wilayah tersebut setelah pemungutan suara berakhir pada Selasa (27/9/2022).
Kremlin telah menggunakan taktik ini sebelumnya. Pada 2014, Rusia mengadakan referendum di wilayah Krimea, Ukraina. Langkah ini dikecam oleh sebagian besar dunia dan dianggap ilegal.
Pihak berwenang Ukraina telah mengatakan kepada penduduk dari empat wilayah yang diduduki Rusia bahwa mereka akan menghadapi hukuman pidana jika ikut memberikan suara. Pihak berwenang Ukraina menyarankan agar warga yang tinggal di wilayah Luhansk, Kherson, Donetsk, dan Zaporizhzhia segera pergi.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, dia siap menggunakan senjata nuklir untuk melindungi wilayahnya. Putin juga telah memobilisasi 300 ribu tentara cadangan untuk bertempur di Ukraina. Gubernur wilayah Kherson selatan yang ditunjuk Moskow, Vladimir Saldo, bersumpah bahwa, upaya Ukraina untuk menggagalkan referendum dengan melakukan serangan tidak akan berhasil.
“Ini rumit karena masalah keamanan, tetapi semuanya akan dilakukan untuk membuat pemungutan suara aman bagi pemilih dan penyelenggara pemilu. Orang-orang menunggu untuk bergabung dengan Rusia dan ingin itu dilakukan secepat mungkin," kata Saldo dalam pidato video.
Separatis yang didukung Moskow di wilayah Donetsk dan Luhansk timur mengklaim, sebagian besar penduduk wilayah ini telah bermimpi untuk bergabung dengan Rusia sejak pencaplokan Krimea. Namun banyak warga di sana menceritakan kisah yang berbeda.
“Jalan-jalan kosong karena orang-orang tinggal di rumah. Tidak ada yang menyatakan kami ingin menjadi bagian dari Rusia dan mulai mengumpulkan orang-orang kami," ujar Marina Irkho, seorang penduduk Kota Berdyansk melalui telepon.
Irkho mengatakan, mereka yang secara aktif mendukung Ukraina telah meninggalkan kota atau bersembunyi. Dia menambahkan, banyak orang tua yang mendukung Rusia tetap tinggal di rumah mereka tetapi merasa takut.
Gerilyawan Ukraina terus-menerus menargetkan pejabat yang ditunjuk Moskow di wilayah pendudukan. Hanya seminggu sebelum referendum, seorang wakil kepala pemerintahan Kota Berdyansk dan istrinya yang merupakan komisi pemilihan kota tewas dalam sebuah serangan.
Anggota kelompok militan Ukraina Yellow Band telah menyebarkan selebaran yang berisi ancaman bagi mereka yang ikut memberikan suara. Kelompok ini mendesak penduduk untuk mengirim foto dan video orang-orang yang memilih untuk melacak mereka.
Para gerilyawan juga mengunggah nomor telepon ketua komisi pemilihan di wilayah Kherson.
Seorang penduduk Kota Mariupol, Larysa Vinohradova, meninggalkan kotanya setelah invasi Rusia. Vinohradova mengatakan, banyak temannya tetap tinggal di Mariupol karena mereka harus merawat orang tua yang sudah lanjut usia, yang sebagian besar menolak untuk melarikan diri.
“Mereka tidak mendukung Rusia, mereka ingin Mariupol menjadi bagian dari Ukraina, dan mereka menunggunya,” kata Vinohradova, sambil menangis.
Gubernur Luhansk Serhiy Haidai meninggalkan wilayah itu setelah disapu oleh pasukan Rusia. Dia mengatakan, penduduk takut bahwa Rusia akan mengumpulkan lebih banyak orang di wilayah itu untuk dinas militer mengikuti perintah mobilisasi Putin.
“Rusia menggunakan pseudo-referendum ini sebagai dalih bagi orang-orang bersenjata untuk mengunjungi apartemen dan mencari orang yang tersisa untuk memobilisasi mereka dan juga mencari sesuatu yang mencurigakan dan pro-Ukraina,” kata Haidai kepada The Associated Press.
"Serangan balik Ukraina yang cepat telah membuat takut Rusia," tambah Haidai.
Para analis mengatakan, Putin berharap ancaman eskalasi militer dapat digunakan untuk memaksa Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy bernegosiasi dengan Kremlin. Kepala lembaga think tank Penta Center yang berbasis di Kiev, Volodymyr Fesenko, menilai, referendum yang tergesa-gesa justru menunjukkan kelemahan Kremlin.
“Tergesa-gesanya referendum itu menunjukkan kelemahan Kremlin, bukan kekuatannya. Kremlin sedang berjuang untuk menemukan pengungkit untuk mempengaruhi situasi yang telah lepas dari kendalinya," Fesenko.
Pejabat Ukraina mengatakan tanda-tanda tidak sahnya referendum mulai terlihat. Walikota Melitopol, Ivan Fedorov, mengatakan, Rusia melihat ada ketakutan dan keengganan warga untuk memilih.
“Kelompok kolaborator dan orang Rusia yang ditemani oleh pasukan bersenjata pergi dari satu apartemen ke apartemen lain, tetapi hanya sedikit orang yang membuka pintu. Tergesa-gesanya mereka mengorganisir pseudo-referendum itu menunjukkan bahwa mereka bahkan tidak akan menghitung surat suara dengan sungguh-sungguh," kata Fedorov.
Editor | : | Ali |
Sumber | : | Republika.co.id |
Kategori | : | Internasional |