Kolase foto Bupati Adil dan Gubernur Syamsuar.
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Husnu Abadi, M.Hum angkat bicara terkait persoalan hubungan Bupati Kepulauan Meranti dengan Gubernur Riau, Syamsuar yang membuat riuh Riau belakangan ini.
Untuk diketahui, perseteruan Adil dengan Syamsuar sudah terjadi beberapa kali. Yakni pertama saat Adil menyatakan diri untuk maju Pilgubri, dan 'menyenggol' Syamsuar yang menurutnya Gubernur tidak memperhatikan Meranti.
Kemudian, terkait kunjungan Gubernur Syamsuar ke Meranti yang gagal karena disebut - sebut ditolak Bupati Adil. Dan yang terbaru, Adil tidak menghadiri Rakor Gubernur bersama kepala daerah dan Camat, dan diduga melarang Camat untuk menghadiri agenda tersebut.
Husni Abadi mengatakan, dalam hukum tara negara, latar belakang persoalan ini adalah, di undang-undang nomor 22 tahun 1999, yang saat itu menyatakan gubernur bukan atasan dari bupati, dan bupati memegang otonomi daerah yang sangat luas.
Pada masa itu, kata Husnu, banyak bupati yang tidak mau menghadiri undangan dari atasannya yakni Gubernur, dan itu terjadi pada semua daerah.
Ia mencontohkan kala itu di tahun 1999 pada masa Gubernur Riau Saleh Djasit sampai tahun 2003, banyak bupati di Riau yang sedikit membangkang, namun tidak seperti memboikot seperti yang dilakukan Bupati Adil saat ini.
"Lalu diperbaiki oleh undang - undang nomor 32 tahun 2004, disebutkan bahwa gubernur merupakan wakil dari pemerintah pusat. Yang artinya bisa mengontrol dan sebagai atasan terhadap bupati dan walikota. Kemudian disempurnakan lagi oleh Undang-Undang nomor 23 tahun 2014, dimana lebih jelas lagi, bahwa gubernur bahkan bisa membatalkan peraturan daerah, karena sebagai wakil pemerintah pusat," papar Husnu.
"Artinya, atasan itu adalah Gubernur dan Mendagri. Sebetulnya bupati itu mempunyai kewenangan yang lebih konkrit, karenan otonomi itu adalah di kabupaten. Namun provinsi itu fungsinya koordinasi, gubernur adalah atasan bupati. Maka lazimnya, mau tau mau harus tahu duduk soalnya sebagai bupati untuk mentaati panggilan, undangan dari gubernur. Karena hal ini bukan kali ini terjadi, saat Gubernur Rusli Zainal ada Bupati Inhu Thamsir Rachman yang tak mau mentaati," cakapnya lagi.
Bagaimanapun, dalam sistem hukum tata negara, kata Husnu Abadi, Bupati adalah bawahan, dan gubernur mempunyai instrumen untuk mengontrol dan mengawasi bupati tersebut dalam undang-undang nomor 23.
"Maka, bisa saja gubernur memberikan sanksi. Sanksi itu bukan hanya pada bupati saja, tapi juga pemerintah kabupaten. Misalnya, dalam hal anggaran. Dalam hal kebijakan provinsi ke kabupaten. Mendagri juga mengontrol apasih maunya bupati ini, karena kita masih menekankan negara kesatuan. Negara kesatuan itu bisa sedikit - sedikit sentralistrik. Disinilah mau tak mau bupati harus tunduk pada Mendagri maupun kepada gubernur," cakapnya lagi.
Lebih jauh, mungkin saja Mendagri juga akan memberikan sanksi terkait sikap Bupati Adil tersebut. Bukan lagi sanksi teguran, tapi lebih kepada dalam pengalokasian program Kemendagri, dan juga dalam hal pemberiaan telaah verifikasi Perda dimana semuanya harus satu pintu melakui Mendagri.
"Bisa jadi kewenangan mengontrolnya bisa lebih serius, maupun lain - lainnya. Sanksi yang demikian itu memang misalnya bupatinya bilang 'tak ape-ape lah'. Tapi dalam program kesejahtraan rakyat, kan kasian rakyat itu. Mendagri itu leader itu dalam program - program kementrian lain. Maka, kalau sikap dari Bupati Adil itu konfrontatif, itu kan kurang menjunjung tradisi melayu," cakapnya lagi.
Selain dari sisi hukum tata negara, kata Husnu Abadi, juga bisa dilihat dari sisi budaya melayu yang menyanjung norma kesopanan dalam tradisi melayu.
Dimana, Gubernur maupun Bupati sama - sama mendapat gelar adat dari lembaga adat baik di provinsi maupun kabupaten.
"Ternyata, hal ini sering tak disadari, bahwa dia sebagai pemimpin melayu, bagaimana membangun peradaban kepemimpinan melayu. Apakah sopan santun tradisi kemelayuan tak perlu kita jaga dengan baik? Karena Riau ini sebagai pusat kebudayaan melayu. Maka nilai budaya melayu dalam hal mentaati pemimpin tentu harus kita budayakan, bukan menonjolkan menang - menangan. Memang kita masuk dunia republik yang masuk alam demokrasi, tapi tentu tak lepas dari tunjuk ajar melayu dalam hal menghormati pemimpin," katanya.
Pemimpin sendiri, dalam hal ini Gubernur juga boleh dikoreksi tapi dengan cara yang baik.
Karena, kata Husnu, bisa jadi pemerintah provinsi tidak memberikan perhatian kepada anak kandung ke-12 tersebut yakni Kabupaten Meranti.
"Maka, gubernur juga harus intropeksi, supaya semua kabupaten memperoleh perhatian, supaya sama-sama daerah Riau ini maju dan dirasakan rakyat," cakapnya lagi.
"Maka kalau kita lihat, cooling down lah Bupati Meranti. Harusnya begitu. Jadi bupati itu kan perlu kedewasaan, penuturkataan bupati itu harus lebih dewasa. Harus adalah tradisi kesopanan melayu bisa ditunjukkan lebih bagus. Kalau dilihat juga Syamsuar tak ada respon yang demikian, bagus juga itu sikapnya," tukasnya.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Pemerintahan, Riau, Kabupaten Kepulauan Meranti |