Ketua Umum Dewan Pimpinan Agung (DPA) Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) versi Mubes Dumai, Tan Seri Syahril Abubakar
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Ketua Umum Dewan Pimpinan Agung (DPA) Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) versi Mubes Dumai, Tan Seri Syahril Abubakar mendukung penuh langkah Komisi III DPR RI yang mengungkapkan ada 80 perusahaan yang terindikasi melakukan aktifitas ilegal di kawasan hutan Riau.
Syahril juga mengharapkan, langkah dari Komisi III ini tidak hanya menegakkan aturan hukum saja, tapi diharapkan lebih dalam lagi, yakni masyarakat dapat merasakan manfaat dari tertatanya kembali perkebunan kelapa sawit.
"Karena, tanah tersebut masuk juga dalam hak masyarakat adat. Maka, tolong dikembalikan, sehingga perkebunan ini dapat dirasakan masyarakat adat," kata Syahril.
Ia mengatakan, Komisi III mengatakan, di Riau sudah tidak ada lagi lahan produktif, sementara masyarakat adat bertumbuh terus, namun lapangan pekerjaan saat ini sulit.
Terlebih, katanya, saat ini para pekerja di perkebunan anak-anak kemenakan Riau harus bersaing di tengah gencarnya masuk para pekerja pendatang.
"Jadi sedih kita, anak tempatan itu, sudahlah lahan diambil, lapangan kerja pun tak dapat," cakapnya lagi.
Maka, pihaknya berharap, di era Presiden Jokowi yang mana persoalan di Sinama Nenek, Kampar, dengan perusahaan, bisa kembali ke masyarakat adat, dan masyarakat diuntungkan.
"Apalagi Kejagung kan sudah memproses persoalan Duta Palma, yang berkaitan dengan lahan yang berada di kawasan hutan dan termasuk punya masyarakat adat, bahkan ada tanah masyarakat yang sudah dicaplok perusahaan. Maka, kami berharap, kalau udah selesai persoalan di persidangan, pemerintah berkenan menata kembali, maka kembalikan peruntukkannya untuk masyarakat adat," tukasnya.
Diberitakan sebelumnya, Komisi III DPR RI melaksanakan kunjungan ke Provinsi Riau dengan tujuan untuk membicarakan persoalan konflik pertanahan bersama Aparat Penegak Hukum (APH).
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Mulfachri Harahap mengungkapkan, ada sebanyak 80 perusahaan perkebunan di Riau yang terindikasi melakukan aktifitas ilegal di kawasan hutan.
“Dari informasi, paling tidak ada 80 perusahaan yang melakukan aktifitas ilegal di kawasan hutan, masih aktif,” terang Mulfachri.
Ia menjelaskan, mengenai sanksi terhadap perusahaan yang melanggar di kawasan hutan tersebut, pihaknya memberikan rekomendasi kepada APH.
"Kita berikan rekomendasi sanksi kepada APH. Sedangkan untuk sanksi yang akan menentukannya yaitu majelis hakim," cakapnya.
“Kewenangan kita sampai pada menemukan bahwa ada sejumlah kegiatan ilegal di kawasan yang terlarang dilakukan perkebunan,” sambungnya.
Kata Mulfachri, sebagian besar tanah produktif di Riau sudah dipakai untuk perkebunan kelapa sawit.
“Kita tahu bahwa di sini sebagian besar tanah produktif sudah dipakai untuk perkebunan sawit atau lainnya. Kita dapat informasi sebagian diantaranya sudah masuk kawasan hutan, ada perkebunan di kawasan yang ilegal,” ungkapnya.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Pemerintahan, Lingkungan, Riau |