PEKANBARU (CAKAPLAH) - Fenomena penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Kabupaten/Kota (UMK) telah menjadi problematika ketenagakerjaan yang terjadi setiap tahun. Jika diibaratkan, seperti penyakit kronis yang tak ada obat penyembuhnya.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ida Fauziyah, menerbitkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Permenaker baru ini resmi ditandatangani Menaker tanggal 16 November 2022 dan diundangkan pada 17 November 2022. Dimana infomasi ini disampaikan Menaker yang menggandeng Menteri Dalam Negeri pada hari Jumat 18 November 2022 saat mengumumkan melalui video konferensi bersama para gubernur dan kepala dinas tenaga kerja se-Indonesia.
Beberapa ketentuan di dalam Permenaker tersebut menekankan, bahwa penyesuaian nilai UMP 2023 dihitung menggunakan formulasi penghitungan dengan mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu.
Berdasarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 ini, upah minimum 2023 dipastikan mengalami kenaikan. Namun, ada pembatasan maksimal yakni 10 persen, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1), selanjutnya ditegaskan lagi pada ayat 2 yang menyebutkan: Dalam hal hasil penghitungan penyesuaian nilai Upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi 10 persen, gubernur menetapkan Upah Minimum dengan penyesuaian paling tinggi 10 persen.
Terkait dengan penerbitan Permenaker baru ini, Pemerhati Kebijakan Publik Riau, Muhammad Herwan mengatakan, bahwa sah-sah saja pemerintah menerbitkan regulasi tentang pengupahan, terutama untuk memberikan keadilan bagi pekerja dan pengusaha.
Namun, kata Herwan, tentunya dengan tetap berpedoman dan tidak bertentangan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Persoalannya, Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 ini bertentangan dan seolah membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Menurutnya, sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Tata Urutan Perundang undangan) di Indonesia, aturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak dapat bertentangan atau membatalkan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
"Walaupun dalam konsideran mengingat, Permenaker Nomor 18 tahun 2022 masih mencantumkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, namun klausul tentang tata cara penghitungan dan formulasi nilai upah minimum dalam Permenaker ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (aturan yang lebih tinggi)," kata Herwan kepada CAKAPLAH.com, Ahad (20/11/2022).
"Seharusnya Menaker terlebih dahulu mengusulkan melakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021, jika tidak, maka Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 batal demi hukum," sambungnya.
Di sisi lain, perubahan peraturan di saat-saat akhir deadline (batas waktu) penetapan UMP, apalagi sebagian besar provinsi sudah menetapkan besaran UMP, Provinsi Riau misalnya, melalui Rapat Dewan Pengupahan Provinsi Riau pada 15 November 2022 telah sepakati UMP Riau tahun 2023 naik sebesar 5,69 persen atau Rp167.146,87 dari UMP tahun 2022 sebesar Rp 2.938.564,01 menjadi Rp3.105.710.88. Dengan terbitnya aturan baru ini, tentunya akan menimbulkan potensi persoalan baru.
Hal ini juga, menurut Herwan menjadi tambahan fakta praktik adanya ketidakpastian hukum di Indonesia. Kondisi itu sangat merugikan dunia usaha dan membahayakan iklim investasi di Indonesia.
Pemerintah pusat, tambah Herwan, harusnya lebih bijak dan cermat dalam membuat aturan hukum, jangan seperti ini, yang akan menyulitkan posisi pemerintah daerah dan gejolak dunia usaha di daerah.
"Sudah saatnya pemerintah membuat aturan tentang pengupahan ini secara lebih cermat dan bijak, serta memberikan kepastian hukum yang tidak berubah-ubah setiap tahun. Pengalaman panjang penetapan upah yang sering diiringi dengan aksi unjuk rasa dan terkadang terjadi anarkis, sepatutnya dijadikan pelajaran berharga agar tidak merugikan pekerja maupun dunia usaha dan perekonomian nasional," ujarnya.
"Jangan sampai menjelang agenda politik 2024 ini, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan dunia usaha dan iklim investasi ataupun sektor lainnya, diubah begitu saja hanya dengan alasan politis, tanpa mempertimbangkan kondusifitas dunia usaha dan pemerintahan di daerah," sebut Herwan.
Sebab menurutnya, dengan adanya agenda politik Pemilu dan Pilpres 2024 saja, dunia usaha dan investor saat ini masih "wait and see", ditambah dengan gonta-ganti peraturan perundang-undangan yang hanya mengakomodir kepentingan politik sesaat seperti ini, justru akan menggangu iklim dunia usaha Indonesia yang baru saja akan bangkit dari keterpurukan dampak pandemi Covid-19, dan akan membuat investor hengkang dari Indonesia.
"Pelaku dunia usaha dan investor itu perlu adanya kepastian hukum, selain kemudahan berinvestasi maupun kenyamanan dan keamanan usaha," tukasnya.
Penulis | : | Amin |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Ekonomi, Pemerintahan |