H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM
|
Sebagaimana diberitakan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah menerbitkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022. Paling dinanti oleh buruh dan pekerja dari beleid barusan tentu saja terkait penetapan kenaikan Upah Minimum (UM) tahun 2023, yang secara resmi ditetapkan kenaikan upah minimum (UM) tahun 2023 maksimal 10%. Teruntuk Riau, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau sudah lebih dulu menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Riau 2023 naik 5,96 persen. Namun keputusan terpaksa dibatalkan karena keluar aturan baru. Informasinya, sehubungan keluarnya aturan baru penetapan UM tahun 2023, akan ada perubahan besaran. Dari hasil simulasi, besarnya kenaikan UMP Riau 2023 sekitar 8 persen lebih. Namun itu semua tunggu penetapan. Beberapa hari ini sidang UMP Provinsi Riau 2023 terus dikebut. Karena selambatnya 28 November 2022 UMP 2023 harus sudah di-SK-kan dan diumumkan oleh Gubernur. Sidang penetapan UMP Riau tahun 2023 bakal melibatkan anggota Dewan Pengupahan Provinsi Riau, yang terdiri dari unsur pemerintahan, akademisi, pengusaha dan serikat pekerja.
Kembali ke Permenaker 18/2022, melihat sekilas dari headline berita, sangat positif. Tapi kalau lebih mendalam kayaknya barang tak jelas juga. Pandangan tadi bukan sentimen. Tapi didasarkan pada opini berbagai pihak termasuk buruh dan pekerja. Di tengah upaya mereka yang terus berjuang mendapat hak untuk kehidupan lebih baik dan sejahtera, maka kami selaku anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau yang membidangi Tenaga Kerja wajar berharap aturan baru lebih berpihak ke mereka. Keberpihakan dimaksud tampak jelas dari aturan. bukan basa-basi atau lempar “bola panas”. Namun Permenaker 18/2022 terkesan politis daripada praktis. Upaya cari muka di hadapan para buruh dan pekerja, akan tetapi jawaban atas tuntutan mereka dibiarkan mengambang. Artinya buruh dan pekerja lagi-lagi jadi objek kebijakan bukannya subjek kebijakan. Dari segi muatan memang Permenaker 18/2022 lebih baik dibanding PP 36/2021. Dimana Gubernur diberi kewenangan menetapkan berdasarkan kondisi di wilayahnya. Dikembalikannya kewenangan jelas angin segar dalam konteks otonomi daerah. Dengan begitu Gubernur bisa lebih memperhatikan kondisi wilayahnya dalam menetapkan UM. Beda dengan PP 36/2021 yang memosisikan Gubernur kayak “robot” dalam penentuan kenaikan UM. Boleh dibilang, kewenangan Gubernur telah disandera habis dalam PP 36/2021. Begitujuga Dewan Pengupahan juga tak berdaya menjalankan fungsinya.
Namun dalam penerapan, Permenaker 18/2022 justru membenturkan para pekerja dan buruh dengan Kepala Daerah. Sementara tugas dan kewajiban Pemerintah Pusat menetapkan UM tampak abu-abu. Terbukti dalam Permenaker 18/2022 tidak didapati batas ambang minimal. Rumus yang dipakai sebagai dasar perhitungan kenaikan upah dalam Permenaker 18/2022 membingungkan. Kalimat “kenaikan upah minimum maksimal 10 persen” bikin pusing memaknainya. Harusnya peraturan upah minimum yang diatur minimumnya, bukan malah mengatur maksimum. Judul aturan malah tak sinkron dengan isinya. Lebih lanjut, terbitnya Permenaker 18/2022 secara tidak langsung bentuk pengakuan Pemerintah Pusat bahwa PP 36/2021 tentang Pengupahan bentuk kegagalan negara memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi para pekerja Indonesia. Sekaligus menyimpulkan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja sarat masalah dan wajar diprotes seantero negeri. Namun sekarang muncul pertanyaan, apakah Permenaker 18/2022 aman? Maksudnya, kan sudah ada putusan MK tahun 2020 menyatakan bahwa Pemerintah tidak diperbolehkan membuat keputusan atau regulasi turunan UU Cipta Kerja sampai revisi tuntas dilakukan. Jika Permenaker mengacu ke UU Cipta Kerja maka bisa saja digugat asbab sudah melanggar putusan MK?
Aspirasi
Alasan buruh ngotot minta UM naik sangat masuk akal. Mengacu ke perumusan salah satunya perhitungan inflasi. Keputusan Pemerintah memaksakan menaikkan BBM jelas berdampak masif ke seluruh lini: para buruh, pekerja dan rakyat. Disamping itu Pemerintah juga gagal mengendalikan harga bahan pokok seperti minyak goreng dan lainnya. Terakhir, Pemerintah juga selalu membanggakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia secara angka terus membaik. Tapi melihat kebijakan UM tidak mengatur angka minimum membuat aturan agaknya tak bisa banyak bicara memenuhi harapan para pekerja. Bicara upah minimum, dalam konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan jaring pengaman (safety net) agar buruh tidak jatuh ke miskin ekstrim dan pengusaha tidak membayar upah buruh dengan murah. Di sinilah peran Pemerintah sebagai pihak yang harus melindungi masyarakat pekerja dengan menetapkan kebijakan upah minimum. Sebenarnya tak perlu menerbitkan peraturan baru kalau substansinya masih sebelas dua belas atau tidak signifikan merubah keadaan. Kalau misalnya aturan lama masalahnya di formula kenaikan UM, seharusnya PP 36/2021 saja yang dilakukan perubahan. Adapun asosiasi pekerja dan buruh lebih memilih dikembalikan saja ke formula PP 78/2015 tentang Pengupahan. Termasuk mengakomodir kekurangan berupa kewenangan kepala daerah melakukan perhitungan upah minimum versinya.
Disamping bicara perspektif efektifitas dan efisien sebuah peraturan, kebijakan UM juga upaya untuk mengurangi disparitas upah yang besar antar kabupaten/kota. Perlu dikaji jangan sampai nanti kabupaten/kota yang telah menyentuh ambang batas tertinggi UMK bisa naik lagi besarannya. Kalau mengacu ke Permenaker 18/2022 ini berpeluang terjadi. Hal tadi khawatirnya akan menimbulkan kecemburuan dari para pekerja kabupaten/kota sekitar yang secara upah masih rendah. Saling berpacu menaikan upah juga bisa bikin masalah baru. Bola sekarang ada di Kepala Daerah. Melihat semakin kompleknya tantangan, maka kami berharap saudara Gubernur bersama pemangku kepentingan yang diamanahi mengurus soal pengupahan dapat secara bijaksana dan berupaya menjawab keinginan para pekerja dan buruh. Apalagi sektor ketenagakerjaan Riau didominasi para pekerja dan buruh. Terutama mereka yang bekerja di sektor perkebunan, di tengah semakin terbilangnya prospek seperti perkebunan kelapa sawit maka diharapkan berdampak pada semakin baik pula kehidupan buruh dan pekerjanya. Jangan bangga dulu investasi puluhan triliun masuk ke Riau kalau pekerja dan buruh lokal merana. Semakin malang, sudahlah investornya berkantor pusat di luar Riau lalu hasil keuntungan dibawa lari ke luar Riau.
Penulis | : | H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. (Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau). |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |