Muji Basuki
|
25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional atau HGN. Tanggal ini diperingati sebagai hari guru untuk mengenang Kongres Guru Indonesia pertama yang diselenggarakan pada 24-25 November 1945. Sejarah penetapan Hari Guru Nasional ini sebenarnya sudah bermula pada tahun 1912. Pada saat itu, salah satu anggota Pengurus Besar Budi Utomo Raden Mas Ngabehi Dwidjosewojo membentuk organisasi Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Seiring dengan pergolakan perjuangan kemerdekaan, organisasi ini kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melalui kongres pada tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 1994 Tentang Hari Guru Nasional, Presiden Soeharto kemudian menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional.
Guru, Variabel Penting Dalam Keberhasilan Pendidikan
Para pakar pendidikan menyebutkan ada 3 variabel penting dalam keberhasilan pendidikan selain dari peserta didik itu sendiri, yaitu lingkungan, kurikulum dan guru. Lingkungan adalah mileu yang mengelilingi peserta didik, baik yang bersifat fisik, psikologis maupun sosiologis. Kurikulum adalah kumpulan materi pengajaran yang sudah di set-up sedemikian rupa agar sesuai dengan tingkat usia dan daya nalar peserta didik. Sementara guru adalah sosok manusia yang mendampingi peserta didik dalam proses belajar mengajar.
Ketiga variabel tersebut semuanya tentu memegang peranan penting dalam keberhasilan sebuah pendidikan, akan tetapi variabel guru memiliki peranan yang sangat sentral dalam proses pendidikan, karena sebenarnya guru lah yang akan mentransformasi variabel pendidikan lainnya kepada para peserta didiknya. Guru lah yang sejatinya mendampingi peserta didik untuk menyikapi beragam dinamika lingkungan yang mengitarinya. Juga guru lah sejatinya yang menyusun strategi terbaik untuk mentransfer kurikulum untuk peserta didiknya.
Guru, di Tengah Krisis dan Dunia Pendidikan Yang Masih Problematik
Di tengah peran sentral guru dalam proses pendidikan, mereka masih dihadapkan kepada begitu banyak problematika dunia pendidikan, baik yang langsung terkait dengan mereka sebagai tenaga pendidik, maupun problematika lain yang secara tidak langsung juga berdampak terhadap kinerja mereka.
Berdasarkan data Kemendikbud, pada Tahun 2020 terdapat 72.976 guru pensiun. Jumlah tersebut menyumbang kekurangan guru yang angkanya mencapai 1.020.921 orang. Angka itu kemudian naik pada 2021. Kekurangan guru diprediksi mencapai 1.090.678 orang dan jumlah yang pensiun 69.757 orang. Tahun 2022 kekurangan guru menjadi 1.167.802 orang, dengan jumlah yang pensiun 77.124 orang. Hingga 2024, kekurangan guru diprediksi mencapai angka 1.312.759 orang. Sampai 2020 jumlah guru non-PNS di Indonesia mencapai 937.228 orang. Dari jumlah tersebut, 728.461 di antaranya berstatus guru honorer sekolah.
Selain permasalahan kecukupan jumlah yang tentu berimplikasi terhadap beban mengajar, guru juga dihadapkan pada problematika lainnya, seperti masalah sarana dan prasarana mengajar misalnya. Menurut buku publikasi Statistik Pendidikan Indonesia 2021 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, rasio rombel (rombongan belajar) dengan jumlah kelas memang sudah mendekati 1 untuk semua jenjang pendidikan, yang berarti jumlah ruang kelas yang tersedia lebih besar daripada jumlah rombel. Kondisi ini menggambarkan bahwa kelas yang tersedia masih mencukupi untuk menampung jumlah peserta didik yang ada, dengan memperhatikan kewajaran daya tampung peserta didik per kelas. Akan tetapi jika dilihat secara lebih dalam, pada Tahun Ajaran 2020/2021 kondisi ruang kelas yang masuk kategori baik hanya sebesar 42,86 persen untuk jenjang SD, 49,43 persen untuk jenjang SMP, 57,13 persen untuk jenjang SMA dan 57,04 persen untuk jenjang SMK. Artinya, untuk semua jenjang pendidikan, kondisi ruang kelas dengan kondisi rusak ringan/sedang/berat persentasenya masih cukup besar.
Ada permasalahan sarana prasarana penunjang lain yang sebenarnya juga cukup penting bagi optimalisasi kinerja guru dalam mengajar, yaitu permasalahan sanitasi sekolah. Menurut konsep yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada 3 kategori sanitasi sekolah, yaitu sanitasi dasar dimana sekolah memiliki toilet yang layak dan terpisah antara laki-laki dan perempuan dengan kondisi yang baik atau rusak ringan, kemudian kategori sanitasi terbatas dimana sekolah memiliki toilet layak tetapi tidak terpisah laki-laki perempuan dan kondisi rusak berat, dan kategori tidak ada sanitasi dimana sekolah tidak memiliki toilet atau toilet tidak layak. Pada Tahun 2020, pada jenjang pendidikan SD hanya 40,80 persen yang masuk kategori sanitasi dasar, sementara pada jenjang pendidikan SMP hanya 52,50 persen yang masuk kategori sanitasi dasar, di jenjang pendidikan SMA hanya 59,54 persen yang masuk kategori sanitasi dasar, dan pada jenjang pendidikan SMK hanya 57,80 persen yang masuk kategori sanitasi dasar. Artinya, untuk semua jenjang pendidikan, kondisi sanitasi sekolah dengan kondisi tidak layak atau rusak berat persentasenya masih cukup besar.
Persoalan lain juga terlihat dari dukungan sarana perpustakaan yang fungsinya cukup sentral terhadap kinerja seorang guru. Pada Tahun Ajaran 2020/2021, rasio perpustakaan terhadap jumlah sekolah sebesar 93,20 persen, artinya masih ada sekitar 6-7 persen sekolah yang belum memiliki perpustakaan, baik pada jenjang SD, SMP, SMA dan SMK.
Belum lagi kondisi perekonomian nasional yang masih fluktuatif menyebabkan sebagian peserta didik harus membagi waktu antara sekolah dan bekerja. Tercatat menurut hasil Susenas Maret 2021 ada 6,91 persen peserta didik umur 10-24 tahun yang bekerja dalam seminggu terakhir. Kondisi ini tentu menyebabkan peserta didik ini menjadi tidak fokus dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah.
Problematika, Tantangan Para Guru Untuk Terus Berkembang
"Hidup pada hakikatnya adalah ujian, hidup pada hakikatnya adalah kumpulan permasalahan". Begitulah kalimat hikmah yang sering kita dengar. Pada profesi apapun, problematika dan permasalahan adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Yang menjadi persoalan bukanlah pada problematika dan atau permasalahan itu sendiri, akan tetapi bagaimana skala sikap dan mental yang hadir pada diri seseorang dalam menghadapi problematika tersebut, itulah hakikat persoalannya. Sebuah persoalan akan menjadi peluang ketika dihadapi seseorang sebagai momentum untuk mematangkan dirinya. Sebaliknya, sebuah persoalan akan semakin membesar pada saat dihadapi seseorang dengan skala sikap dan mental yang negatif.
Mengacu kepada sejarah Kongres Guru Pertama pada Tahun 1945, tentu para guru pada waktu itu dihadapkan pada situasi bangsa yang jauh dari tingkatan mapan dan stabil, karena Indonesia baru saja bebas dari cengkraman penjajah. Bahkan pada bulan yang sama dengan pelaksanaan Kongres Guru tersebut, beberapa hari sebelumnya baru saja pecah perang besar di Surabaya yang kelak diperingati sebagai Hari Pahlawan 10 November. Akan tetapi para guru saat itu menampilkan sikap dan mental yang luar biasa menghadapi situasi bangsa yang masih "start up", sampai akhirnya mereka bisa terus mengkonsolidasi organisasi mereka untuk menjadi salah satu pilar penting pembangunan nasional.
Dalam konteks kekinian, ditengah krisis multidimensi dan dunia pendidikan nasional yang masih problematik, tentu menjadi tantangan bagi para guru untuk menjadikan krisis dan problematika ini sebagai peluang menguatkan perannya dalam kerangka pembangunan nasional.
Penguatan Peran "Fungsional" Guru, Tanggung Jawab Semua
Secara umum, terminologi guru mengacu kepada 2 dimensi, ada dimensi struktural dan dimensi fungsional. Guru dalam dimensi struktural maknanya adalah setiap orang yang bergelut dengan pekerjaan guru sebagai profesinya. Guru dalam dimensi fungsional maknanya adalah setiap orang yang membangun karakter dan mental guru di dalam dirinya, pada profesi apapun dia bekerja. Guru secara fungsional bisa ditinjau salah satunya melalui sudut pandang teologis. Guru secara fungsional maknanya adalah penyampai pesan. Penyampai pesan atau dalam dalam terminologi Bahasa Inggris disebut The Messenger digambarkan oleh kitab suci memiliki karakter dasar egaliter (min anfusikum), peduli (azizun ‘alaihi maa anittum), dan empatik (harisun ‘alaikum). Karakter dasar tersebut diperkuat secara terus menerus untuk mencapai target transformasi ilmu (yatluu ‘alaihim) dan transformasi akhlak (wayuzzakkiihim).
Apabila setiap penduduk negeri yang bekerja dalam profesi guru, maupun penduduk negeri yang bekerja dalam profesi non-guru, seluruhnya berikhtiar tanpa henti untuk memperkuat peran fungsional guru di dalam dirinya, maka kemajuan bangsa yang berperadaban hanya tinggal menunggu waktu.
Selamat Hari Guru Nasional..
Guru maju, Indonesia maju...
Penulis | : | Muji Basuki (Statistisi di BPS Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |