(CAKAPLAH) - Ketika mendengar atau membaca tentang HIV dan AIDS, barangkali sudah banyak yang tidak asing lagi. Walaupun beberapa tahun terakhir terjadi pandemi COVID 19 termasuk di Indonesia. Kondisi ini sejalan dengan masih adanya temuan kasus HIV dan AIDS di Indonesia termasuk di Provinsi Riau dan Kota Pekanbaru, Tetapi tidak dapat dipungkiri, terjadinya Pandemi COVID-19 sejak 2020 telah nyata memperlambat upaya eliminasi HIV & AIDS tahun 2030. Bahkan dalam 2 tahun terakhir, tercatat tidak banyak kemajuan berarti yang didapat di banyak negara.
Pertanyaannya adalah kenapa HIV dan AIDS masih patut menjadi perhatian. Pertanyaan tersebut pernah dan ditujukan kepada penulis pada suatu ketika. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis sempat tertegun sejenak. Penulis berpikiran si penanya menganggap aneh kenapa ada peringatan Hari AIDS Sedunia atau biasa disebut HAS. Melalui kesempatan ini penulis tidak akan sampaikan sejarah kenapa ada peringatan itu. Penulis akan sampaikan gambaran epidemi HIV dan AIDS. Dengan mengetahui gambaran epideminya, penulis meyakini pertanyaan tersebut dapat terjawab.
Temuan kasus kumulatif HIV di Provinsi Riau sejak tahun 1997 berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau hingga Bulan Oktober 2022 adalah sebanyak 8.034 kasus. Khusus untuk periode Januari - Oktober 2022 ditemukan kasus HIV sebanyak 591 kasus. Temuan kasus tersebut tersebar di semua kabupaten dan kota di Riau. Dari jumlah kasus tersebut sebagian besar ditemukan di Kota Pekanbaru.
Sebagian besar kasus tersebut ditemukan pada jenis kelamin laki-laki yang mencapai 68 % dan 32 % pada perempuan. Temuan kasus HIV juga mayoritas ditemukan pada usia produktif atau usia 25 - 49 tahun yang mencapai 75 %. Bahkan ditemukan juga kasus pada usia di atas 50 tahun yang mencapai 7 % dan kasus pada anak di bawah 4 tahun yang mencapai 2 %. Gambaran temuan kasus HIV di Provinsi Riau hampir sama dengan temuan kasus AIDS.
Jika dilihat berdasarkan pekerjaan dan profesi, temuan kasus HIV dan AIDS ditemukan pada berbagai pekerjaan dan profesi. Salah satu kelompok masyarakat yang mengalami peningkatan kasusnya adalah pada ibu rumah tangga. Temuan kasus pada ibu rumah tangga sangat berhubungan erat dengan temuan kasus pada laki-laki dan pada kelompok usia produktif. Kedua fenomena ini sangat mungkin menjadi penyebab utama kasus HIV dan AIDS masuk dalam rumah tangga termasuik ke anak.
Gambaran di atas, menurut Penulis sudah cukup menjadi jawaban kenapa HIV dan AIDS masih patut menjadi perhatian. Menurut penulis, pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana kita menyikapi kondisi tersebut? apakah sudah cukup respon kita? dan sejauh mana dampak yang ditimbulkan dari respon kita selama ini?. Penulis akan menguraikan beberapa hal menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Pertama, upaya penanggulangan AIDS sudah diupayakan sejak tahun 90 an. Berbagai pihak terlibat dalam penanggulangan, dukungan pembiayaan lembaga donor juga silih berganti. Kelembagaan penanggulangan juga mengalami perubahan, salah satunya Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). Perubahan tentang KPA melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006. Didukung juga dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007. Melalui dua kebijakan ini kelembagaan KPA termasuk di daerah semakin kuat. Daerah yang awalanya tidak memiliki kelembagaan KPA menjadi ada. Kelembagaan KPA yang sebelumnya sudah ada menjadi semakin memiliki posisi tawar. Bahkan beberapa daerah membuat peraturan sendiri baik berupa peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah. Dukungan dana dari APBD juga semakin tinggi.
Selain itu, kelompok masyarakat sipil atau civil society peduli AIDS juga bermunculan dengan berbagai bentuk baik di pusat maupun di daerah termasuk kader masyarakat. Peran-perannya pada pemberian infomasi pada kelompok-kelompok rentan terinfeksi atau kelompok beresiko tinggi menjadi penting. Dukungan para pihak baik instansi pemerintah, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama bahkan lembaga legislatif juga semakin meningkat.
Kasus HIV dan AIDS pada Ibu Rumah Tangga Tinggi
Salah satu keprihatinan terhadap epidemi HIV dan AIDS adalah semakin meningkatnya kasus pada ibu rumah tangga. Ironisnya ibu rumah tangga ini bukan tergolong kelompok yang mealkukan perlaku berisiko, tetapi tertular dari pasangan resmi atau suami. Lebih mengkhawatirkan, dari ibu rumah tangga yang positif ini akan berpotensi menularkan pada bayinya apabila tidak terdeteksi sejak awal dan dilakukan upaya pencegahan. Kondisi ini tentu saja patut menjadi perhatian berbagai pihak khususnya pemerintah sebagai pemegang mandat pengelolaan negara.
Secara khusus temuan kumulatif kasus HIV dan AIDS pada ibu rumah tangga di Provinsi Riau berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau hingga September 2022 mencapai 513 kasus. Situasi ini diduga terjadi penyebaran virus di rumah tangga. Jika dikonfirmasi dengan data dugaan ini sangat memungkinkan terjadi. Selain temuan kasus pada laki-laki dan usia produktif tinggi, temuan kasus karena faktor resiko heteroseksual juga tinggi.
Jika situasi ini tidak segera diantisipasi dan dilakukan upaya penanggulangannya, dapat menyebabkan dampak lanjutan yang serius. Salah satu dampak yang memungkinkan terjadi adalah menimbulkan ketidak harmonisan keluarga. Dan lebih jauh dapat menyebabkan kerentanan generasi penerus. Tentu semua kita tidak mau jika semakin banyak anak-anak yang terinfeksi HIV dan AIDS akibat semakin meningkatnya kasus pada ibu rumah tangga.
Salah satu upaya yang patut didorong untuk dilaksanakan adalah dengan melakukan sosialisasi secara terus menerus dengan berbagai pendekatan. Ketahanan keluarga juga menjadi penting dan strategis untuk diwujudkan. Selain itu upaya untuk mendorong keberanian masyarakat tes secara sukarela dan mengetahui statusnya juga penting dilakukan. Karena tes HIV adalah bentuk upaya pencegahan dalam rangka menemukan kasus dari awal.
Melalui upaya ini diharapkan masyarakat luas mewaspadai penyebaran kasus HIV dan AIDS. Melalui ketahanan keluarga misalnya, yang dapat mewujudkan kepedulian antar anggota keluarga. Suami menjadi bertanggung jawab dengan menjaga anggota keluarganya agar selalu mewaspadai dan tidak melakukan perilaku beresiko terinfeksi HIV dan AIDS. Kasih sayang orang tua kepada anaknya juga diharapkan anak menjadi tidak terjebak pada hal-hal beresiko termasuk menjadi korban penyalahgunaan narkotika.
Respon yang dilakukan
Berdasarkan gambaran tersebut menyebabkan issu HIV dan AIDS menjadi salah satu indikator penting dalam penyusunan berbagai kebijakan baik ditingkat global maupun domestik atau lokal. Model pembangunan berkelanjutan atau biasa disebut dengan Sustainable Development Goals (SDGs) menjadikan issu HIV dan AIDS menjadi salah satu indikator. Sebelum SDGs, dikenal juga Millennium Development Goals (MDGs) dan menjadikan issu HIV dan AIDS dalam indiaktor utamanya.
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat international atau masyarakat global juga memiliki tanggung jawab dalam upaya perwujudan model pembangunan tersebut. Pemerintah Indonesia meresponnya dengan berbagai kebijakan baik ditingkat pusat maupun daerah. Salah satunya adalah menjadikan issu HIV dan AIDS menjadi salah satu indikator utama dalam melakukan penilaian kinerja kepala daerah melalui Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Berawal dari kondisi tersebut, Peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) yang diperingati setiap tanggal 1 Desember mengusung tema Satukan Langkah Cegah HIV, Semua Setara Akhiri AIDS. Makna dari tema ini jelas memberikan pesan kepada kita semua untuk secara bersama menyatukan langkah cegah HIV. Semua pihak juga diposisikan sama dan setara dalam upaya penanggulangan AIDS. Upaya masifkan promosi pencegahan dan pengendalian HIV AIDS terus ditingkatkan. Selain itu upaya perluasan akses, pencegahan, tes dan pengobatan untuk semua juga patut menjadi perhatian.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah respon atau upaya penanggulangan HIV dan AIDS selama ini sudah mencukupi? untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan instrumen atau alat ukur tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu instrumen atau alat ukur yang dapat digunakan adalah penerapan atau implementasi dari kebijakaan yang sudah ditetapkan. Dan salah satu kebijakan yang dapat digunakan untjk mengukur dan menjawab pertanyaan tersebut adalah penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) pada indikator HIV dan AIDS.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau yang penulis peroleh dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Riau, persentase capaian SPM HIV Provinsi Riau periode Januari-Oktober 2022 mencapai 27,9 %. Capaian ini menurun dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 41,3 %. tetapi lebih tinggi jika dibandingkan capaian tahun 2020 yang mencapai 21.6 %. Secara umum capaian ini masih dikategorikan belum sesuai yang diharapkan.
Instrumen lain yang dapat digunakan untuik mengukur keberhasilan upaya penanggulangan HIV adalah capaian Indikator Kinerja Kegiatan (IKK). Capaian IKK ini diukur dari orang dengan HIV (ODHIV) yang ditemukan dan mendapat yang memulai terapi pengobatan. Masih berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau yang penulis peroleh dari KPA Provinsi Riau presentase capaian IKK tahun 2022 mencapai 95 % dengan target 85 %. Rincianya adalah terdapat 432 ODHIV baru yang ditemukan dan 456 ODHIV yang memulai pengobatan.
Jika dilihat dari capaian SPM tergambar bahwa kinerja upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih belum optimal. Walaupun pada indikator tes dan pengobatan sudah mencapai target yang ditetapkan. Secara umum penyebaran HIV dan AIDS masih sangat memungkinkan terjadi dengan cepat jika respon yang dilakukan masih seperti apa yang dicapai hingga saat ini. Untuk itu, melalui momentum peringatan Hari AIDS Sedunia 2022 ini penulis yang juga merupakan salah satu pihak yang bertanggung jawab dalam upaya penanggulangan AIDS mengusulkan beberapa langkah sebagai berikut :
Pertama, terus mengupayakan secara masif pemberian informasi kepada masyarakat. Harapanya adalah masyarakat waspada terhadap epidemi HIV dan AIDS. Penggunaan media alternatif dengan menyesuaikan perkembangan teknologi juga patut dilakukan. Artinya upaya pemberian infomasi menyesuaikan dengan kondisi masyarakat dan tidak disamakan. Pelibatan para pihak juga patut dilakukan, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, media massa dan pemimpin informal lainnya yang ada dimasyarakat. Optimalisasi kader masyarakat juga dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mempersiapkan kader utnuk membantu pemberian informasi tentang HIV dan AIDS ke masyarakat.
Kedua, setelah penyebaran informasi yang dilaksanakan secara masif, proses berikutnya yang perlu dipuayakan adalah mendorong untuk dilakukan penemuan kasus. Kelompok beresiko tinggi didorong untuk melakukan tes HIV secara sukarela. Tujuanya adalah dalam upaya penemuan kasus agar dilakukan proses pengobatan jika temuanya positif. Upaya ini dapat dilakukan dengan penyediaan layanan tes HIV sukarela di fasilitas layanan kesehatan baik puskesmas, rumah sakit maupun layanan kesehatan lainnya. Tetapi pada sisi lain perlu mendorong penyadaran kelompok populasi kunci yang beresiko untuk tes HIV. Dengan upaya ini juga diharapkan kelompok yang sudah positif dapat mengetahui statusnya dari dini. Upaya pendampingan kelompok resiko tinggi masih perlu terus dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan. Penemuan kasus juga perlu dilakukan pada pasangan kelompok resiko tinggi termasuk juga pasangan pengidap HIV.
Ketiga, upaya penemuan kasus perlu ditindaklanjuti dengan pengobatan. Artinya temuan kasus HIV harus diikuti dengan pengobatan kepada yang bersangkutan. Untuk itu penyediaan layanan kesehatan yang menyediakan pengobatan perlu dilakukan dengan akses yang mudah. Puskesmas diharapkan semakin banyak yang menyediakan layanan pengobatan. Pengobatan pada orang yang terinfeksi diharapkan dapat mencegah penyebaran HIV.
Keempat, pengobatan orang yang terinfeksi perlu diiringi dengan upaya mempertahankannya. Karena pengobatan HIV dilakukan terus menerus. Upaya mempertahankan pengobatan dapat dilakukan dengan memperkuat pendampingan pada pengidap HIV dan AIDS. Karena pengidap HIV dan AIDS biasanya merasakan beban mental. Oleh sebab itu melalui pendampingan diharapkan mental yang stabil. Pendampingan ini juga diikuti dengan pemberdayaan agar pengidap HIV tidak larut dengan statusnya. Pengidap HIV diharapkan tetap beraktivitas sebagaimana biasanya, termasuk memiliki keluarga dan keturunan. Upaya ini juga perlu sejalan dengan upaya mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV.
Semoga dengan upaya yang dilakukan ini penyebaran HIV dan AIDS dapat dikendalikan. Dan target pemerintah untuk mengakhiri HIV dan AIDS pada tahun 2030 dapat terwujud. Generasi masa depan juga tidak dibayangi oleh generasi yang menjadi bagian dari infeksi HIV. Semoga.
Penulis | : | Hasan Supriyanto, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Kota Pekanbaru |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Cakap Rakyat |