PEKANBARU (CAKAPLAH) - Proses pemanfaatan hutan di Indonesia ini sangat rentan dengan konflik, khusunya antara korporasi dengan masyarakat. Hal ini terjadi karena terjadinya ketimpangan antara pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan.

Rights and Resources Initiatives (RRI) telah melakukan penelitan dan menemukan fakta bahwa 90 persen lebih hutan di Indonesia dimanfaatkan oleh perusahaan. Sementara masyarakat tidak lebih 7 persen yang memanfaatkan  hutan tersebut.

"Ketimpangan ini terjadin karena perbedaan perlakuan dalam berbagai aspek antara perusahaan dan masyarakat," sebut Fasilitator RRI Regional Asia Tenggara, Anne-Sophie Gindroz pada Ahad (13/8/2017).

Sophie mengatakan bahwa beberapa aspek yang terjadi diskriminasi adalah proses perizinannya. Untuk korporasi dengan modal besar, perizinannya relatif mudah. Perusahaan hanya perlu mengurus hingga tingkat kabupaten dan sudah bisa mengolah kawasan hutan.

"Sementara untuk masyarakat, prosesnya lebih panjang hingga ke tingkat kementerian. Hampir mustahil untuk dilakukan tanpa pendampingan oleh LSM," sebut Anne lagi.

Selain itu, waktu pemberian izin juga berbeda. Pemberian izin usaha pengolahan hutan kepada korporasi bisa lebih dari 50 tahun. Sedangkan masyarakat hanya bisa mengolah hingga 35 tahun dan akan terus mengali evaluasi.

Belum lagi perbedaan modal yang sangat jauh, membuat perusahaan lebih mudah mendapatkan akses pengurusan. Waktunya pengurusannya juga relatif lebih cepat dibandingkan masyarakat.

Menurut Sophie, program Perhutanan Sosial yang digagas oleh Pemerintah saat ini merupakan upaya yang baik untuk meminimalisir terjadinya diskriminasi tersebut. Melalui perhutanan sosial, masyarakat adat bisa memanfaatkan hutan tanpa harus melalui prosedur yang samgat panjang.

"Namun implementasinya yang harus diawasi, sehingga lebih tepat sasaran," kata Sophie.

RRI juga melihat Perhutanan Sosial sendiri juga harus terus dibenahi. Karena untuk mendapatkan status masyarakat adat itu sendiri tidak mudah. "Harus ada persetujuan kepala daerah lewat Perda yang disahkan oleh DPRD. Sehingga sarat dengan unsur politik," sebutnya.

"Namun konsep ini akan jadi solusi, karena masyarakat yang sudah lama menetap bahkan lebih duluan dari negara ini memiliki hak untuk mengolah hutannya," tutup Sophie.