Ilustrasi.
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperpanjang masa penahanan eks Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau M Syahrir. Penahanan ditambah selama 40 hari.
M Syahrir ditetapkan sebagai tersangka suap pengurusan perpanjangam izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Adimulia Agrolestsri (AA) di Kabupaten Kuantan Singingi (Kiansing) tahun 2022 pada 1 Desember 2022. Ia diduga menerima suap miliaran rupiah.
Tim penyidik KPK melakukan penahanan pertama terhadap M Syahrir swlama 20 hari, terhitung
1 Desember 2022 sampai dengan 20 Desember 2022 di Rutan KPK pada Kavling C1 gedung ACLC.
Penyidik masih memerlukan keterangan M Syahrir serta saksi untuk melengkapi berkas perkara hingga penahannya kembali diperpanjang selama 40 hari.
"Tim Penyidik melanjutkan masa penahanan Tersangka MS (M Syahrir red) untuk 40 hari ke depan sampai nanti tanggal 29 Januari 2023 di Rutan KPK pada Kavling C1 Gedung ACLC," ujar Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, Kamis (22/12/2022).
Ali Fikri mengatakan, penyidik masih mengumpulkam alat bukti untuk membuat terang sangkaan terhadap M Syahrir.
"Perpanjangan ini merupakan bagian dari langkah Tim Penyidik untuk terus mengumpulkan alat bukti diantaranya dengan memanggil berbagai pihak sebagai saksi," tutur Ali Fikri.
Penetapan tersangka terhadap M Syahrir berdasarkan pengembangan penyidikan perkara yang menjerat mantan Bupati Kuantan Singingi, Andi Putra. Selain M Syahrir, KPK juga menetapkan Frank Wijaya selaku Pemegang Saham PT AA dan juga Sudarso, General Manager PT AA sebagai tersangka.
Sebelumnya, Ali Fikri menjelaskan konstruksi perkara dugaan korupsi ini. Berawal Frank Wijaya sebagai pemegang saham PT AA memerintahkan dan menugaskan Generql Manager PT AA, Sudarso, untuk melakukan pengurusan dan perpanjangan sertifikat HGU PT AA yang segera akan berakhir masa berlakunya pada 2024.
Dari awal proses pengurusan HGU tersebut, Sudarso selalu diminta untuk aktif menyampaikan setiap perkembangannya pada Frank Wijaya.
Sudarso menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan M Syahrir Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau yang membahas antara lain terkait perpanjangan HGU PT AA.
Pada Agustus 2021, Sudarso menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan HGU PT AA seluas 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi yang salah satunya ditujukan juga ke Kanwil BPN Provinsi Riau.
Sudarso menemui M Syahrir di rumah dinas jabatannya. Dalam pertemuan tersebut kemudian diduga ada permintaan uang oleh M Syahrir sekitar Rp3,5 miliar dalam bentuk dollar Singapura. Pembagiannya 40 persen sampai dengan 60 persen sebagai uang muka.
Atas permintaan itu, M Syahrir menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA.Hasil pertemuan itu dilaporkan Sudarso ke Frank Wijaya, sekaligus mengajukan permintaan uang sebesar 120 ribu dollar Singapura atau setara dengan Rp1,2 Miliar ke kas PT AA dan disetujui oleh Frank Wijaya.
Sekitar September 2021, atas permintaan M Syahrir, penyerahan uang dari Sudarso dilakukan di rumah dinas MS dan MS juga mensyaratkan agar SDR tidak membawa alat komunikasi apapun," kata Ali Fikri.
Setelah menerima uang tersebut, M Syahrir kemudian memimpin ekspos permohonan perpanjangan HGU PT AA. Dia menyatakan usulan perpanjangan dimaksud bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi dari Bupati Kuantan Singingi, Andi Putra.
"Terkait penerimaan uang, diduga MS memiliki dan menggunakan beberapa rekening bank dengan menggunakan nama kepemilikan di antaranya para pegawai Kanwil PBN Riau dan pegawai kantor pertanahan Kabupaten Kampar," jelas Ali Fikri.
Pada medio September 2021 sampai dengan 27 Oktober 2021, M Syahrir menerima aliran sejumlah uang baik melalui rekening bank atas nama pribadinya maupun atas nama dari beberapa pegawai BPN tersebut sejumlah sekitar Rp791 juta yang berasal dari Frank Wijaya.
"Selain itu pada kurun waktu tahun 2017 sampai dengan tahun 2021, MS juga diduga menerima gratifikasi sejumlah sekitar Rp9 miliar dalam jabatannya selaku Kepala Kanwil BPN di beberapa provinsi dan hal ini akan terus didalami dan dikembangkan tim penyidik," jelas Ali Fikri.
Atas perbuatannya, M Syahrir sebagai penerima suap atau gratifikasi dijerat melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.