Sekretaris Komisi II DPRD Riau Husaimi Hamidi
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Kisruh Dana Bagi Hasil (DBH) minyak dan gas bumi ternyata akibat adanya perbedaan data penghitungan lifting dan produksi minyak. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau menyarankan rekonsiliasi penghitungan lifting daerah penghasil diaktifkan kembali.
Menanggapi itu, Sekretaris Komisi II DPRD Riau Husaimi Hamidi mendukung saran Gubernur Riau Syamsuar mengaktifkan kembali rekonsiliasi penghitungan lifting daerah penghasil minyak dan gas (Migas). Kata dia, dulu pernah menyampaikan agar pemerintah pusat melalui SKK Migas terbuka soal lifting dan produksi minyak sehingga tidak ada saling curiga.
Lanjut dia, polemik dana transfer ke daerah yang bersumber dari Dana Bagi Hasil (DBH) minyak dan gas bumi akibat perbedaan data penghitungan lifting dan produksi minyak. Husaimi menekankan, Pemprov Riau harus memegang data mutakhir dari SKK Migas apabila rekonsiliasi tersebut disetujui pemerintah pusat.
"Sehingga kita ada pegangan apa yang menurut kita benar. Karena kan rekonsiliasi itu mencocokkan data kita dan data pusat. Sekarang pemerintah provinsi punya data enggak untuk rekonsiliasi itu?" kata Husaimi, Rabu (28/12/2022).
Ia juga menyoroti rendahnya jatah yang diterima daerah penghasil Migas yang diatur Undang-undang DBH Migas. Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah itu mengatur DBH minyak bumi dibagi dengan imbangan 85 persen untuk pemerintah pusat dan 15 persen untuk pemerintah daerah.
"Menurut saya DBH untuk kita terlalu kecil, harus kita tagih itu ke pusat. Saya khawatir terlalu tinggi cost recovery yang dihitung SKK Migas. Oleh karena itu, kita minta pusat terbuka dalam penghitungan DBH ini, sehingga nanti jelas," kata dia.
Masalah lain, adanya dana transfer tunda bayar DBH dari pemerintah pusat ke daerah yang risikonya ditanggung Pemprov Riau. "Ini kan tahu-tahu ada tunda bayar dan tunda salur. Pemerintah pusat tak boleh menunda itu karena kewajiban kita di daerah tak bisa ditunda. Kalau kita mau jujur hari ini pembagian untuk kita belum layak," jelasnya.
Sementara itu, Gubernur Riau Syamsuar menyebut, untuk menghindari perbedaan data antara pusat dan daerah penghasil, rekonsiliasi ini bisa dilaksanakan lagi. Dengan tujuan agar adanya kesepahaman antara pusat dan daerah penghasil berkaitan dengan DBH tersebut.
"Jadi kita bisa bandingkan data dari provinsi, kabupaten dan bersama Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan dan Kemendagri," ucapnya.
Gubri menjelaskan, seperti data yang ada saat ini, ada pengurangan lifting DBH Migas antara tahun 2021 dibandingkan dengan 2022. Pada tahun 2021 liftingnya sebesar 66 juta yang sudah dihitung DBH Migas untuk se Riau. Tahun 2022 justru turun menjadi 49 juta.
"Ini yang ingin kami tanyakan apakah prognosa ini sampai perhitungan bulan Juni atau bulan September atau sampai Desember perkiraan prognosa itu atau apa?" tanya Gubri.
Sebab mantan Bupati Siak dua periode ini melihat di Perpres saja dalam rangka penetapan rill prognosa itu pada bulan Juni. Jadi artinya kalau bulan Juni, kemungkinan ada lagi yang akan dibayar dari Kemenkeu.
"Karena perhitungan 2023 ini menurut kami jauh kali kurangnya, artinya prognosa dari lifting ini sehingga sangat mempengaruhi," sebutnya.
Begitu juga untuk Kabupaten Kepulauan Meranti, tahun 2021 saja 1,5 juta, turun menjadi 1,1 juta padahal ada pengeboran sumur minyak baru yang seharusnya angkanya naik dari 1,5 juta tersebut.
"Itu makanya tadi Pak Bupati (Meranti) memperjuangkan ini, karena ada perbedaan yang sangat mendasar antara 2021 dan 2022," tambahnya.
Pertemuan pembahasan DBH Migas dilanjutkan hari ini Rabu (21/12/2022) yang difasilitasi Dirjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri. Pertemuan lanjutan ini untuk mendapatkan data yang lebih teknis, sehingga ada kecocokan data antara pusat dan daerah.
Penulis | : | Delvi Adri |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Ekonomi, Pemerintahan, Riau |