PEKANBARU (CAKAPLAH) - Untuk percepatan Program Strategis Nasional PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) Presiden Jokowi pada sektor Perkebunan, maka perbaikan dan penguatan peraturan yang memayungi operasional dari program PSR ini sudah beberapa kali direvisi, sebagaimana aturan yang terakhir diterbitkan yakni Peraturan Menteri Pertanian Nomor 03 tahun 2022 (Permentan 03/2022), dimana Bab IV secara khusus membahas persyaratan PSR.
Konsep yang dirancang dalam Permentan tersebut adalah percepatan dan akselerasi, terutama akselerasi dua jalur pengajuan PSR oleh petani sawit, yakni akselerasi jalur disbun dan jalur kemitraan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun) Andi Nur Alam Syah, yang mengatakan bahwa terbitnya Permentan 03 tahun 2022 untuk memperlancar dan melindungi petani, bukan untuk memberatkan atau mempersulit petani saat memproses PSR-nya.
Namun, hal tersebut mendapat kritikan dari tiga asosiasi sawit terbesar di Indonesia, antara lain Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), ASPEK-PIR (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Pola Inti Rakyat), dan SAMADE (Sawitku Masa Depanku).
Dr. Ir. Gulat ME Manurung, MP., C.IMA., C.APO, selaku Ketua Umum DPP Apkasindo mengaku heran dengan statemen Dirjenbun yang mengatakan bahwa Permentan 03 yang terbit Februari tahun 2022 lalu, bertujuan untuk memperlancar realisasi PSR dan melindungi petani, bukan untuk memberatkan atau mempersulit petani saat memproses PSR-nya.
“Lho faktanya bagaimana? Realiasi PSR secara nasional di tahun 2022 lalu hanya 9,8% (17.908 ha) dari 180.000 hektar, terendah sepanjang sejarah. Harusnya Kementerian Pertanian menanggapi teriakan petani sawit dengan berjanji akan segera mengevaluasi dan mengajak semua stakeholder sawit termasuk asosiasi petani sawit untuk menerima masukan, bukan malah mencari-cari pembenaran. Lihat saja Humas Kementan yang sibuk menshare-share rilis sebagai strategi menangkis," kata Gulat, Senin (9/1/2023).
Permasalahan ini, kata Gulat sudah pihaknya sampaikan langsung ke Dirjenbun bulan Juli 2022 lalu, perihal PSR dan program Sarpras lainnya yang lambat sekali serapannya.
"Jadi bukan ujuk-ujuk sekarang ini saja kami bersuara dan wajar kami melaporkan hal ini kepada Bapak Presiden, karena kami tidak mau terulang lagi di 2023 ini," lanjutnya.
Perlu diketahui, kata Gulat, bahwa dana untuk PSR ini bukan APBN. Tapi bersumber dari dana sawit yang dikutip dari pungutan ekspor (levy). BPDPKS sebagai badan yang mengutif, mengelola dan menyalurkan dana tersebut, dan tahun 2021 lalu terkumpul Rp69,7 Triliun.
Bukan hanya Riau yang Nol Persen PSR, tapi juga di 10 Provinsi lainnya dari 22 provinsi Apkasindo, seperti provinsi Bengkulu, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua Barat, Gorontalo dan Papua.
"Akibat nol persennya PSR Riau, jika tahun 2022 Riau diberi jatah 11ribu hektar (Rp30 juta/ha) maka Rp330 M melayang sia-sia. Ini bukan kesalahan Pak Gubernur Riau, tapi regulasi Permentan 03 tersebutlah sebagai penyebabnya karena memasukkan persyaratan bebas Kawasan Gambut dan sulit digapai petani Riau karena Riau didominasi (56-65%) gambut," tegas Gulat.
“Ada beberapa penyebab dari rendahnya realisasi PSR ini, namun yang paling fatal adalah dimunculkannya aturan wajib bebas gambut di Permentan yang baru dan hal ini menjadi biang keroknya. Sebagai asosiasi yang sudah berdiri 23 tahun lalu, Saya sudah mengutus Sekjend Dr cn Rino Afrino, ST., MM, untuk berkonsultasi ke Ditjend PPKL (Pengendalian Pencemaran Kerusakan Lingkungan) Kementerian LHK, perihal kendala surat rekomendasi bebas gambut sebagai syarat PSR. Tapi justru Direktorat PPKL mengatakan tidak pernah mengusulkan perihal persyaratan bebas dari kawasan lindung gambut sebagaimana disebut dalam surat Dirjenbun Kepada Kepala Dinas yang membidangi Perkebunan se Indonesia, Nomor 1657/PL.030/E.4/10/2022 tentang Surat Keterangan Tidak Berada dalam Kawasan Lindung Gambut," papar Gulat.
Seharusnya, kata Gulat lagi, tidak perlu membuat syarat bebas Kawasan gambut ini berlaku untuk semua daerah karena tidak semua daerah ada gambutnya dan apalagi di Surat Edaran (SE) Dirjen PPKL Nomor SE-3/MENLHK-PPKL/SET/KUM/11/2019, bahwa dalam SE ini pada poin 9 huruf (b), tertulis bahwa KLHK malah tidak melarang pemanfaatan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) dan Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut (FBEG) yang sudah eksisting, sudah ada tanamannya (dimanfaatkan) dan tetap dapat dilanjutkan pemanfaatannya dengan catatan harus tetap menjaga fungsi hidrologis gambut tersebut.
“Kementerian KLHK saja tidak melarang, kok malah Permentan melarang ?," tanya Gulat dengan heran.
Lebih jauh, kata Gulat, Presiden sebagai “owner” dari program PSR yang dititip di Kementan dan BPDPKS, wajar terkejut dan mengerutkan kening ketika dirinya melaporkan kondisi yang sesungguhnya pada saat Jokowi ke Riau pekan lalu.
"Lihat saja penurunan dari tahun ke tahun capaian PSR, tahun 2019 sampai 2022 berturut-turut sebagai berikut 88.339 ha (49%), 91.994 ha (51%), 27.746 (15%)dan terakhir 17.908 ha (9,9%),” ujar Gulat.
Sementara itu, Ketua Umum ASPEK PIR (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Pola Inti Rakyat), Setiyono, bahwa pihaknya udah menyurati Kementan yang isinya meminta direvisi Permentan terkait PSR tersebut, supaya dipermudah dan mengusulkan persyaratan PSR seperti surat rekomendasi dari Kementerian LHK terkait Kawasan hutan, surat dari Ditjend PPKL terkait gambut dan juga dari Kementerian ATR/BPN untuk dapat di hilangkan.
"Kami sangat berterimakasih atas program PSR ini dan sebagai bentuk keseriusan, kami akan ke Kementerian Pertanian dalam waktu dekat, untuk menyampaikan usul kami sebagaimana surat sebelumnya. Hambatan lain yang kami rasakan adalah jika kami harus bolak balok dipanggil oleh Aparat Penegak Hukum (APH) terkait PSR yang dilaksanakan oleh anggota kami. Akibat dari bolak-balik dipanggil oleh APH, teman-teman petani dibeberapa provinsi tidak mau lagi melanjutkan PSR selanjutnya, karena ketakutan dan trauma. Tentu ini akan merugikan kami sebagai petani yang sedang bersemangat untuk replanting demi masa depan ekonomi keluarga," urai Setiyono.
Sementara itu, Ketua Umum SAMADE, Tolen Ketaren, juga berpendapat sama dengan Apkasindo dan ASPEK PIR, bahwa Program PSR dari preside Jokowi ini sangat cemerlang dan harapan petani sawit. Namun dari SAMADE sudah mengevaluasi bahwa ada yang perlu ditinjau di Permentan 03/2022 tersebut, terkhusus terkait persyaratan PSR.
Faktanya capaian PSR di tahun 2022 ini terburuk sepanjang sejarah, banyak Provinsi Samade yang zonk nol persen.
"Terus terang, mau saja petani sawit ikut PSR, sudah bersyukur kita semua. Karena selama 3 tahun ini petani sawit harus kehilangan mata pencaharian utama dan PSR itu tidak gratis karena si petani harus menutupi kekurangan dari dana BPDPKS. Kini beranak cucu pulak persyaratan dan bertambah-tambah”, ujarnya Heran.
Yang penting, sambungnya, PSR itu wajib dari sawit ke sawit, jangan dari tanaman lain ke sawit atau bukan berasal bukaan baru (hutan).
"Saran kami, Kementan dan BPDPKS segera ke APH sosialisasi tentang PSR ini dan perlu ditegaskan bahwa dana sawit BPDPKS bukan berasal dari APBN, tapi berasal dari Pungutan Ekspor (levy) yang saat ini USD 90/ton CPO dan levy ini dibebankan ke hulu (TBS), paling tidak harga TBS tertekan Rp270/kg TBS. Hambatan-hambatan ini, termasuk dari APH, dalam waktu dekat akan kami surati Presiden Jokowi. Meskipun Pak Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang kebetulan Ketua Dewan Pembina DPP SAMADE, sudah pernah menyurati Kapolri dan Jaksa Agung, nomor 157/2021, Perihal dukungan percepatan PSR ini," tukas Tolen.