Muji Basuki
|
Memasuki tahun 2023, dunia menghadapi ancaman krisis, seperti yang diprediksi oleh banyak tokoh maupun lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri.
"Krisis ekonomi 2023 diprediksi sangat berat," begitu pernyataan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani dalam Seminar Nasional Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jumat (21/10/2022).
Pernyataan prediktif Menteri Keuangan ini sejalan dengan prediksi beberapa pihak atau pengamat lainnya.
“Bagi banyak orang, 2023 akan terasa seperti resesi," cuit kepala ekonom IMF Pierre Olivier Gourinchas pada Selasa (11/10) ketika ia menguraikan perkiraan ekonomi global yang suram.
“Situasinya sulit, tapi kita bisa menghadapi tantangan ini," kata Kristalina Georgieva, direktur pelaksana IMF, kepada para hadirin dalam pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia selama sepekan di Washington.
"Saya menggambarkan kondisi dunia yang kita tinggali saat ini sedang dilanda 'perfect storm' atau badai yang sempurna. Semua negara dalam kondisi tidak baik-baik saja, mulai negara berkembang hingga superpower sekalipun," ungkap Luhut dalam catatan panjang yang diunggah di akun Instagram resminya @luhut.pandjaitan, dikutip Minggu (6/11/2022).
Prediksi akhir tahun 2022 diatas seperti dipertegas oleh prediksi beberapa pihak pada awal tahun 2023 ini. Salah satunya seperti dinyatakan oleh Presiden Jokowi dalam Perayaan Hari Ulang Tahun PDI Perjuangan yang ke-50, Selasa (10/1/2023). Pada kesempatan tersebut, Presiden Jokowi menyatakan: "Disampaikan IMF, tahun 2023 sepertiga ekonomi dunia akan mengalami resesi,", lebih lanjut Presiden Jokowi menyatakan: "Dan untuk negara negara yang tidak terkena resesi ratusan juta penduduknya akan ikut merasakan dampak akibat negara yang mengalami resesi,"
Ancaman Krisis Pupuk, Awal Mula Ancaman Krisis Pangan
Presiden Jokowi saat membuka KTT G20 di Bali pada 15 November 2022 yang lalu menyampaikan kekhawatirannya tentang ancaman krisis pupuk yang menghantui dunia. "Masalah pupuk jangan disepelekan, jika kita tidak bisa mengambil langkah agar ketersediaan pupuk tercukupi dengan harga terjangkau maka 2023 akan menjadi tahun yang lebih suram," kata Jokowi dalam pembahasan pertama di pembukaan. "Dapat semakin memburuk menjadi krisis tidak adanya pasokan pangan. Langka pupuk menyebabkan gagal panen di berbagai belahan dunia, 48 negara berkembang dengan tingkat kerawanan pangan tertinggi akan menghadapi kondisi sangat serius," tutup Jokowi.
Dalam konteks Indonesia, tentu pemerintah sebagai decission maker kebijakan pertanian butuh merancang strategi yang jitu untuk menghadapi ancaman di sektor pertanian ini, terutama karena ada sekitar 270 juta manusia yang harus dipastikan terpenuhi kebutuhan pangannya. Terlebih setelah beras secara perlahan berubah menjadi makanan pokok nasional, isu swasembada beras menjadi isu yang hangat diperbincangkan oleh berbagai kalangan.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi beras penduduk Indonesia secara rata-rata mengalami peningkatan sejak pandemi. Pada 2018 konsumsi beras dari semua jenis, termasuk beras lokal, kualitas unggul, dan impor, rata-ratanya mencapai 1,404 kg per kapita per minggu. Jumlah ini kemudian sempat turun menjadi 1,374 kg per kapita per minggu pada 2019. Namun, ketika pandemi melanda, rata-rata konsumsinya naik ke 1,379 kg per kapita per minggu. Konsumsinya juga terus bertambah pada tahun kedua pandemi, yakni menjadi 1,451 kg per kapita per minggu pada 2021. Sementara berdasarkan hasil Survei KSA, pada tahun 2021, luas panen padi mencapai sekitar 10,41 juta hektar atau mengalami penurunan sebanyak 245,47 ribu hektar (2,30 persen) dibandingkan tahun 2020. Sementara itu, produksi padi tahun 2021 yaitu sebesar 54,42 juta ton GKG. Jika dikonversikan menjadi beras, produksi beras tahun 2021 mencapai sekitar 31,36 juta ton, atau turun sebesar 140,73 ribu ton (0,45 persen) dibandingkan dengan produksi beras tahun 2020.
Tentu ancaman krisis pangan bukan semata permasalahan ancaman ketersediaan makanan pokok berupa beras bagi negara sebesar Indonesia, tetapi juga menyangkut masalah-masalah lain yang secara langsung maupun tidak dibutuhkan oleh penduduk Indonesia. Sebut saja misalnya isu pemenuhan kebutuhan minyak goreng yang menjadi salah satu jenis kebutuhan pokok masyarakat. Tentu kita masih ingat ketika terjadi krisis minyak goreng pada medio 2022 yang lalu, yang memantik kenaikan harga minyak goreng dan sempat memicu panic buying terhadap komoditas tersebut. Krisis pangan secara lebih luas nantinya juga berhubungan dengan banyak isu strategis nasional lainnya, termasuk isu tentang ekspor dan impor komoditas pertanian yang selama ini banyak menjadi perbincangan publik.
Sensus Pertanian, Upaya Bangkit di Tengah Ancaman Krisis
Sektor pertanian merupakan sektor penting bagi Indonesia sebagai negara agraris. Hal ini terlihat dari share sektor pertanian terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, dimana sektor pertanian merupakan sektor penyumbang PDB ketiga terbesar setelah sektor industri dan sektor perdagangan. Mengacu kepada rilis BPS dengan topik "Ekonomi Indonesia Triwulan III 2022", secara berurutan share sektor industri, perdagangan dan pertanian terhadap PDB Indonesia adalah sebesar 17,88%, 13,47% dan 12,91%.
Jika dilihat komposisi PDRB menurut provinsi, maka terlihat pada mayoritas provinsi di Indonesia sektor pertanian memberikan share terhadap PDRB provinsi melebihi share sektor pertanian terhadap PDB Nasional. Sebut saja contohnya Provinsi Riau, dimana share sektor pertanian terhadap PDRB Riau sebesar 24,91%, sedikit dibawah share sektor industri pengolahan yang sebesar 27,91% untuk triwulan III 2022. Demikian strategisnya sektor pertanian di Provinsi Riau ini, sampai sebenarnya kinerja sektor industri pengolahan di Provinsi Riau tidak bisa dilepaskan dari kinerja sektor pertanian, khususnya sub sektor perkebunan, karena sektor industri pengolahan di Provinsi Riau sangat bergantung kepada bahan baku yang dihasilkan dari sub sektor perkebunan.
Belum lagi jika dilihat dampak secara langsung sektor pertanian terhadap dunia ketenagakerjaan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, penyerapan tenaga kerja per Februari 2022 mengalami kenaikan hingga 4,55 juta orang. Adapun sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja yakni pertanian. Kepala BPS, Margo Yuwono, menyampaikan, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian kurun waktu Februari 2021 ke Februari 2022 mencapai 1,86 juta orang. Itu merupakan angka tertinggi dari total 17 sektor penyerap tenaga kerja. Dengan serapan itu, total distribusi penduduk bekerja di sektor pertanian per Februari 2022 mencapai 29,96 persen dari total 135,6 juta penduduk bekerja. "Penyerapan tenaga kerja paling banyak di sektor pertanian," kata Margo dalam konferensi pers, Senin (9/5/2022).
Di tengah banyak pihak memprediksi adanya krisis global pada tahun 2023 inilah Sensus Pertanian 2023 (ST2023) akan dilaksanakan. Sesuai amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik, sensus pertanian dilaksanakan setiap 10 tahun sekali pada tahun berakhiran 3. ST2023 sendiri adalah sensus pertanian ke 7 sepanjang sejarah sensus pertanian di Indonesia. Terakhir kali sensus pertanian dilaksanakan pada tahun 2013. Melalui pelaksanaan ST2013 diketahui jumlah rumah tangga usaha pertanian subsektor tanaman pangan di Indonesia sebesar 17.728.185 rumah tangga. Dibandingkan tahun 2003 jumlah tersebut mengalami penurunan sebanyak 979.867 rumah tangga, perusahaan pertanian berbadan hukum di subsektor pertanian tanaman pangan sebesar 112 perusahaan, dibandingkan tahun 2003 mengalami kenaikan sebanyak 25 perusahaan, dan usaha lainnya pada subsektor pertanian tanaman pangan sebesar 1.328 usaha. Disamping itu juga diketahui banyaknya rumah tangga pertanian yang mempunyai sumber pendapatan utama dari usaha tanaman padi dan palawija ada sebanyak 8.606.316 rumah tangga, hortikultura 1.254.599 rumah tangga, perkebunan 4.721.105 rumah tangga, peternakan 960.773 rumah tangga, perikanan 670.279 rumah tangga, kehutanan 256.363 rumah tangga, dan jasa pertanian 84.280 rumah tangga.
Tentu masih banyak indikator penting lain yang dihasilkan dari Sensus Pertanian. Indikator-indikator pertanian ini sangat dibutuhkan dalam penyusunan perencanaan dan evaluasi capaian-capaian pembangunan di bidang pertanian. Dalam tinjauan ilmu manajemen dikenal teori POAC atau singkatan dari Planning, Organizing, Actuating and Controlling. POAC menjadi sebuah keniscayaan apabila ingin memperkuat sektor pertanian. Dalam keadaan normal saja, POAC harus dilakukan dengan baik, terlebih ketika situasi sedang dihadapkan pada ancaman krisis. Oleh karena itu, kesuksesan ST2023 merupakan tanggung jawab seluruh stakeholder pertanian, baik pemerintah, masyarakat tani dan juga sektor swasta yang bergerak di sektor pertanian.
Selamat datang tahun 2023, selamat datang Sensus Pertanian.
Penulis | : | Muji Basuki (Statistisi di BPS Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |