Juniver Girsang
|
JAKARTA (CAKAPLAH) - Juniver Girsang selaku Kuasa Hukum dari terdakwa Surya Darmadi pemilik PT Duta Palma Group/Darmex Group dalam perkara dugaan korupsi alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau, mempertanyakan tindak lanjut proses hukum dari Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, terhadap 312 badan usaha dalam kawasan hutan sebagaimana yang dirilis Kementrian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) dalam surat keputusan Nomor: SK.531/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2021.
Hal itu disampaikannya mengingat hingga kini dari 312 perusahaan itu, baru hanya 4 perusahaan saja yang telah diproses hukum.
Adapun 4 perusahaan tersebut, merupakan perusahaan milik Duta Palma Group yang kini proses hukumnya tengah berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
“Kami mempertanyakan saat ini beradasarkan rilis KLHK terdapat sebanyak 312 perusahaan yang memiliki masalah yang sama dengan Group Duta palma, mengapa 308 perusahaan tersebut tidak proses sebagaimana 4 perusahaan milik Duta Palma ini. Apakah ada perlakuan khusus yang sengaja diberikan kepada perusahaan itu?,” ujar Juniver kepada wartawan saat ditemui di sela-sela persidangan, Rabu (18/1/2023).
Menurutnya apa yang kini dialami oleh Duta Palma Group, sangat berbanding terbalik dengan yang terjadi pada 308 badan usaha lainnya. Pasalnya 308 badan usaha itu saat ini tengah melakukan proses melengkapi perizinan, sesuai ketentuan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan.
“Jika perusahaan-perusahaan lainnya hanya dikenakan denda administrasi, mengapa Duta Palma Group harus dipidana? Dimana keadilan, dimana kepastian hukum. Apakah ini yang dinamakan diskriminasi hukum?,” tegas Juniver.
Di sisi lain dirinya berpendapat sekiranya upaya hukum melalui pidana sebagaimana yang kini dialami oleh Duta Palma, mulai dari penahanan serta penyitaan atas aset-aset juga diterapkan terhadap 308 badan usaha lainnya. Maka akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan ekonimi di Indonesia.
“Kalau semua dipidana, maka tentunya akan berdampak kepada perekonomian kita. Makanya saya berpendapat dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum dalam hal ini Kejaksaan Agung RI terkesan sangat buru-buru dan kurang cermat,” paparnya.
Selain itu Juniver menjelaskan, sesungguhnya untuk menyelesaikan masalah keterlanjuran pengusahaan kawasan hutan pemerintah telah mengaturnya sesuai ketentuan di Undang-undang Cipta Kerja dan menetapkan penetapan sanksi pidana sebagai sanksi terakhir atau Ultimum Remedium, apabila badan usaha yang telah terlanjur mengusahai kawasan hutan tak kunjung melengkapi perizinannya hingga November 2023 mendatang.
“Padahal ini kesalahan siapa ini kesalahan dari pemangku jabatan terdahulu yang tidak membereskan masalah perizinan ini, karena proses perizinan ini sangat bertele-tele dan tumpang tindih, ada kewenangan Pemda, kewenangan KLHK ada juga kewenangan ATR BPN. Maka tidak dipungkiri ada ego sektoral dalam penerbitan izin ini. Dan untuk itulan Undang-undang Cipta Kerja diciptakan,” tandasnya.**