Muji Basuki
|
"We didn't do anything wrong, but then we lost"...
(CAKAPLAH) - Sesuai amanat Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, puncak dari tahapan Pemilu 2024 adalah pemungutan suara yang akan dilakukan pada tanggal 14 Februari 2024 yang akan datang. Sesuai dengan tradisi selama ini, 1 tahun sebelum pemungutan suara biasa diistilahkan dengan "tahun politik", karena suka atau tidak suka pada 1 tahun sebelum pemungutan suara akan banyak pihak yang berusaha melakukan manuver-manuver politik untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas, baik politisi pada tingkat individu maupun partai sebagai institusi politik. Manuver-manuver yang dilakukan baik secara silent maupun terang-terangan ini akan memantik perbincangan di tengah khalayak luas, baik di media mainstream, media sosial maupun di berbagai forum-forum pertemuan masyarakat di berbagai tempat.
Dalam perspektif demokrasi, tahun politik merupakan warming up bagi sebuah entitas bangsa untuk mempersiapkan diri agar lebih matang ketika semakin mendekati waktu pemungutan suara, sehingga tahun politik sejatinya adalah sebuah periode yang akan memberikan dampak positif bagi peningkatan kedewasaan berdemokrasi semua pihak di dalam tubuh bangsa tersebut. Terlebih bagi bangsa yang besar dan majemuk seperti Indonesia, tahun politik seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak untuk mengkontestasikan gagasannya masing-masing dalam bingkai demokrasi yang baik, dengan spirit untuk mencari proposal solusi atas berbagai masalah-masalah besar yang dihadapi bangsa ini, baik di bidang politik, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, lingkungan, posisi Indonesia dalam percaturan global, dan lain-lain.
Demokrasi Dalam Tinjauan Para Founding Fathers
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos dan kratos. Demos berarti rakyat atau khalayak, sementara kratos artinya pemerintahaan. Pengertian demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengizinkan serta memberi hak dan kebebasan kepada warga negaranya untuk berpendapat, dan turut serta dalam pengambilan keputusan.
Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16, yang memimpin bangsanya keluar dari Perang Saudara, dia berjuang mempertahankan persatuan bangsa, dan dia juga berjuang untuk menghapuskan perbudakan, mendefinisikan demokrasi sebagai :"sebuah hal yang didasari oleh rakyat. Demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat."
Sehingga tidak berlebihan jika para ahli menyatakan bahwa esensi dari demokrasi adalah penghargaan setinggi-tingginya atas kedaulatan rakyat, sampai ada adagium latin berbunyi :"vox populi, vox dei" atau :"suara rakyat adalah suara Tuhan".
Para founding fathers Indonesia sangat menghargai kedaulatan rakyat sebagai esensi dari sebuah negara yang merdeka. Bahkan, mereka meletakkan kedaulatan rakyat sebagai modal dasar bangsa agar bisa tampil menjadi bangsa yang maju dan kelak akan berperan dalam percaturan pergaulan dunia. Hal ini seperti bisa dilihat dalam naskah Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan :"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur". Selanjutnya, dalam Pembukaan UUD 1945 itu juga disebutkan bahwa kemerdekaan, kebersatuan, kedaulatan, keadilan dan kemakmuran akan menjadi modal bangsa ini dalam :"memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia".
Dalam bingkai semangat ideal demokrasi seperti ini, maka seorang pemimpin adalah seseorang yang memposisikan rakyatnya sebagai manusia merdeka, kemudian dia berjuang bersama rakyatnya untuk mencapai cita-cita bersama. Dengan spirit seperti ini, sang pemimpin mengelola kemajemukan dan perbedaan dengan kelapangan hati, dan memandangnya sebagai modal kemajuan, bukan sebagai penghalang. Sebaliknya, dalam tinjauan demokrasi ideal, seorang pemimpin bukanlah manusia yang memposisikan rakyatnya sebagai bawahan layaknya sebuah corporate, yang kemudian dia menikmati ketaatan dan followership dari rakyatnya, dan membungkam sikap kritis dan perbedaan rakyat kepada dirinya. Itulah sejatinya demokrasi akan bertentangan secara diametral dengan otoritarianisme. Jika diimplementasikan secara sungguh-sungguh, demokrasi akan memberikan jalan kemajuan bagi berbagai aspek kehidupan, mulai dari keadilan dimata hukum, kesetaraan akses pendidikan dan kesehatan, pemerataan akses ekonomi, kreatifitas dan inovasi yang makin berkembang di bidang olahraga, seni, budaya, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
Sejarah Pergeseran Esensi Demokrasi, Sebuah Pelajaran
Akan tetapi esensi demokrasi sebagai jalan untuk mencapai kemakmuran bersama justru seringkali tersimpangkan oleh banyak faktor, termasuk oleh manusia sebagai pelaku demokrasi itu sendiri. Yang dimaksud manusia sebagai faktor pengancam demokrasi, berangkat dari tabiat manusia yang menyukai popularitas, jabatan dan kekuasaan. Ada bisikan ghaib dalam umumnya jiwa manusia, yang mendorong umumnya manusia menyukai pujian dan tepuk tangan, dalam kurun waktu yang selama mungkin.
Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman Abad ke-19 menulis sebuah buku berjudul The Will to Power yang diterjemahkan dengan judul Kehendak untuk Berkuasa. Menurut Nietzsche, hasrat paling kuat dalam diri manusia adalah keinginan untuk berkuasa (the will to power), bahkan dibandingkan dengan hasrat-hasrat yang lain. Keinginan ini pada dasarnya bernilai netral, bisa bernilai baik, dan bisa bernilai buruk. Manusia dapat menguasai orang lain dengan cara-cara yang baik atau buruk. Bahkan manusia juga dapat mengarahkan keinginan berkuasa itu kepada dirinya sendiri sehingga dia dapat mengendalikan orang lain.
Dengan tabiat seperti itu, maka dalam sejarah kehidupan demokrasi modern akan ditemukan pergeseran praktek demokrasi menuju otoritarianisme. Ada fakta sejarah di berbagai tempat yang mempraktekkan demokrasi dalam kehidupannya, dimana seorang pemimpin yang awal mulanya mempraktekkan nilai-nilai demokrasi, tapi seiring perjalanan waktu sang pemimpin terjebak dalam praktek kepemimpinan yang otoriter.
Sebagai contoh, pasca perang dunia kedua berakhir, banyak negara di dunia yang menyatakan kemerdekaan negaranya dan para founding fathers nya menyatakan mengadopsi demokrasi sebagai sistem kehidupan bernegara mereka, termasuk Indonesia yang menetapkan konsep republik sebagai konsep bernegara. Sempat melewati banyak tribulasi dalam perjalanan awalnya, mulai dari ancaman masuknya kembali penjajah luar ke Indonesia sampai ancaman disintegrasi bangsa, tapi Indonesia berhasil melewati ujian-ujian tersebut dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno, tentu didukung oleh para pendiri bangsa lainnya yang saat itu masih ada. Tapi seiring perjalan waktu, rezim pemerintahan orde lama tersebut tergoda untuk menerapkan konsep demokrasi terpimpin yang sudah keluar dari esensi dasar demokrasi itu sendiri, dengan menetapkan presiden saat itu sebagai presiden seumur hidup.
Di Filipina ada sosok Ferdinand Marcos, yang ikut berjasa membantu Filipina dari penjajahan Jepang pada Perang Dunia II. Dia terpilih secara demokratis sebagai presiden melalui Pemilu Tahun 1972, tapi akhirnya dia tergoda untuk menerapkan konsep otoritarianisme dengan dalih untuk menciptakan stabilitas negaranya.
Demokrasi Dalam Ukuran Statistik
Demokrasi yang esensinya ada pada kedaulatan rakyat memang sesuatu yang sangat abstrak, sehingga cukup sulit untuk mengukurnya secara kuantitatif. Akan tetapi, Badan Pusat Statistik bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) sejak tahun 2009 melakukan pengukuran demokrasi Indonesia melalui penyusunan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Secara umum, IDI mengadopsi ukuran demokrasi yang dibuat oleh Freedom House yang kemudian dilokalkan dengan konteks Indonesia dan tetap mempertahankan konsep demokrasi itu sendiri. Ada 3 aspek dalam demokrasi yang diukur dalam IDI, yaitu yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik, dan kapasitas institusi demokrasi.
Secara umum capaian demokrasi Indonesia yang diukur melalui IDI berada pada kategori sedang, dimana dalam kurun waktu tahun 2018 sampai dengan tahun 2020 nilai indeks demokrasi Indonesia berturut-turut sebesar 72,39, kemudian naik menjadi 74,92 pada tahun 2019, dan sedikit turun menjadi 73,66 pada tahun 2020.
Pada triwulan I-2022, sebagai bentuk penguatan metodologi, pemerintah telah menyelesaikan revisi terhadap komponen pembentuk dan metode penghitungan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Metode baru dalam penghitungan IDI tidak hanya mengukur demokrasi di bidang politik, tetapi meliputi bidang ekonomi, dan sosial. IDI metode baru terdiri dari tiga aspek yaitu kebebasan, kesetaraan, dan kapasitas lembaga demokrasi dengan total 22 indikator. Sebagian indikator pada IDI metode baru berbeda dengan IDI metode lama, sehingga angka IDI 2021 tidak dapat dibandingkan dengan angka IDI tahun sebelumnya.
Capaian kinerja demokrasi Indonesia tahun 2021 adalah berkategori “sedang” dengan nilai sebesar 78,12. Aspek kebebasan pada IDI 2021, memiliki nilai paling tinggi, yaitu sebesar 79,72 poin. Selanjutnya aspek kesetaraan memiliki nilai sebesar 78,86 poin dan aspek kapasitas lembaga demokrasi sebesar 75,67 poin.
Selain diukur melalui IDI oleh BPS dan Bappenas, demokrasi di Indonesia juga diukur oleh beberapa lembaga internasional, salah satunya oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). EIU menyebut secara global indeks demokrasi dunia menurun dibandingkan tahun lalu. Rata-rata skor indeks demokrasi dunia tahun ini tercatat 5.37, menurun dari yang sebelumnya 5.44. Angka ini pun tercatat sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU merilis laporan tahunannya pada 2006 silam. Norwegia meraih skor tertinggi yakni 9,81, sedangkan Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6,3. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6,48.
"We Didn't Do Anything Wrong, But Then We Lost", Semoga Tidak
Pasca reformasi 1998 yang sudah berlalu lebih dari 24 tahun, beberapa pihak menilai demokrasi di Indonesia berjalan baik-baik saja, namun juga beberapa pihak yang lain menilai demokrasi Indonesia cenderung jalan di tempat, bahkan menurun.
Terlepas dari perbedaan penilaian tersebut, sebagai bangsa yang menaruh harapan masa depan terhadap jalannya demokrasi yang baik, Indonesia perlu memperhatikan potensi-potensi perubahan sosial yang tunduk pada teori siklus. Adalah Arnold Toynbee, sejarawan asal Inggris yang mencetuskan tentang Teori Siklis (Cyclical Theory). Teori ini mempunyai perspektif (sudut pandang) yang menarik dalam melihat perubahan sosial. Teori ini beranggapan bahwa perubahan sosial tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapa pun, bahkan orang-orang ahli sekalipun. Dalam setiap masyarakat terdapat siklus yang harus diikutinya.
Dalam konteks sejarah Indonesia, gelombang perubahan besar umumnya terjadi dalam kurun waktu 20-30 tahunan, disadari atau tidak disadari oleh hampir seluruh anak bangsa yang hidup pada saat perubahan itu terjadi. Ambil contoh misalnya sejak para pahlawan pergerakan nasional menyepakati identitas Indonesia sebagai identitas bangsa dalam peristiwa Soempah Pemoeda 1928, maka 20-30 tahun kemudian Indonesia diproklamirkan pada tahun 1945. Setelah itu, 20-30 tahun berikutnya Indonesia melewati perubahan besar dari Orde Lama ke Orde Baru, tepatnya pada tahun 1967. Selanjutnya dalam periode 20-30 tahun berikutnya, Orde Baru runtuh melalui gelombang reformasi pada tahun 1998.
Saat ini, ditengah perbedaan penilaian tentang kualitas demokrasi Indonesia pasca reformasi yang sudah berusia 24 tahun, akankah pemilu 2024 akan menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas demokrasi atau justru sebaliknya. Semua itu kembali kepada seluruh anak bangsa, akankah Pemilu 2024 menjadi ajang politik pragmatis transaksional yang akan menciptakan polarisasi akut di tengah bangsa, atau justru menjadi ajang kontestasi gagasan dari para politisi dan partai politik untuk mencari proposal bersama bagi penyelesaian berbagai permasalahan bangsa?
Semoga bangsa ini kelak tidak mengucapkan apa yang dinyatakan oleh Stephen Elop, CEO Nokia sebelum menyerahkan divisi handset perusahaannya kepada Microsoft, setelah hampir 2 dekade menguasai pasaran handset dunia :"we didn't do anything wrong, but then we lost"
Penulis | : | Muji Basuki (Statistisi di BPS Provinsi Riau) |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Politik, Cakap Rakyat |