(CAKAPLAH) - Harus diapresiasi Negara diwakili Presiden Joko Widodo telah mengakui (recognition) dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM Berat di masa lalu, hal ini langkah maju karena bila tidak diakui berarti tidak dianggap ada rangkaian peristiwa kekerasan tersebut.
Sebagai orang yang pernah berinteraksi dengan para korban pelanggaran HAM berat masa lalu, tentu ini bagi sebagian korban pengakuan Negara menjadi hal yang melegakan batin. Namun juga bagi sebagian korban dan pembela HAM masih menjadi tanda tanya besar kelanjutan setelah pengakuan? Apakah penyelesaian ini sebatas non-yudisial semata menunaikan janji kampanye penyelesaian pelanggaran HAM tanpa jalur hukum atau pro-justicia demi keadilan dan kepentingan penegakan hukum.
Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) yang dibentuk Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 pada tanggal 22 Agustus 2022, memiliki kewenangan sangat terbatas dan jelas dengan jalan tanpa jalur hukum dari sebelas poin yang direkomendasikan kepada Presiden.
Penyelesaian non-yudisial itu ditujukan untuk tiga maksud. Pertama, melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Kedua, merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya. Ketiga, merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM yang berat tidak terulang lagi pada masa yang akan datang.
Tentu hal ini menjadi political will atau kemauan politik Presiden Jokowi kepada penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu bagi para korban, atau hanya sampai pada tahap pengakuan saja. Karena menjadi langkah berat karena adanya tekanan dari berbagai pihak yang diduga pelaku pelanggaran HAM Berat masih hidup, apalagi upaya tidak terulang lagi pada masa yang akan datang tanpa dilakukan penegakan hukum.
Transitional Justice
Indonesia saat ini bukan lagi berada pada masa transisi demokrasi lagi semenjak 25 tahun runtuhnya rezim otoriter Orde Baru Soeharto pasca Reformasi Politik tahun 1998, kalau meminjam teori Samuel P. Huntington “pada skenario model kedua disebutnya replacement (pergantian) yakni dimana suatu keadaan dalam satu kelompok pembaharu masih lemah atau tidak ada dalam rezim itu, akibatnya demokratisasi baru bisa terwujud apabila kelompok oposisi makin kuat dan pemerintah makin lemah sehingga jatuh dengan sendirinya atau digulingkan”.
Secara fakta empirik momentum transisi demokrasi Indonesia pasca rezim Soeharto telah gagal bila aplikatif dengan teori diatas karena kelompok pembaharu lemah telah gagal mengadili siapa saja yang diduga terlibat sebagai pelaku pelanggaran HAM Berat masa lalu dari tahun 1965 sampai 1999, termasuk kegagalan mengadili penguasa Orde Baru Soeharto dari dua pilar dugaan kasusnya pelanggaran HAM berat dan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Maka tawaran untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu dengan jalan skenario Transitional Justice (keadilan transisi), karena bagaimanapun juga yang menjadi korban kolektif pelanggaran HAM Berat adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak yang sama dilindungi oleh Negara.
Sebab keadilan transisi mengacu pada serangkaian tindakan non-yudisial dan yudisial yang telah dilaksanakan oleh berbagai negara dalam rangka untuk memperbaiki warisan besar pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Langkah-langkah ini meliputi penuntutan pidana, komisi kebenaran, program reparasi, dan berbagai jenis reformasi kelembagaan.
Keadilan transisi bukanlah 'khusus' semacam keadilan, tetapi pendekatan untuk mencapai keadilan dalam masa transisi dari konflik dan/atau represi negara. Dengan mencoba untuk mencapai akuntabilitas, keadilan transisi memberikan pengakuan atas hak-hak korban, mempromosikan kepercayaan sipil dan memperkuat aturan hukum demokratis.
Keadilan transisi lahir sebagai tanggapan atas pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistematis atau meluas. Keadilan transisi mengupayakan adanya pengakuan terhadap korban dan mendorong terciptanya perdamaian, rekonsiliasi, dan demokrasi. Keadilan transisi bukanlah bentuk khusus dari keadilan, tetapi merupakan proses keadilan yang ditujukan kepada masyarakat yang sedang mentransformasikan dirinya setelah mengalami periode pelanggaran HAM secara luas.
Skenario mekanisme dasar dari keadilan transisi Pertama Pengungkapan Kebenaran; dapat dilakukan baik secara resmi maupun tidak melalui komisi kebenaran, komisi penyelidikan, dokumentasi. Tujuan pengungkapan kebenaran adalah untuk memperoleh kejelasan tentang pelanggaran masa lalu, menciptakan ruang bagi pengakuan masyarakat tentang apa yang terjadi, mengapa itu terjadi, dan dampak yang diderita oleh korban. Langkah-langkah ini seringkali merupakan langkah integral untuk memastikan bahwa pelanggaran tersebut tidak akan terulang di masa depan. Bentuk kongkritnya adalah melakukan pelurusan fakta sejarah yang selama ini telah dimanipulatif dari peristiwa pelanggaran HAM Berat masa lalu dimana posisi korban berada bukan pada area yang salah.
Kedua, Proses Peradilan; Pengadilan adalah penyelidikan yudisial terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM. Tujuannya adalah untuk menuntut pertanggungjawaban perlaku pelanggaran HAM, dan berusaha mencegah pelanggaran serupa di masa depan dengan mengakhiri impunitas atas pelanggaran di masa lalu. Pertanggungjawaban dapat juga diupayakan melalui peradilan non-kejahatan seperti gugatan perdata terhadap pelaku atau terhadap kasus yang melibatkan negara di hadapan Pengadilan. Penyelesaian secara yudisial merupakan ranah tanggung jawab dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung yang dapat melakukan penuntutan diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dengan membentuk pengadilan ad hoc.
Ketiga, Program Reparasi; yang merupakan sebuah mekanisme yang disponsori dengan maksud mengakui kehilangan dan penderitaan yang dialami oleh para korban, dan untuk membantu memulihkan dampak pelanggaran masa lalu. Program ini biasanya memberikan pelayanan baik material maupun simbolis kepada korban, yang bisa saja mencakup kompensasi finansial dan permintaan maaf secara resmi.
Keempat, Reformasi Sektor Keamanan; berupaya mengubah institusi militer, polisi, dan institusi negara yang terkait, dari institusi yang digunakan sebagai alat penindasan dan korupsi menjadi alat pelayanan publik dan memiliki integritas. Jadi untuk memenuhi rasa keadilan korban penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu harus berjalan secara pararel antara non-yudidial dan yudisial, dan ini perlu kemauan politik yang kuat dari Negara
Rekonsiliasi Nasional
Jalan penyelesaian rekonsiliasi nasional yang pernah dilakukan Afrika Selatan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bisa menjadi refrensi tetapi bukan menjadi acuan yang harus diikuti, karena bagi Indonesia harus menemukan jalan rekonsiliasi nasional sendiri. Yaitu memerlukan jalan proses dialog yang panjang dan mendalam yang difasilitasi Pemerintah bersama korban dan yang diduga pelaku dari serangkaian peristiwa yang sudah melewati penyelidikan Komnas HAM.
Sebab ada perbedaan karakter dengan konflik di Afrika Selatan dengan Indonesia dimana Afrika Selatan konflik berlangsung bersifat horizontal persoalan diskriminasi kulit hitam (apartheid) antar warga negara, sedangkan di Indonesia konflik bersifat vertikal warga negara dengan rezim pemerintah dan pelanggaran HAM di Indonesia bersifat multi rangkaian beberapa peristiwa dalam tenggat waktu yang berbeda.
Sulitnya penyelesaian pelanggaran HAM dengan jalan Yudisial dapat dipahami karena adanya berbagai kelompok kepentingan antara yang diduga pelaku kekerasan pelanggaran HAM Berat masa lalu selain keluarga korban, pelaku pelanggaran HAM berat merasa “benar” karena melibatkan petinggi institusi TNI dan Polri saat itu yang dianggap melakukan tugas negara dan perintah kepentingan politik rezim yang berkuasa dalam melakukan peristiwa kekerasan.
Jadi langkah lanjut setelah pengakuan penyesalan adalah permintaan maaf Negara kepada para korban dan perlu adanya rekonsiliasi nasional antara pelaku dengan korban dari berbagai peristiwa kekerasan dengan tanpa mengabaikan pengungkapan kebenaran (pelurusan sejarah). Opsi penyelesaian secara non-yudisial dan yudisial terletak pada political will kepala Negara dalam hal ini Presiden, memang ini menjadi obat pil yang terasa pahit namun melegakan menjadi kesembuhan bagi yang diduga pelaku diadili seadilnya dan pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat.***
Penulis | : | Yoseph Billie Dosiwoda; Direktur Eksekutif Center for Research on Ethics Economy and Democracy (CREED) |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Nasional, Hukum, Cakap Rakyat |