Susilo Bambang Yudhoyono
|
(CAKAPLAH) -- Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan pandangannya tentang isu penggantian sistem pemilu, dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup, yang akan segera diputus Mahkamah Konstitusi (MK).
Presiden ke-6 RI itu mempertanyakan urgensi perubahan sistem pemilu di saat agenda dan "time-line" pemilu sudah berjalan. Ia juga mempertanyakan apakah perubahan sistem pemilu itu merupakan sebuah kegentingan negara, seperti situasi krisis tahun 1998.
"Mengubah sebuah sistem tentu amat dimungkinkan. Namun, di masa tenang, bagus jika dilakukan perembugan bersama, ketimbang mengambil jalan pintas melakukan judical review ke MK. Sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa kita sempurnakan, karena saya juga melihat sejumlah elemen yang perlu ditata lebih baik. Namun, janganlah upaya penyempurnaannya hanya bergerak dari terbuka - tertutup semata," ungkap SBY, dalam rilis, Ahad (19/2/2023).
Ia mengatakan, dalam tatanan kehidupan bernegara yang baik dan dalam sistem demokrasi yang sehat, ada semacam konvensi baik yang bersifat tertulis maupun tidak. Jika kita hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental, misalnya konstitusi, bentuk negara serta sistem pemerintahan dan sistem pemilu, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara, perlu dilibatkan. Ada yang menggunakan sistem referendum yang formal maupun jajak pendapat yang tidak terlalu formal.
"Menurut saya, lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan (power) yang dimilikinya dan kemudian melakukan perubahan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat secara keseluruhan. Menurut pendapat saya, mengubah sistem pemilu itu bukan keputusan dan bukan pula kebijakan (policy) biasa, yang lazim dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional," ungkapnya.
Ia mengingatkan, bagaimanapun juga rakyat perlu diajak bicara dan pemimpin harus membuka diri dan mau mendengar pandangan pihak lain, utamanya rakyat.
"Mengatakan, 'itu urusan saya dan saya yang punya kuasa', untuk semua urusan, tentu tidaklah bijak. Sama halnya dengan hukum politik 'yang kuat dan besar mesti menang, yang lemah dan kecil ya harus kalah', tentu juga bukan pilihan. Hal demikian tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang kita anut bersama," ungkap SBY lagi.
Terkait dengan sistem pemilu, SBY mengatakan rakyat memang sangat perlu diberikan penjelasan yang gamblang tentang rencana penggantian sistem pemilu itu. Apa yang berbeda antara sistem terbuka dengan sistem tertutup. Rakyat harus tahu bahwa kalau yang digunakan adalah sistem proporsional tertutup, mereka harus memilih parpol yang diinginkan. Selanjutnya partai politiklah yang hakikatnya menentukan kemudian siapa orang yang akan jadi wakil mereka.
Sementara, jika sistem proporsional terbuka yang dianut, rakyat bisa memilih partainya, bisa memilih orang yang dipercayai bisa menjadi wakilnya, atau keduanya yakni partai dan orangnya.
"Rakyat sungguh perlu diberikan penjelasan tentang rencana penggantian sistem pemilu ini, karena dalam pemilihan umum merekalah yang paling berdaulat. Inilah jiwa dan nafas dari sistem demokrasi," ungkapnya.
Pada kesempatan itu SBY mengaku dirinya tidak hendak menyampaikan pikiran tentang mana yang paling tepat antara sistem proporsional tertutup versus sistem proporsional terbuka. Meskipun ia punya sejumlah pandangan dan pemikiran. "Saya hanya ingin mengingatkan bahwa perkara besar yang tengah ditangani oleh MK ini adalah isu fundamental, hakikatnya salah satu "fundamental consensus" dalam perjalanan kita sebagai bangsa. Apalagi, putusan MK bersifat final dan mengikat. Bagaimana jika putusan MK itu keliru? Tentu bukan sejarah seperti itu yang diinginkan oleh MK, maupun generasi bangsa saat ini," ingatnya.***
Penulis | : | Rilis |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Politik |