

![]() |
Muji Basuki, Statistisi BPS Kota Pekanbaru
|
(CAKAPLAH) - Sensus Pertanian akan dilaksanakan pada tahun 2023. Sesuai amanat Undang Undang Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Statistik, ada tiga jenis sensus yang harus dilakukan dalam rentang waktu 10 tahun sekali, yaitu Sensus Penduduk pada tahun yang berakhiran 0, Sensus Pertanian pada tahun yang berakhiran 3 dan Sensus Ekonomi pada tahun yang berakhiran 6.
Sensus Pertanian 2023 yang selanjutnya disingkat dengan ST2023 akan dilaksanakan ditengah banyaknya dinamika perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia, baik pada skala lokal, nasional, regional maupun global. Dinamika perubahan khususnya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini terjadi hampir dalam semua aspek kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi, teknologi, politik, militer, kesehatan, dan lain-lain.
Perubahan-perubahan besar dalam kurun 10 tahun terakhir ini seperti disebutkan oleh banyak ahli diawali dari bertambahnya populasi manusia di tengah sistem perekonomian global yang belum sepenuhnya berjalan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan, juga dipicu oleh perkembangan dunia teknologi digital yang merambah semua aspek kehidupan manusia, dan selanjutnya itu semua mendisrupsi berbagai aspek kehidupan serta memaksa manusia menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan itu. Krisis kesehatan dan krisis keamanan global yang terjadi selama 2 tahun terakhir semakin mengeskalasi peruabahan-perubahan yang sebelumnya sudah bergulir dengan cepat.
Pertanian, Sektor Primer yang Terdampak Perubahan
Salah satu sektor kehidupan manusia yang sangat terdampak dari dinamika perubahan yang terjadi adalah sektor pertanian. Bagaimana tidak, dengan bertambahnya jumlah populasi manusia di atas bumi yang tidak bertambah luas ini, menyebabkan lahan-lahan pertanian menjadi korban dari kebijakan tata ruang yang lebih memprioritaskan kebutuhan tempat tinggal manusia.
Belum lagi kebutuhan manusia akan beragam jenis barang baik yang primer, sekunder maupun tersier, semakin mendorong pengembangan industri manufaktur yang membutuhkan kawasan lahan yang tidak sedikit. Sehingga menjadi umum kita dengar peristiwa konflik perebutan lahan pertanian yang akan dialihfungsikan untuk berbagai kegiatan manusia yang lain, baik untuk permukiman, infrastruktur jalan, maupun kawasan industri.
Berkurangnya kawasan lahan pertanian tentu khususnya menjadi ancaman tersendiri khususnya untuk kawasan-kawasan urban yang populasi penduduknya terus bertambah sementara lahan pertanian relatif terbatas, bahkan hampir tidak ada lahan pertanian. Di berbagai kawasan urban, pemenuhan kebutuhan pangan warganya harus dipenuhi melalui mekanisme impor dari kawasan lain, bahkan dari negara lain.
Memang dalam perspektif perekonomian pasar, ketergantungan kawasan urban terhadap kawasan-kawasan lain dalam memenuhi kebutuhan pangannya menjadi peluang tersendiri bagi kawasan lain yang menjadi produsen komoditas pangan. Akan tetapi dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menjadi ancaman serius bagi kawasan urban terutama jika secara global produksi pangan tidak seimbang dengan total kebutuhan konsumsi pangan manusia.
Situasi ancaman seperti ini misalnya diprediksi oleh para pimpinan negara-negara G20 saat konferensi G20 di Bali pada 2022 yang lalu. Presiden Jokowi sebagai Ketua Presindensi G20 bahkan sempat menyinggung hal ini dalam pidato pembukaannya, dimana beliau mengingatkan para pemimpin dunia akan ancaman krisis pupuk yang berpotensi mengancam ketahanan pangan dunia terutama disebabkan krisis keamanan akibat perang Rusia-Ukraina.
Urban Farming, Solusi ditengah Ancaman Krisis Pangan
Istilah urban farming mengacu kepada konsep pengolahan lahan dengan berprinsip pada pemanfaatan lahan sempit di wilayah perkotaan, oleh karena itulah istilah ini seringkali memiliki nama lain pertanian perkotaan. Selain itu, ada alasan lain yang melatarbelakangi keinginan masyarakat perkotaan untuk melakukan pertanian perkotaan atau urban farming, salah satunya ialah peningkatan kualitas udara di perkotaan.
Gerakan urban farming sendiri sebenarnya sudah mulai dikenal sejak zaman peradaban Mesir Kuno, ketika para penguasa kota saat itu ingin membangun kotanya sebagai kawasan yang tetap hijau dan asri ditengah keramaian aktivitas kota. Selanjutnya gerakan urban farming ini semakin dikenal terutama ketika terjadi perang dunia I dan II yang area perangnya sudah banyak terjadi di kawasan kota, sehingga para pemimpin pasukan mendorong penduduk untuk bercocok tanam agar supply kebutuhan pangan kepada pasukan tetap terjaga.
Saat ini, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui Food and Agriculture Organization (FAO) mendorong negara-negara di dunia untuk mengintensifkan gerakan urban farming ini sebagai alternatif solusi pangan dunia. FAO sendiri mendefinisikan urban farming sebagai "sebuah industri yang memproduksi, memproses dan memasarkan produk dan bahan bakar nabati, terutama dalam menanggapi permintaan harian konsumen di dalam perkotaan, yang menerapkan metode produksi intensif, memanfaatkan dan mendaur ulang sumber daya dan limbah perkotaan untuk menghasilkan beragam tanaman dan hewan ternak"
Gerakan urban farming di Indonesia muncul pada akhir tahun 2011 yang merupakan respon dari permasalahan pertanian di perkotaan. Pelopor dari gerakan urban farming ini adalah Ridwan Kamil dan membuat Komunitas Indonesia Berkebun, khususnya di Kota Bandung.
Pekanbaru, Kawasan Urban yang Semakin Kompleks
Sebagaimana kota-kota lainnya, Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau dinamika kehidupannya semakin berkembang dan semakin kompleks. Tentu hal ini tidak terlepas dari semakin bertambahnya populasi penduduk di Pekanbaru. Menurut situs riau.bps.go.id, jumlah penduduk kota Pekanbaru pada tahun 2010 sebanyak 903.038 jiwa, kemudian bertambah lebih dari 11 persen pada tahun 2022 menjadi sebanyak 1.007.540.
Dengan jumlah penduduk diatas 1 juta jiwa, maka Kota Pekanbaru menjadi wilayah kabupaten/kota dengan penduduk terbanyak di Provinsi Riau. Sedangkan dilihat dari sisi luasan wilayah, Kota Pekanbaru adalah wilayah administratif dengan luas wilayah terkecil dibandingkan kabupaten/kota yang lain di Provinsi Riau, yaitu hanya seluas 632,27 KM2 atau 0,73 persen dari total wilayah Provinsi Riau yang seluas 87,023 KM2. Masih menurut situs riau.bps.go.id, Kota Pekanbaru menjadi kota terpadat dengan kepadatan penduduk per KM2 sebesar 1.808,34 jiwa pada tahun 2019.
Dengan populasi sebanyak itu, tentu kebutuhan beragam komoditas pangan menjadi cukup tinggi untuk Kota Pekanbaru. Sebagai contoh untuk komoditas beras , dengan rata-rata konsumsi beras per kapita seminggu sebesar 1,135 kg, maka dapat diperkirakan kebutuhan beras di Kota Pekanbaru setiap minggunya sebesar lebih dari 1 juta kg. Belum lagi untuk komoditas pangan lainnya, seperti sayur mayur, buah-buahan, ikan, daging, telur dan sebagainya.
Urban Farming, Solusi Alternatif Ketahanan Pangan
Selama ini kebutuhan komoditas pangan untuk warga Pekanbaru banyak dipenuhi melalui mekanisme impor dari wilayah/negara lain, karena memang area pertanian di Pekanbaru jauh dari standar cukup untuk memenuhi kebutuhan warga Pekanbaru yang tinggi tersebut. Padahal perlu dicermati, bahwa fenomena keterbatasan lahan pertanian dan bertambahnya jumlah penduduk juga dihadapi oleh daerah/negara yang selama ini menjadi supplier komoditas pangan ke Pekanbaru.
Lahirnya kebijakan afirmatif dari pemerintah kota Pekanbaru, termasuk juga kebijakan dari pemerintah pusat dan provinsi yang menstimulasi tumbuhnya gerakan urban farming di wilayah perkotaan memang menjadi salah satu alternatif solusi atas ancaman krisis pangan masyarakat global, termasuk di Pekanbaru.
ST2023 akan menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk memotret kondisi terkini sektor pertanian, termasuk memotret perkembangan gerakan urban farming ini. Data dan informasi yang dikumpulkan melalui ST2023 ini akan menjadi bahan penting bagi pemerintah dalam mengevaluasi kebijakan selama ini, sekaligus menjadi bahan dalam menyusun berbagai kebijakan-kebijakan sektor pertanian di masa yang akan datang. Selamat data ST2023.***
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Pemerintahan, Cakap Rakyat |











































01
02
03
04
05








