Jakarta (CAKAPLAH) - Lebih dari 90 persen pemimpin daerah di Jepang kini menganggap penurunan populasi di negaranya sebagai perkara serius. Mengingat, angka kelahiran di Jepang anjlok, dipicu oleh banyaknya warga yang enggan memiliki dan membesarkan anak.
Hal itu ditunjukkan oleh survei nasional yang digarap The Yomiuri Shimbun menjelang pemilihan lokal terpadu pada April mendatang.
Lebih lanjut disebutkannya, 60 persen pemimpin juga mengutip program dukungan pengasuhan anak dan langkah-langkah untuk mengatasi penurunan populasi sebagai masalah utama dalam pemilu mendatang. Mereka menyoroti, angka kelahiran yang rendah adalah masalah kronis yang mendesak.
Kuesioner survei tersebut dikirimkan pada Februari kepada kepala 47 prefektur termasuk Tokyo, serta pemimpin dari 1.741 kota, distrik, dan kotamadya lainnya. Dari mereka yang menganggap penurunan populasi di wilayahnya sebagai perkara serius, 65 persen di antaranya menggambarkan situasi sebagai 'sangat serius' dan 26 persen menyebut 'agak serius'.
Terkait alasan angka kelahiran sulit dinaikkan kembali, para responden menyebut kurang tempat bagi kaum muda dan perempuan untuk bekerja, serta eksodus generasi muda yang tidak terbendung untuk mencari pekerjaan atau pendidikan lebih lanjut.
"Upah rendah dan lingkungan kerja yang tidak stabil menjadi penyebab eksodus kaum muda dari pedesaan serta menurunnya motivasi masyarakat untuk memiliki anak," kata Takumi Fujinami, peneliti senior di Japan Research Institute, Ltd dikutip dari The Japan News, Sabtu (25/3/2023).
"Penting untuk menciptakan pekerjaan berkualitas tinggi di daerah regional," pungkasnya.
Terpisah, Perdana Menteri Fumio Kishida dalam konferensi pers sempat mengatakan, pihaknya menempatkan prioritas tertinggi pada upaya mengatasi anjloknya angka kelahiran. Dia berjanji akan memperluas tunjangan anak dan meningkatkan jumlah laki-laki yang mengambil cuti pengasuhan anak.
"Pada tahun 2030-an, populasi muda di Jepang akan menurun dua kali lipat dari angka saat ini. Enam hingga tujuh tahun ke depan akan menjadi kesempatan terakhir untuk membalikkan angka kelahiran yang menurun," ungkap Kishida dikutip dari Japan Today.
Jumlah bayi yang lahir di Jepang pada 2022 turun ke rekor terendah baru selama tujuh tahun berturut-turut, mencapai di bawah 800.000 kelahiran untuk pertama kalinya sejak pencatatan dimulai pada 1899. Prediksinya, pada 2030, jumlah anak muda di Jepang hanya akan ada setengah dari jumlah saat ini.
Pada dasarnya, konsep 'resesi seks' diartikan sebagai penurunan frekuensi berhubungan seks. Penurunan tersebut berimbas pada penurunan jumlah anak.
Namun, resesi seks bukanlah salah satu-satunya pemicu penurunan angka kelahiran. Beberapa faktor lainnya berupa pilihan untuk childfree, keberhasilan program keluarga berencana, atau kebijakan perencanaan kehamilan yang menurunkan angka kelahiran di suatu wilayah.
Editor | : | Jef Syahrul |
Sumber | : | detik.com |
Kategori | : | Internasional |