
![]() |
H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Hari Kesehatan Sedunia (HKS) yang diperingati tanggal 7 April kemarin momen bagus untuk refleksi dan proyeksi. Supaya diperoleh gambaran capaian sektor kesehatan dalam rangka mewujudkan kehidupan lebih baik berikut menetapkan harapan di masa mendatang. Upaya barusan semakin urgen ditempuh menimbang peringatan tahun ini, melansir laman resmi badan PBB di bidang kesehatan yakni World Health Organization (WHO), mengusung tema “Health for All’' atau “Kesehatan untuk Semua”.
Sekilas tentang HKS bersamaan dengan berdirinya WHO di tahun 1948, pertanda organisasi kesehatan dunia itu telah berdiri selama 75 tahun. Tema yang diusung jelas menarik untuk diangkat. Sebab berkaitan dengan fenomena dimana ketimpangan akses kesehatan masih mengemuka sebagai persoalan mendasar. Selain itu, layanan kesehatan belum bisa dikelola secara ideal. Mulai jaminan kesehatan dan fasilitas kesehatan tak pernah sepi keluhan.
Sudah rahasia umum pengguna BPJS diperlakukan bak “anak bawang” dari pihak Rumah Sakit (RS). Sudahlah bayar pajak lalu “dipaksa” pula ikut iuran BPJS, namun layanan diperoleh bikin mumet. Di sisi lain pihak Rumah Sakit (RS) mengaku dalam posisi dilematis. Mengingat pembayaran utang klaim dari BPJS yang tak lancar sementara operasional terus jalan.
Menuntaskan pekerjaan rumah sektor kesehatan butuh waktu. Sayang kesabaran pengambil kebijakan setipis tisu. Minim tekad berproses. Di ranah realita seakan tak ada sinkronisasi dan keselarasan antara kebijakan kesehatan satu dengan yang lain. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda) masing-masing sibuk agendanya sendiri. Begitujuga regulasi seperti UU Kesehatan, UU Tenaga Kesehatan, Sistem Kesehatan Nasional (SKN), Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), Standar Pelayanan Minimal (SPM) kesehatan dan sistem kesehatan daerah, peraturan standar minimal ketenagaan di Puskesmas dan peraturan penyusunan perencanaan kebutuhan SDM kesehatan.
Berangkat dari situasi itu akan dituntaskan lewat penerbitan Omnibus Law RUU tentang Kesehatan yang tengah digodok oleh Pemerintah bersama DPR-RI. Sembilan UU digabung jadi satu. Kendati begitu tak semua muatan RUU sesuai ekspektasi. Malah dalam pembahasan mencuat keinginan membuka peluang tenaga dokter Warga Negara Asing (WNA) untuk berpraktik di Indonesia khususnya di wilayah terpencil. Hal tadi jelas memicu kekhawatiran organisasi profesi kesehatan. Bukan hanya terkait kompetensi dan pemahaman dokter bersangkutan terhadap penyakit tropis atau endemik di tanah air, tapi sekali lagi menguatkan asumsi bahwa negara suka sekali menempuh cara instan atau shortcut.
Perlindungan
Merujuk ke negara destinasi medis semisal Singapura, tak sembarangan juga menerima dokter asing. Mereka menyadari tak semua kampus di dunia punya standar sama terkait pendidikan kedokteran. Sepintas alasan membuka peluang penempatan dokter asing di daerah terpencil terdengar masuk akal. Mengacu ke pernyataan Menteri Kesehatan, Indonesia butuh 270 ribu dokter adapun ketersediaan hanya 140 ribu dokter. Untuk itu perlu 130 ribu dokter. Namun 90 fakultas kedokteran hanya mampu hasilkan 12 ribu dokter.
Akan tetapi persoalan tidak melulu kekurangan jumlah tapi tata kelola dan pendistribusian juga layak dikaji. Menutupi defisit dokter dan tenaga kesehatan (Nakes) secara “impor” berarti pembangunan kesehatan gagal total. Tolak ukur keberhasilan pembangunan kesehatan suatu negara 80 persennya ditentukan Nakes. Semakin beragam dan banyak jenis yang terlibat semakin bagus. Menurut UU Tenaga Kesehatan, seharusnya Pemerintah jor-joran investasi membangun SDM.
Upaya paling simpel berupa penyediaan banyak beasiswa (BS) prestasi yang ditujukan bagi siswa terbatas secara ekonomi tapi berkeinginan melanjutkan pendidikan terutama kedokteran. Semua tahu betapa mahalnya kuliah di kedokteran. Banyak generasi daerah cerdas dan pintar terpaksa mengubur keinginan karena hambatan ekonomi. Sementara yang kemampuannya pas-pasan tapi berduit dan punya previlige selalu terbuka diterima.
Seiring berjalan waktu ini berdampak pada kualitas penyelenggaraan kesehatan. Langkah investasi SDM jauh lebih bermartabat dan bermanfaat jangka panjang. Teruntuk Riau, kami di DPRD selalu meributkan perihal BS pendidikan setiap tahun. Kami menilai Pemprov terlalu pelit menganggarkan BS. Bandingkan belanja proyek mercusuar yang tak prioritas atau belanja instansi vertikal yang sebenarnya bukan kewenangan daerah.
Selain SDM, investasi selanjutnya fasilitas kesehatan (Faskes). Mengenai biaya berobat sudah terkover program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) meski dihantui cela sana-sini. Persoalan klasik sekarang menghadirkan lebih banyak Faskes ke tengah warga. Bila Pemerintah tak mampu merealisasikan setidaknya benahi sarana transportasi dan infrastruktur yang memudahkan menuju Faskes. Sekarang kan tidak. Sudahlah distribusi Faskes sulit, kondisi sarana ke sana tak mendukung.
Jangankan warga, banyak Nakes harus berjuang ketika tunaikan pekerjaan. Diantara kisah paling menginspirasi Senita Riskiwahyuni, seorang bidan sarat prestasi asal Kabupaten Kuansing. Sudah mengabdi sejak 2007 baru 2017 diangkat PNS. Nita sempat berbagi kisah saat bertugas di satu daerah terpencil di Kuansing. Berstatus Pegawai Tidak Tetap (PTT), ia menghadapi keterbatasan fasilitas, listrik, kendaraan dan jaringan telekomunikasi.
Untuk menuju ke ibukota kabupaten, harus bertungkuslumus akibat kondisi jalan tanah. Nita bukan satu-satunya. Tapi tekadnya sangat pantas dihargai. Banyak para Nakes rela mempertaruhkan segalanya terlebih selama pandemi Covid-19 dan menghadapi penyakit lain. Penyakit Akibat Kerja/PAK masuk kategori keselamatan, sudah sepantasnya berhak atas jaminan perawatan dan pengobatan terbaik untuk mengembalikan kesehatannya dan santunan. Banyak Nakes tak mendapat hak tadi, bahkan tidak ada pemeriksaan kesehatan secara berkala.
Dari sini, kebijakan impor Nakes sepatutnya dipikir ulang. Pertanyaan pertama sudah sejauhmana perlindungan terhadap Nakes? Baik perlindungan pendapatan upah dan tunjangan sampai kesehatan dan keselamatan kerja serta hak berserikat agar dapat menyalurkan aspirasi dan memperjuangkan kepentingannya. Menyoal perlindungan, relevan dibahas jaminan keselamatan. Nakes tergolong kelompok rentan kala bertugas di wilayah rawan konflik dan terpencil. Sudah banyak kasus. Contoh dokter Soeko yang meninggal dalam kerusuhan Wamena di tahun 2019.
Adapula dokter sekaligus aktivis kemanusiaan bernama dr Sunardi yang begitu mudahnya ditembak mati oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri atas dugaan terlibat teroris pada Maret 2022 di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. Herannya, Densus 88 entah kemana ketika di wilayah Papua para Nakes dibantai dan sejumlah fasilitas umum Puskesmas dibakar oleh kelompok teroris KKB Papua. Upaya pemerataan tak cukup sebatas menempatkan Nakes dan membangun Faskes di tempat terpencil atau perbatasan, tapi juga memenuhi jaminan perlindungan.
Terakhir, kunci atasi keterbatasan sarana dan prasarana kesehatan jangka pendek terletak pada pemberdayaan berbagai sumber strategis. SDM bidang kesehatan bukan hanya dokter atau berlatar belakang pendidikan medis. Masih banyak Nakes lain termasuk kalangan non medis meliputi pengobatan tradisional yang bisa dilibatkan, berkolaborasi dan berbagi peran. Di masa lampau, cara tadi pernah diimplementasikan melalui Program Kesehatan Masyarakat Desa, sebelum ada program Puskesmas. Mereka mampu melakukan pemberdayaan masyarakat sampai ke tingkat hidup mandiri sesuai dengan potensi dan kearifan setempat.
Selain menolong orang sakit, mereka multitasking. Dapat diberdayakan mengajarkan peternakan keluarga, tanaman apotik, gizi seimbang dan penyuluh kesehatan bila dibutuhkan. Penting melihat pelayanan kesehatan secara komprehensif mencakup promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Memang bicara ideal semua pelayanan kesehatan mesti ditangani dokter atau Nakes. Namun, jika ketersediaan mereka terbatas dan kemampuan Pemerintah memeratakannya juga terbatas, bukankah lebih baik berbagi tugas?
Kita berharap penyusunan RUU Kesehatan yang sedang berlangsung membuahkan pembenahan sektor kesehatan. Pemerintah membuka partisipasi publik dalam penyusunan, dan Kami selaku lembaga perwakilan rakyat meminta supaya unsur terkait di daerah dapat menyuarakan aspirasinya. RUU tersebut kunci penyelesaian mengatasi persoalan kesehatan di masyarakat, permasalahan kesehatan di Indonesia, baik dari aspek peningkatan layanan kepada masyarakat, memperkuat jaringan RS di daerah, peningkatan dan pemerataan kualitas SDM kesehatan hingga pembangunan kesehatan masyarakat yang didasarkan pada paradigma sehat dan pelayanan kesehatan.
Penulis | : | H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM (Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau). |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |










































01
02
03
04
05







