H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Jelang berakhir Ramadhan ada dua pemandangan umum yang lumrah terjadi di tengah umat muslim. Pertama mereka yang tengah mempersiapkan diri dengan pernak-pernik untuk menyambut hari raya Idul Fitri. Lalu kedua yang berupaya mencari keberkahan dengan beribadah demi mengejar kemuliaan sebuah malam. Ya, apalagi kalau bukan Lailatul Qadar. Sayangnya banyak diantara kita terlena.
Tulisan ini bukan bermaksud menghakimi bahwa yang terlena di penghujung Ramadhan bukan muslim sejati. Namun yang perlu diketengahkan adalah kenapa kebiasaan “bersolek” demi lebaran lebih diutamakan daripada janji Allah SWT dan anjuran Nabi? Persoalan barangkali bukan semata bentuk ketidakpedulian. Tapi lebih disebabkan ketidaktahuan betapa besar makna dan arti Lailatul Qadar.
Ketika kita tahu, pasti akan memburunya. Seumpama cerita ada seseorang mendapat amplop surat berbahasa asing. Karena tak paham, surat itu dicampakannya. Lantas ada orang lain menemukan dan dia memahami bahasa asing dalam surat itu. Ternyata isinya maklumat dari sebuah perusahaan mobil yang mengganjar orang yang mendapatinya berhak atas hadiah unit mobil yang bisa dipilih sesuai keinginannya. Kalau saja orang pertama tahu, dapat dipastikan dia akan sangat menyesal sudah menyia-nyiakan.
Allah SWT sudah berfirman perihal keistimewaan lailatul qadar. Sebagaimana sering disampaikan dalam berbagai kajian khususnya selama ceramah jelang pelaksanaan shalat tarawih. “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar. Tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala urusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar” (Al-Qadar : 1-5).
Berikutnya di dalam surat lain Allah SWT juga berfirman: “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (Ad-Dukhan : 3-6).
Dari ayat dikutip terakhir, “hikmah” boleh dibilang kata kunci. Bahwa pentingnya Lailatul Qadar hanya akan diketahui bila kita mampu mendalaminya. Hikmah adalah hasil dari rangkaian proses memaknai sesuatu. Kita akan menyadari dan menyesali kesalahan dan dosa perbuatan ketika kita merasakan dampak dari perbuatan. Sangat jarang kita sadar sebelum kejadian atau mawas sebelum menyesal. Inilah kenapa upaya mendapatkan Lailatul Qadar hanya bisa ditempuh dengan jalan hikmah. Menyadari kesalahan dan intropeksi diri.
Persiapan
Selain pengetahuan yang dapat menuntun kita bahwa untuk mengetahui makna dibalik suatu ibadah ketika dapat memahami secara utuh, persiapan juga sangat menentukan. Sebenarnya bila bercermin ke Rasulullah, beliau sudah mempersiapkan diri dengan pembiasaan ibadah selama dua bulan sebelum Ramadhan. Makanya ketika memasuki Ramadhan ibadah lebih maksimal. Begitupula 10 malam terakhir sudah siap jasmani dan rohani.
Dengan persiapan matang, terstruktur dan terukur dipastikan pelaksanaan ibadah di hari-hari terakhir Ramadhan bukan lagi dipandang beban. Lewat metode tadi Rasul mengajarkan kita pentingnya menghargai proses. Tidak ada yang instan di dunia ini. Ini berlaku universal dan segala urusan. Termasuk perkara penyelenggaraan kehidupan lainnya. Keteladanan Nabi dalam mempersiapkan diri mengacu ke satu prinsip syariat yaitu tadarruj artinya bahwa Allah SWT tatkala menurunkan syariat secara bertahap untuk penyiapan mental dan spiritual hamba-Nya.
Dengan begitu pelaksanaan ibadah disertai penerimaan hati yang lapang dan ikhlas. Persiapan bukan saja menyoal sisi intrinsik tapi juga ekstrinsik. Bila kita ingin mendapat keistimewaan Lailatul Qadar maka perlakukan juga dengan istimewa. Salah satu riwayat menceritakan bahwa Rasulullah SAW mandi, membersihkan diri, merapikan pakaian serta memakai wangi-wangian menjelang waktu isya’ selama sepuluh hari terakhir Ramadhan. Dari sini kelihatan betapa besar dan totalitas sambutan diberikan. Tuntunan membersihkan diri secara dhahir melengkapi ikhtiar pembersihan jiwa (bathin) dengan taubat minta ampunan dari segala dosa.
Terakhir, banyak diantara kita bertanya-tanya, apakah bisa mendapatkan malam Lailatul Qadar? Apalagi mengacu ke cerita Rasulullah, begitu luar biasa ibadah beliau di sepuluh akhir Ramadhan terutama dengan melakukan I’tikaf.
Lantas apakah ini berlaku mutlak? Boleh jadi tak semua kalangan muslim bisa beri’tikaf di masjid. Bisa saja mereka mendapatkan udzur semisal harus bekerja menjaga rumah sakit 24 jam atau petugas keamanan yang berjaga 24 jam. Atau orang tersebut sedang dalam keadaan safar atau wanita yang sedang haid atau para istri yang sibuk mengurus anak dan bayi di rumah. Mayoritas ulama bersepakat bahwa semua umat muslim berpeluang mendapatkan malam lailtul qadar.
I’tikaf di masjid bukanlah syarat mendapatkan malam Lailatul Qadar, meski diutamakan asbab meraih sesuatu yang luar biasa mesti diiringi usaha luar biasa pula. Lailatul Qadar terkait dengan waktu, bukan dengan tempat. Sebagaimana hadist “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901).
Jadi pada intinya kita punya potensi sama meraih keberkahan Lailatul Qadar. Selagi perbanyak ibadah, terbuka kesempatan meraih malam yang lebih baik dari 1.000 bulan itu. Intinya sekarang fokus beribadah mulai qiyamullail dan mendirikan di sisa malam Ramadhan. Terlebih kita tak tahu dan tak pernah diberitahu kapan waktu pasti terjadinya Lailatul Qadar.
Penulis | : | H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM (Anggota DPRD Provinsi Riau). |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |